Sri Juni Woro Astuti's Blog


Welcome to Sri Juni Woro Astuti's Blog

Selasa, 15 Maret 2011

Konsep tentang Akuntabilitas dan Implementasinya di Indonesia

Penulis: Teguh Arifiyadi, SH (Inspektorat Jenderal Depkominfo)
PUSAT DATA DEPKOMINFO - KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA © 2009

Pendahuluan

Latar Belakang Masalah

Wacana tentang good governance atau kepemerintahan yang baik merupakan isu yang paling mengemuka belakangan ini. Tuntutan masyarakat agar pengelolaan negara dijalankan secara amanah dan bertanggung jawab adalah sejalan dengan keinginan global masyarakat internasional pada saat ini.
Kata governance dalam bahasa inggris sering di artikan dengan tata kelola atau pengelolaan dengan kata dasar to govern yang bermakna memerintah. “Memerintah” diartikan sebagai menguasai atau mengurus negara atau mengurus daerah sebagai bagian dari negara.
Dari istilah tersebut diatas dapat diketahui bahwa istilah governance tidak hanya berarti sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan Pemahaman umum tentang good governance mulai mengemuka di Indonesia sejak tahun 1990-an dan semakin populer pada era tahun 2000-an. Kepemeritahan yang baik banyak diperkenalkan oleh lembaga donor atau pemberi pinjaman luar negeri seperti World Bank, Asean Development Bank, IMF maupun lembaga-lembaga pemberi pinjaman lainnya yang berasal dari negara-negara maju. Good governance dijadikan aspek pertimbangan lembaga donor dalam memberikan pinjaman maupun hibah.
Dalam good governance, akuntabilitas publik merupakan elemen terpenting dan merupakan tantangan utama yang dihadapi pemerintah dan pegawai negeri. Akuntabilitas berada dalam ilmu sosial yang menyangkut berbagai cabang ilmu sosial lainnya, seperti ekonomi, adminitrasi, politik, perilaku, dan budaya. Selain itu, akuntabilitas juga sangat terkait dengan sikap dan semangat pertanggungjawaban seseorang. Akuntabilitas secara filosofi timbul karena adanya kekuasaan yang berupa mandat/amanah yang diberikan kepada seseorang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan sarana pendukung yang ada.

Permasalahan

1. Bagaimanakah konsep dan pemahaman tentang akuntabilitas kaitannya dengan good governance?
2. Sejauhmana implementasi konsep akuntabilitas di Indonesia?

Pembahasan

Konsep tentang Akuntabilitas

Akuntabilitas secara harfiah dalam bahasa inggris biasa disebut dengan accoutability yang diartikan sebagai “yang dapat dipertanggungjawabkan”. Atau dalam kata sifat disebut sebagai accountable. Lalu apa bedanya dengan responsibility yang juga diartikan sebagai “tanggung jawab”. Pengertian accountability dan responsibility seringkali diartikan sama. Padahal maknanya jelas sangat berbeda. Beberapa ahli menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan birokrasi, responsibility merupakan otoritas yang diberikan atasan untuk melaksanakan suatu kebijakan. Sedangkan accountability merupakan kewajiban untuk menjelaskan bagaimana realisasi otoritas yang diperolehnya tersebut.
Berkaitan dengan istilah akuntabilitas, Sirajudin H Saleh dan Aslam Iqbal berpendapat bahwa akuntabilitas merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang meliputi akuntabilitas internal dan eksternal seseorang. Dari sisi internal seseorang akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban orang tersebut kepada Tuhan-nya. Sedangkan akuntabilitas eksternal seseorang adalah akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atasan-bawahan) maupun lingkungan masyarakat.
Deklarasi Tokyo mengenai petunjuk akuntabilitas publik menetapkan pengertian akuntabilitas yakni kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program.
Ini berarti bahwa akuntabilitas berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi (penilaian) mengenai standard pelaksanaan kegiatan, apakah standar yang dibuat sudah tepat dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dan apabila dirasa sudah tepat, manajemen memiliki tanggung jawab untuk mengimlementasikan standard-standard tersebut.
Akuntabilitas juga merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan publik. Dalam hubungan ini, diperlukan evaluasi kinerja yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil serta cara-cara yang digunakan untuk mencapai semua itu. Pengendalian (control) sebagai bagian penting dalam manajemen yang baik adalah hal yang saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain pengendalian tidak dapat berjalan efisien dan efektif bila tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik demikian juga sebaliknya.
Media akuntabilitas yang memadai dapat berbentuk laporan yang dapat mengekspresikan pencapaian tujuan melalui pengelolaan sumber daya suatu organisasi, karena pencapaian tujuan merupakan salah satu ukuran kinerja individu maupun unit organisasi. Tujuan tersebut dapat dilihat dalam rencana stratejik organisasi, rencana kinerja, dan program kerja tahunan, dengan tetap berpegangan pada Rencana Jangka Panjang dan Menengah (RJPM) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Media akuntabilitas lain yang cukup efektif dapat berupa laporan tahunan tentang pencapaian tugas pokok dan fungsi dan target-target serta aspek penunjangnya seperti aspek keuangan, aspek sarana dan prasarana, aspek sumber daya manusia dan lain-lain.

Impelementasi Akuntabilitas di Indonesia

Konsep akuntabilitas di Indonesia memang bukan merupakan hal yang baru. Hampir seluruh instansi dan lembaga-lembaga pemerintah menekankan konsep akuntabilitas ini khususnya dalam menjalankan fungsi administratif kepemerintahan. Fenomena ini merupakan imbas dari tuntutan masyarakat yang mulai digemborkan kembali pada awal era reformasi di tahun 1998. Tuntutan masyarakat ini muncul karena pada masa orde baru konsep akuntabilitas tidak mampu diterapkan secara konsisten di setiap lini kepemerintahan yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab lemahnya birokrasi dan menjadi pemicu munculnya berbagai penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan keuangan dan administrasi negara di Indonesia.
Era reformasi telah memberi harapan baru dalam implementasi akuntabilitas di Indonesia. Apalagi kondisi tersebut didukung oleh banyaknya tuntutan negara-negara pemberi donor dan hibah yang menekan pemerintah Indonesia untuk membenahi sistem birokrasi agar terwujudnya good governance.
UNDP menegaskan bahwa prinsip-prinsip good governance antara lain terdiri dari partisipasi, ketaatan hukum, transparansi, responsif, berorientasi kesepakatan, kesetaraan, efektif dan efisien, akuntabilitas dan visi stratejik. Tergambarkan jelas bahwa akuntabilitas merupakan salah satu aspek penting dalam good governance.
Beberapa negara maju di Eropa seperti jerman dan Inggris telah menerapkan konsep akuntabilitas hampir di setiap aspek kepemerintahan sejak tahun 1970-an. Inggris di era John Major dan Toni Blair memasyarakatkan akuntabilitas dengan menyusun Output and Performance Analysis (OPA Guidance) atau pedoman tresuri kepada departemen/badan di lingkungan kepemerintahan dan Guidence on Annual Report yang berisikan petunjuk dalam menyusun laporan tahunan suatu badan kepada menteri, parlemen, dan masyarakat umum. Disamping itu pemerintah Inggris menetapkan gagasan tentang Public Services for The Future: Modernisation, Reform, Accountability yang intinya adalah setiap keputusan hendaknya jangan hanya berorientasi pada berapa banyak pengeluaran dan atau penyerapan dana untuk tiap area, tetapi juga mengenai peningkatan jasa yang diberikan dan perbaikan-perbaikan.
Berbeda dengan Inggris, Jerman sebagai negara yang berbentuk federasi, menetapkan bahwa keterlibatan pusat (central involvement) dalam kegiatan setiap menteri dibatasi pada masalah kepegawaian, teknologi informasi dan hal-hal keuangan. Dari pola pemerintahan ini, maka pemerintah sesuai dengan tingkatannya secara formal mempunyai akuntabilitas (public accountability) kepada parlemen di tiap tingkatan pemerintahan (federal, negara bagian, dan lokal). Demikian pula dengan menikmati tingkat independen operasional yang tinggi, maka seorang menteri dapat secara leluasa melakukan kegiatannya, dan dengan demikian konsep dan prinsip akuntabilitas dapat dilakukan secara komprehensif .
Di Indonesia, sosialisasi konsep akuntabilitas dalam bentuk Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) telah dilakukan kepada 41 Departemen/LPND. Di tingkat unit kerja Eselon I, dilakukan berdasarkan permintaan dari pihak unit kerja yang bersangkutan, oleh karenannya capaian dan cakupannya masih tergolong rendah.
Dengan komitmen tiga pihak yakni Lembaga Administrasi Negara (LAN), Sekretariat Negara, dan BPKP, maka pemerintah mulai memperlihatkan perhatiannya pada implementasi akuntabilitas ini. Hal ini terlihat jelas dengan diterbitkannya Inpres No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Inpres ini menginstruksikan setiap akhir tahun seluruh instansi pemerintah (dari eselon II ke atas) wajib menerbitkan Laporan Akuntabilitas Kinerja (LAK). Dengan LAK seluruh instansi pemerintah dapat menyampaikan pertanggungjawabannya dalam bentuk yang kongkrit ke arah pencapaian visi dan misi organisasi.
Perkembangan penyelenggaraan negara di Indonesia memperlihatkan upaya sungguh-sungguh untuk menghasilkan suatu pemerintahan yang berorientasi pada pemenuhan amanah dari seluruh masyarakat. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN menguraikan mengenai azas akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara dan pengelolaan pemerintahan. Hal ini mengisyaratkan bahwa untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang responsif, bebas KKN serta berkinerja, kondisi akuntabilitas merupakan sufficient condition atau kondisi yang harus ada .
Wujud lain dari implementasi akuntabilitas di Indonesia adalah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara khususnya di pasal 14 ayat (2) yang menyatakan bahwa instansi pemerintah diwajibkan menyusun rencana kerja dan anggaran yang didasarkan pada prestasi kerja yang akan di capainya. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara anggaran pemerintah (APBN dan APBD) dengan kinerja yang akan dicapainya berdasarkan perencanaan stratejik tersebut.
Namun demikian, impelementasi konsep akuntabilitas di Indonesia bukan tanpa hambatan. Beberapa hambatan yang menjadi kendala dalam penerapan konsep akuntabilitas di Indonesia antara lain adalah; rendahnya standar kesejahteraan pegawai sehingga memicu pegawai untuk melakukan penyimpangan guna mencukupi kebutuhannya dengan melanggar azas akuntabilitas, faktor budaya seperti kebiasaan mendahulukan kepentingan keluarga dan kerabat dibanding pelayanan kepada masyarakat, dan lemahnya sistem hukum yang mengakibatkan kurangnya dukungan terhadap faktor punishment jika sewaktu-waktu terjadi penyimpangan khususnya di bidang keuangan dan administrasi.
Semua hambatan tersebut pada dasarnya akan dapat terpecahkan jika pemerintah dan seluruh komponennya memiliki pemahaman yang sama akan pentingnya implementasi akuntabilitas disamping faktor moral hazard individu pelaksana untuk menjalankan kepemerintahan secara amanah.

Kesimpulan

Kesimpulan dalam penulisan ini adalah;
a. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawabannya. Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan publik dan menyampaikannya secara transparan kepada masyarakat.
b. Implementasi akuntabilitas di Indonesia pada prinsipnya telah dilaksanakan secara bertahap dalam lingkungan pemerintahan. Dukungan peraturan-peraturan yang berhubungan langsung dengan keharusan pernerapan akuntabilitas di setiap instansi pemerintah menunjukan keseriusan pemerintah dalam upaya melakukan reofrmasi birokrasi. Namun demikian, masih terdapat beberapa hambatan dalam implementasi akuntabilitas seperti; masih rendahnya kesejahteraan pegawai, faktor budaya, dan lemahnya penerapan hukum di Indonesia.

Saran

Saran dalam penulisan ini adalah:
1. Penerapan akuntabilitas di instansi pemerintah seharusnya didukung adanya upaya perbaikan kesejahteraan pegawai.
2. Hilangkan budaya ewuh pakeuwuh yang berpotensi kolusi dalam penyelenggaraan kepemerintahan/jajaran birokrasi dan utamakan asas pertanggungjawaban dalam setiap kegiatan.
3. Tegakkan hukum secara konsisten khususnya dalam lingkungan birokrasi/pemerintahan.


Daftar Bacaan
Inpres RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Ismail Mohammad dkk, Konsep dan Pengukuran Akuntabilitas,Universitas Trisakti, Jakarta, 2004
Keputusan Kepala LAN Nomor 589/IX/6/Y/1999 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Modul Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Edisi Kedua, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta, 2004
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV Rajawali, Jakarta, 1985.
Sirajudin H Saleh & Aslam Iqbal, “Accountability”, Chapter I in a Book “Accountability The Endless Prophecy” edited by Sirajudin H Saleh and Aslam Iqbal, Asian and Pacific Develompent Centre, 1995.
Winarno Surakhmad. Metode dan Tekhnik dalam bukunya Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tekhnik, Tarsito, Bandung, 1994


Tulisan boleh dikutip/di copy/di cetak/diperbanyak sepanjang menyebut nama sumber.

Minggu, 06 Maret 2011

Mencari format baru pembangunan sosial ekonomi masyarakat nelayan

Jurnal Neptunus, 2000

Pembangunan dalam Perspektif: Suatu Tinjauan multi dimensional (Editor)

Hang Tuah University Press, Surabaya, 1997

Organisasi dan Manajemen Dalam Perspektif (Editor)

Hang Tuah University Press, Surabaya,1997.

Potensi dan permasalahan Sumberdaya Pesisir Jawa Timur

Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional III Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan kelautan Indonesia, Bali, 2002.

Communication skills: Kunci sukses TQM

Usahawan, 1998

Sumber konflik: Bagaimana cara mengatasinya?

Majalah Manajemen, 1997.

Diskresi Birokrasi

dalam Wibawa, Samodra (Editor), Administrasi Negara: Isu-Isu Kontemporer, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009

ABSTRAK

Kajian tentang diskresi birokrasi sangat perlu dilakukan mengingat keterkaitannya dengan upaya peningkatan efektivitas implementasi kebijakan dan pelayanan publik, sebagai salah satu isu sentral dalam kajian administrasi negara. Dengan adanya ruang diskresi, birokrasi dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara mandiri dan profesional terutama dalam menjalankan fungsi pelayanan publik dimana ia berhadapan langsung dengan masyarakat yang tingkat pluralitasnya tinggi.
Diskresi dalam hal ini diartikan sebagai kemampuan administrator untuk memilih diantara alternatif dan memutuskan bagaimana suatu kebijakan (policy) pemerintah harus diimplementasikan dalam situasi-situasi tertentu. Diskresi ini sangat diperlukan, mengingat azas legalitas saja dianggap tidak cukup bagi birokrasi pemerintah untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani berbagai kepentingan masyarakat yang berkembang semakin luas dan kompleks.
Asumsi yang berkembang, diskresi itu berbahaya sehingga harus dibatasi atau bahkan tidak perlu ada. Namun penulis berpendapat lain, diskresi birokrasi itu justru perlu dilindungi sehingga siapapun yang akan memanfaatkan birokrasi untuk kepentingan dirinya atau kelompok akan mendapat sanksi yang tegas. Pejabat birokrasi dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya perlu mendapat perlindungan ketika mengambil keputusan diskresi demi mengatasi masalah yang lebih urgen. Garis batas kewenangan antara pejabat politik dan birokrasi perlu dipertegas agar tidak ada yang saling mengintervensi dan mendominasi diantara mereka yang pada gilirannya justru merugikan kepentingan publik.

Kata Kunci: Diskresi, Birokrasi, Profesional.



Pendahuluan

Sejak digulirkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang merupakan tonggak reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya pemerintahan daerah, banyak yang mensinyalir bahwa kinerja birokrasi dalam pelayanan publik belum banyak mengalami kemajuan yang signifikan. Padahal tujuan utama diterapkannya otonomi daerah antara lain adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah (Mardiasmo, 2000) dan secara luas adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa daerah memang dapat menunjukkan inovasi pelayanan publik yang sangat baik, namun tidak sedikit pula pemerintahan daerah yang belum memprioritaskan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakatnya .
Fenomena yang muncul adalah beralihnya kekuasaan yang semula didominasi oleh pemerintah pusat kini kekuasaan berada ditangan penyelenggara pemerintahan daerah. Suatu bukti dimana komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat masih sebatas wacana, dapat dilihat dari kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang lebih mengutamakan belanja rutin daripada untuk pembangunan yang dapat dinikmati langsung oleh masyarakat. Komitmen pemerintah untuk mempriotitaskan pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatanpun juga belum nampak secara tegas. Banyaknya penyimpangan yang dilakukan elit pemerintahan baik yang berada di domain legislatif maupun eksekutif, semakin menurunkan citra pemerintah dan lembaga legislatif di mata publik. Demikian pula kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi pemerintah makin rendah.
Rendahnya kualitas pelayanan publik ini antara lain disebabkan masih rendahnya profesionalisme birokrasi sehingga birokrasi tidak mampu memanfaatkan ruang diskresi yang seharusnya dapat digunakan demi meningkatan responsivitas terhadap tuntutan masyarakat. Diskresi birokrasi pemerintah daerah sebagai katup pengaman adanya kesenjangan kebijakan (terutama yang ditetapkan Pusat) dengan kebutuhan riil masyarakat di daerah yang lebih dinamis, ternyata belum digunakan sebagaimana mestinya. Masih banyak ditemukan adanya kebijakan dan peraturan yang dioperasionalkan di daerah yang ternyata kurang sesuai dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat secara riil. Faktor penyebab ketidak sesuaian itu bukan saja karena kebijakan lebih banyak ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan juga karena pejabat penyelenggara pemerintahan daerah belum sepenuhnya mempunyai visi dan komitmen untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan otonomi daerah masih sekedar sebagai wacana yang perlu terus diupayakan realisasinya. Penggunaan ruang diskresi oleh pejabat birokrasi pemerintah daerah ternyata masih banyak yang menyimpang karena tingginya intervensi politik lokal. Tulisan ini oleh karenanya ditujuan untuk mengupas sejauhmana otonomi daerah telah mendorong peningkatan profesionalisme birokrasi yang ditandai dengan pemanfaatan ruang diskresi secara akuntabel demi kepentingan publik.

Meluruskan Diskresi Birokrasi

Profesionalisme birokrasi telah menjadi harapan berkepanjangan dalam sistem pemerintahan di banyak negara. Bukti-bukti yang menunjukkan masih rendahnya profesionalisme birokrasi pemerintah, membentang mulai dari belum tertibnya administrasi dan data base kependudukan, rendahnya kualitas pelayanan publik terutama untuk pelayanan sosial dasar seperti kesehatan dan pendidikan, hingga buruknya manajemen pembangunan baik di level nasional maupun daerah. Semua keburukan kinerja birokrasi ini justru terjadi sebagai akumulasi kekuasaan yang didominasi oleh chief executive dan birokrasi dalam kurun waktu yang relatif lama.
Dominasi birokrasi ini disebabkan keterbatasan yang ada pada para politisi, kebanyakan politisi kurang memiliki peran atau pengaruh dalam proses pembuatan kebijakan publik. Sebagaimana pendapat Dror dalam Caiden (1982:55) bahwa kebanyakan politisi kurang berkualitas sehingga kevacuman dalam pembuatan kebijakan pada level politis diambil alih prakarsanya oleh para birokrat. Meskipun kebijakan publik dibuat di arena politik, namun perencanaan dan implementasi dari kebijakan tersebut berada pada arena birokrasi (Caiden,1982:55). Sehingga birokrasilah yang sebenarnya lebih banyak memegang peranan dalam pembuatan maupun pelaksanaan kebijakan.
Namun kekuasaan yang besar ditangan birokrasi pemerintah dengan birokrat yang umumnya memiliki kemampuan ’lebih’ dibanding mitranya yang duduk di legislatif, ternyata justru menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan wewenang yang semakin tinggi pula intensitasnya. Tuntutan terhadap peran birokrasi sebagai sarana administrasi rasional yang netral dalam skala yang besar (Blau dan Myer, 1987:5), ternyata dalam prakteknya, birokrasi justru berkembang sebagai lembaga negara yang inefisiensi dan tidak profesional. Meskipun telah terjadi pergeseran paradigma dari perspektif administrasi publik yang tradisional menuju ke paradigma administrasi publik modern (new public administration), ternyata tidak sertamerta mendorong terjadinya perubahan perilaku birokrasi. Kesenjangan antara harapan masyarakat dengan kinerja birokrasi yang makin lebar akhirnya makin menguatkan stigma “red-tape” birokrasi, inefisiensi, dan lain sebagainya.
Besarnya kekuasaan di tangan birokrasi ternyata tidak identik dengan tingginya diskresi birokrasi. Adalah John Lock yang telah menegaskan bahwa diskresi merupakan persyaratan untuk menjalankan pemerintahan yang efektif dan efisien. Ia menegaskan bahwa untuk pelayanan publik kadangkala diperlukan kewenangan diskresi yang tidak diatur dalam undang-undang atau kebijakan tertentu bahkan bisa jadi bertentangan dengan undang-undang yang sudah ada. Hal itulah yang biasa disebut sebagai hak prerogatif eksekutif. Kewenangan diskresi tersebut diperlukan karena tidak ada undang-undang yang mampu mengantisipasi setiap kejadian dan konsekwensi-konsekwensi yang tidak diinginkan. Oleh karenanya eksekutif perlu mendapat ruang dimana mereka dapat mengambil keputusan atau melakukan tindakan diantara alternatif-alternatif yang bisa dilakukannya (Jonh Lock, 1965). Davis menegaskan pula bahwa hukum tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya diskresi (1969). Bryner (1997) juga sependapat dengan John Lock dan Davis, intinya adalah bahwa undang-undang tidak mungkin mengcover seluruh permasalahan publik dan pemerintahan secara riil. Sehingga para birokrat perlu mengambil tindakan diskretif untuk memecahkan permasalahan yang timbul. Jadi orientasi diskresi adalah ’problem solving’, bukan yang lainnya. Namun sejauh ini hukum administrasi negara belum dapat memberi jaminan bagi penerapan diskresi birokrasi sebagai fungsi informal dari administrasi.
Ketiadaan atau terbatasnya ruang diskresi berarti menghambat fleksibilitas dan mengekang profesionalisme birokrat yang berdampak pada rendahnya kualitas pelayanan publik (Aiken dan Hage, 1966; Miller, 1967; Handler, 1996; Scott, 1997). Namun disisi lain, diskresi perlu dibatasi agar keputusan yang diambil oleh seorang pejabat (birokrat) tidak bertentangan dengan hukum dan kepentingan publik yang lebih luas (Scott, 1997). Dengan demikian kewenangan diskresi sebenarnya merupakan respon terhadap situasi ketidak-menentuan seiring dengan dinamika perkembangan tuntutan publik yang semakin pesat (beragam) yang kurang diimbangi dengan kecepatan perkembangan di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan. Sehingga sangat dimungkinkan bagi seorang pejabat (birokrat) menempuh kebijakan diskretif sepanjang tetap berada pada koridor tugas dan tanggungjawabnya demi menjawab problem yang berkembang dalam masyarakat.
Namun benarkah bahwa birokrasi dengan diskresi yang dimiliki tersebut secara signifikan mendorong peningkatan profesionalisme dan kualitas pelayanan publik? Seperti konsep reinventing government yang tengah banyak diadopsi di Indonesia, yang menekankan pentingnya otonomi dan diskresi ternyata tidak serta merta menghasilkan perubahan yang signifikan dalam hal peningkatan kualitas pelayanan publik. Hal ini tidak lain karena upaya reinventing government melalui otonomi masih memerlukan serangkaian prasyarat pendukung yang perlu terlebih dahulu dikembangkan melalui program-program pembangunan kapasitas (capacity building) yang tentunya memerlukan waktu dan proses yang relatif panjang.

Pemanfaatan Ruang Diskresi di Era Otonomi Daerah

Peran pemerintah daerah di masa sebelum reformasi berada di bawah kendali pemerintah pusat, kini begitu “powerfull” dengan besarnya kewenangan otonom yang dimilikinya. Alih-alih dengan kewenangan yang besar itu digunakan untuk memperbaiki kinerja pemerintah dan pelayanan publik, justru dalam prakteknya seringkali pemerintah daerah mengusung praktik-praktik KKN. Kasus-kasus di daerah seperti maraknya proyek titipan, meyimpangan pengelolaan keuangan daerah dan masih banyak kasus lain dalam penyelenggaran pemerintahan daerah membuktikan bahwa telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh ‘penguasa’ daerah.
Dengan Otonomi Daerah sebenarnya diharapkan dapat mendekatkan pemerintah dengan rakyat sehingga kepentingan rakyat daerah semakin mudah terakomodir yang pada gilirannya mempercepat peningkataan kesejahteraan rakyat. Paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan structural-efficiency model telah harus digeser dengan paradigma local-democracy model. Pemerintah daerah harus dapat mengakomodir berbagai perbedaan aspirasi melalui forum-forum stakeholders untuk dapat merumuskan kepentingan umum dan menentukan prioritas dalam proses kebijakan publik di tingkat daerah maupun pusat. Namun dalam perjalanannya, pelaksanaan demokrasi rakyat belum berjalan sebagaimana seharusnya. Suara dan aspirasi rakyat masih sekedar ‘komoditas’ politik yang dimanfaatkan oleh sebagian partai politik dan politisi untuk mencapai kekuasaan. Bahkan lembaga DPRD yang merupakan representasi rakyat seringkali bersikap tidak menjadi wakil rakyat, melainkan hanya mewakili partai politiknya atau bahkan dirinya sendiri.
Peran kontrol lembaga ini terhadap jalannya pemerintahan daerah terutama dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dinilai juga sering melampaui batas kewenangan yang menjadi domain birokrasi. Sehingga terkesan lembaga legislative berusaha mendominasi kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kewenangan DPRD ini bahkan tidak hanya di wilayah domain pembuatan kebijakan namun juga tidak jarang memasuki domain teknis administratif. Banyak kewenangan yang menjadi domain birokrasi Pemerintah Daerah ternyata terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan politik. Dengan demikian jika dibandingkan dengan era sebelumnya, telah terjadi pergeseran lokus dan fokus penggunaan kekuasaan dari eksekutif ke legislatif (Thoha, 2003). Hal ini tercermin dari proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik dimana kepentingan penguasa selalu menjadi kriteria yang dominan dan seringkali menggusur kepentingan masyarakat banyak manakala keduanya tidak berjalan bersama-sama.
Keinginan untuk mendominasi kekuasaan ini sebenarnya tidak perlu dilakukan, mengingat masing-masing telah memiliki domain kewenangan yang jelas. Dari kewenangan yang dimiliki baik legislatif maupun eksekutif, masing-masing dapat menggunakan dan menjalankan kewenangannya itu secara mandiri dan profesional, dapat dipertanggungjawabkan namun tetap membangun kolaborasi dan selalu menegakkan prinsip ’check and balances’ .
Derajat keleluasaan untuk menggunakan kewenangan oleh masing-masing lembaga dan pejabat dalam lembaga tersebut dimaknai sebagai diskresi atau keleluasaan untuk mengambil kebijaksanaan baik dalam proses pengambilan keputusan maupun pelaksanaan kebijakan sepanjang masih berada dalam domain kewenangannya dan tidak melanggar norma-norma etika dan hukum yang lebih luas. Polisi lalu lintas, misalnya, ketika sedang beroperasi di jalan raya mereka memiliki tingkat diskresi yang tinggi untuk mengambil keputusan atau tindakan walaupun harus melanggar rambu-rambu yang ada demi mengatasi masalah kemacetan lalu lintas.
Namun penggunaan ruang diskresi ini seringkali disalah-artikan dan akhirnya menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan. Terutama sejak diberlakukannya Undang-Undang No.22 tahun 1999, banyak kewenangan formal yang mengandung ruang diskresi cukup besar, terutama untuk lembaga legislatif daerah. Kasus penyimpangan diskresi oleh DPRD seperti yang terjadi di Sumatera Barat, dimana pos keuangan DPRD dalam APBD Sumbar Tahun 2002 terdapat pengeluaran untuk berbagai tunjangan kepada anggota Dewan yang melebihi plafon yang ditentukan berdasarkan PP No. 110 tahun 2000. Akibatnya APBD menjadi defisit. Untuk menutupi defisit, diterbitkan perda mengenai pungutan. Diantaranya pungutan mengenai air tanah dan air permukaan, perda retribusi bahan bakar kendaraan bermotor dan retribusi kesehatan (Kompas, 26 Agustus 2003). Contoh seperti itu menunjukkan pemanfaatan ruang diskresi yang tidak tepat. Sebagaimana kita ketahui, Pemerintah Daerah dan DPRD melalui Otonomi Daerah telah diberi mandat oleh Pemerintah Pusat untuk menyusun rencana anggaran dan pengelolaannya di lingkup pemerintahan masing-masing. Kewenangan penuh itu telah diatur dalam UU Susduk DPR/DPRD No 4 tahun 1999 yang dikenal sebagai fungsi budgeting. Dengan mandat yang demikian, DPRD dan Pemerintah Daerah secara lebih leluasa dapat menentukan tata alokasi anggaran sesuai dengan kebutuhan prioritas yang akan disediakan /dibangun/ dikembangkan dalam kurun waktu satu tahun kedepan.
Untuk mencoba mengendalikan penggunaan anggaran yang berlebihan, upaya pemerintah pusat antara lain dengan mengeluarkan PP No 110 Tahun 2000 yang diharapkan menjadi acuan bagi DPRD untuk menyusun anggaran bagi rumah tangganya, namun dikemudian hari dianulir oleh Mahkamah Agung yang mengabulkan judicial review atas PP tersebut. Sehingga kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan baik legislatif maupun eksekutif di daerah terkait dengan basarnya kewenangan daerah otonom pada saat itu masih banyak terjadi. Masing-masing DPRD merasa memiliki hak untuk menentukan item-item kebutuhan yang akan dibiayai oleh APBD tanpa mengacu pada PP 110 Tahun 2000. Padahal Pemerintah melalui Mendagri telah menegaskan bahwa PP 110 masih berlaku sambil menanti adanya revisi atas PP tersebut.
Jika lembaga legislatif menggunakan ruang diskresinya secara ’berlebihan’, kondisi sebaliknya dialami oleh lembaga eksekutif (birokrasi). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak keputusan birokrasi yang dibuat tidak didasarkan pada pertimbangan profesionalisme namun lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan pejabat politik. Domain kewenangan birokrasi pemerintah hampir-hampir tidak menyisakan ruang diskresi bagi pejabat birokrasi untuk mengambil keputusan secara mandiri dan profesional, baik dalam bidang perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan di daerah, maupun dalam persoalan kepegawaian.
Dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah baik pada domain politis yang di sahkan dalam Peraturan Daerah hingga proses perencanaan kerja tahunan pada tataran teknis, ternyata banyak diwarnai adanya intervensi oleh “kepentingan-kepetingan lain” yang datang dari oknum-oknum anggota DPRD maupun tokoh partai politik. Terdapat dua alasan yang dapat menjelaskan fenomena ini adalah: (1) rendahnya kemampuan aparat birokrasi pemerintah daerah sehingga tidak memiliki cukup keahlian dalam menyusun TOR; (2) apatisme aparat birokrasi karena bagaimanapun juga tetap akan ada intervensi dari pihak-pihak tertentu. Atas kedua alasan inilah akibatnya birokrasi pemerintah terkesan tidak bekerja secara profesional sesuai tugas dan fungsinya.
Demikian pula dalam pelaksanaan program pembangunan, birokrasi pemerintah daerah sering mendapat ’tekanan’ dari pejabat politik. Kebijakan di bidang teknis operasional yang merupakan kewenangan birokrasi ternyata masih diintervensi oleh pejabat politik – terutama dari para bupati dan walikota--. Ambil sebuah contoh di kabupaten Bima, program bantuan ternak sapi yang seharusnya diberikan kepada para peternak dan bantuan bibit padi kepada para petani untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, tetapi dalam pendistribusiannya diberikan secara merata kepada seluruh penduduk desa tanpa memperhatikan kriteria teknis yang ada. Diskresi tersebut dilakukan bukan atas dasar kebutuhan riil di masyarakat namun karena kepentingan politik ’balas jasa’ bupati dan untuk mendapat simpati rakyat. Meskipun resiko ketidak efektifan kebijakan bantuan tersebut jelas lebih besar namun birokrasi terpaksa melaksanakan ’perintah’ bupati tersebut.
Intervensi politik terhadap domain kewenangan birokrasi lebih besar lagi terjadi dalam penataan kepegawaian di jajaran birokrasi. Penempatan dan pengangkatan pejabat di era otonomi ini tidak lagi mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku, persyaratan administratif dan kompetensi hampir-hampir tidak lagi menjadi pedoman. Sebagai pengganti persyaratan yang terpenting adalah dukungan pejabat yang bersangkutan terhadap partai politik yang sedang berkuasa. Akibatnya semakin banyak pejabat birokrasi pemerintah daerah yang kurang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi terhadap tugas dan tanggungjawabnya secara profesional. Kepentingan politik sudah menjelma menjadi ’panglima’ dalam setiap gerak langkah pejabat demi menjaga ’mulusnya’ hubungan dengan pemimpin politik agar jabatan yang sudah di tangan tidak melayang. Contoh menarik yang dapat diangkat dalam hal ini adalah kasus mutasi di Dinas Pendidikan, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bima yang terjadi hampir setiap 4-6 bulan sekali tanpa didukung alasan profesional yang jelas. Seorang Kepala Cabang Dinas yang baru diangkat 6 bulan tiba-tiba diberhentikan hanya karena sang istri tidak bersedia mundur dari kepengurusannya di sebuah partai politik lain, dan masih banyak contoh kasus lainnya.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa di era otonomi daerah ini, diskresi (keleluasaan membuat keputusan pada domain kewenangannya) birokrasi semakin sempit karena terjadinya politisasi birokrasi secara besar-besaran. Jika dibandingkan dengan era sebelum reformasi dimana kekuatan politik yang berkuasa hanya satu yakni Golkar, masih lebih kondusif daripada banyak partai politik yang saling memperebutkan dukungan birokrat. Dalam birokrasi akhirnya terjadi ’pengelompokan’ pendukung dan selalu diliputi rasa saling curiga dan was-was yang pada gilirannya justru mengganggu tugas dan tanggungjawab utamanya menyelenggarakan pelayanan publik dengan sebaik-baiknya.

Purna wacana
Permasalahan klise yang sulit diatasi adalah rendahnya profesionalisme birokrasi. Padahal dari segi kompetensi sumberdaya manusianya, birokrasi dapat dikatakan lebih unggul karena bagaimanapun juga rekrutmennya masih menggunakan kriteria dan mekanisme seleksi yang jelas (walaupun sering dilanggar). Berbeda dengan counterpartnya di lembaga legislatif yang pola rekrutmennya hanya mengandalkan suara terbanyak. Sumber dari permasalahan itu adalah ’ketidakberdayaan’ birokrasi dalam menangkal intervensi ’kepentingan’ baik politik maupun finansial. Sebagaimana konsepsi Weber dan pengikutnya, karena lingkungan birokrasi yang sarat kepentingan itulah maka perlunya prinsip ideal birokrasi agar selalu sadar dan berusaha menegakkan prinsip tersebut.
Berangkat dari pandangan tersebut birokrasi sudah seharusnya memiliki ruang diskresi yang memungkinkan pengambilan keputusan secara mandiri, responsif dan semata-mata ditujukan untuk mengatasi masalah riil di lapangan. Asumsi yang berkembang, diskresi itu berbahaya sehingga harus dibatasi atau bahkan tidak perlu ada. Namun dalam hal ini penulis berpendapat lain, yakni diskresi birokrasi itu justru perlu dilindungi sehingga siapapun yang akan memanfaatkan birokrasi untuk kepentingan dirinya atau kelompok akan mendapat sanksi yang tegas., Pejabat setingkat Sekretaris Daerah dan Kepala Dinas perlu mendapat perlindungan ketika mengambil keputusan diskresi namun masih dalam batas kewenangannya dan demi mengatasi masalah yang lebih urgen. Garis batas kewenangan antara pejabat politik dan birokrasi perlu dipertegas agar tidak ada yang saling mengintervensi dan mendominasi diantara mereka yang pada gilirannya justru merugikan kepentingan publik.

Referensi:
Albrow, M. 1996. Birokrasi (Terjemahan). Yogjakarta: PT.Tiara Wacana.
Bardach, E., dan R.A. Kagan. 1982. Goin by the book: The Problem of Regulatory Unreasonableness. Philadelphia: Temple University Press
Bohman, J. 1996. Public deliberation: Pluralism, complexity and democracy. Cmbridge. MA: MIT Press
Bryner, G. 1987. Bureaucratic Discretion: Law and Policy in Federal Regulatory Agencies. New York: Pergamon Press
Downs, A. 1976. Inside bureaucracy. Boston: Little, Brown and Company.
Dwiyanto, A.dkk . 2003. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Jogjakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM
Fanany, C. 1993. Diskresi-Implementatif sebagai Salah Satu Upaya Membumikan Perencanaan Strategis. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.
Ferlie, E. et al. 1996. The New Public Management In Action. Oxford. Oxford University Press
Fiorina, M. P. 1986. Legislator uncertainty, legislative control and the delegation of legislative power. Journal of law, Economics and Organization, 2:33-51
Frederickson, H.C.1980. The New Public Administration. Tuscaloosa.University of Alabama Press.
Gailmard, S. 2002. Expertise, Subversition and Bureaucratic Discretion. Journal of Law, Economic and Organization, Vol. 18, 2: 536-555
Hadiz, V.R. 1989. Politik, budaya dan perubahan sosial: Sebuah rekonstruksi dan kritik terhadap pemikiran Ben Anderson. Prisma, 2:29-44
Handler, J.F. 1996. Down from bureaucracy. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Harris, S. 2000. Paradigma Baru Otonomi Daerah. Kompas. 28 April.
Hidayat, S. 2002. Refleksi realitas otonomi daerah dan tantangan ke depan. Jakarta. Pustaka Quantum,
Hossein, B. 2001. Implementasi kebijakan desentralisasi dan idealisasi kebijakan desentralisasi. Bisnis dan birokrasi: Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. IX/2/Mei/2001
Huges, O. E.1994. Public management and Administration: An Introduction. New York: Martin’s Press
Hunold, C. 2001. Corporatism, Pluralism, and Democracy: Toward a Deliberative Theory of Bureauratic Accountability. An International Journal of Policy an Administration, Vol. 14, No. 2, April, 151-167
Kelly, R.M. 1994. Theories of justice and street-level discretion. Journal of public administration research and theory, 4: 119-140
Madlenka, K. 1980. The Urban Bureaucracy and The Chicago Political Machine: Who Get What and Limits of Political Control. The American Political Science Review. Vol. 74, P.991
McNollgast. 1987. Administative procedures as instruments of political control.3.
Meier, K.J. 1993. Politics and bureaucracy: Alienation among industrial scientists and engineers. American sociological revie. 32: 755-768
Miller, G.A. 1967. Professional in Bureaucracy: Alienation among Industrial Scientists and Engineers. American Siciological Review, 32: 755-768
Robbins, Stephen, 1996, Organizational behavior: concept, controversies, applications, 7th edition, Prentice hall, Inc., Engglewood Cliffs, New Jersey
Rourke, Francis E., 1984, Bureaucracy, Politics and Public Policy, 3th edition, New York: Macmillan
Schein, Edgar, 1985, Organizational culture and leadership, Jossey-Bass, San Francisco
Scott, Patrick G., 1997, Assesing Determinants of Bureacratic Discretion: An Experiment in Street-level Decision Making, Journal of Public Administration Research and Theory, January, 7:35-57
Shapiro, Martin, 1988, Who guard the guardian? Judicial control of administration, Athens, GA: University of Giorgia Press
Thoha, Miftah, 2003, Birokrasi dan politik di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Usman,Syaiku dan Mawardi,Sulton, 2003, Realitas Otonomi Daerah:Tantangan bagi Capacity Building, dalam Warsito dan Yuwono,Teguh,2003, Otonomi Daerah: Capacity Building dan Penguatan Demokrasi Lokal, Puskodak-Undip,Semarang.
Wilson, James Q., 1989, Bureaucracy: What government agencies do and why they do it, New York: Basic Books
Yuwono, Teguh, 2002, Otonomi Daerah berjalan di tempat, Harian Umum Suara Merdeka, 28 Desember
Kompas, 6 Juli 2003
Kompas, 26 Agustus 2003


Bureaucratic Discretion: Analisis interaksi Budaya politik, Struktur Birokrasi dan Budaya Birokrasi pemerintah daerah

Jurnal Ilmu Komunikasi dan Ilmu Administrasi Negara, Vol.2 No.1, Maret, 2009
Abstract
In running commendation of public policy, the existence of bureaucratic discretion is needed especially for the service of public where bureaucracy government officer look out on direct with society as client, customer and also citizen which must serve better. Bureaucratic discretion conveys the idea of a public agency acting with considerable latitude in implementing broad policy mandates in certain situations. But in fact, bureaucrat often conducts the functionary abuse of their discretion. Besides influenced by political behavior or culture, this bureaucratic discretion also is oftentimes influenced by internal condition of bureaucracy itself, covering organizational culture and structure of bureaucracy. Therefore, to control the use of bureaucratic discretion requires to be conducted by developing accountability system.

Key words: Discretion, Bureaucratic Culture, Accountability



Pendahuluan

Momentum reformasi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintah orde baru, sebenarnya selain dipicu oleh masalah ekonomi juga merupakan refleksi ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Akibatnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi pemerintah makin rendah. Hal ini disinyalir antara lain karena rendahnya kualitas pelayanan birokrasi terhadap masyarakat yang sebagian besar dilakukan oleh pegawai negeri sipil (Kompas, 6 Juli 2003). Rendahnya kualitas pelayanan publik ini antara lain disebabkan rendahnya diskresi birokrasi terutama pada level pelaksana bawah (street-level bureaucracy) sehingga pelayanan yang dihasilkan kurang fleksibel, dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat secara riil.

Sejak digulirkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang merupakan tonggak reformasi di bidang pemerintahan khususnya pemerintahan daerah, banyak yang mensinyalir bahwa kinerja birokrasi dalam pemberian pelayanan publik belum banyak mengalami perubahan atau kemajuan. Padahal semangat otonomi yang diharapkan terwujud adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian pelayanan publik yang lebih berkualitas. Di beberapa daerah justru muncul fenomena beralihnya kekuasaan yang semula didominasi oleh pemerintah pusat kini kekuasaan berada ditangan pemerintahan daerah. Suatu bukti dimana komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat masih sebatas wacana, dapat dilihat dari kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang lebih mengutamakan belanja rutin daripada untuk pembangunan yang dapat dinikmati langsung oleh masyarakat. Komitmen pemerintah untuk mempriotitaskan pendidikan pun juga belum diwujudkan.

Pergeseran ‘pendulum’ kekuasaan
Peran birokrasi pemerintah daerah yang di masa sebelum reformasi berada di bawah kendali pemerintah pusat, kini kelihatan begitu “powerfull” membuat kebijakan di daerahnya walau kadang kebijakan itu tanpa didasari kajian-kajian akan dampak dan manfaatnya secara lebih matang. Dalam implementasi kebijakanpun seringkali pemerintah daerah justru mengusung praktik-praktik KKN yang semakin kental. Kasus-kasus seperti di Ciamis, yang tidak memberlakukan lelang terbuka untuk proyek-proyek APBD, di Situbondo yang marak dengan proyek titipan, dan masih banyak kasus lain sekitar penyimpangan yang dilakukan dalam penyelenggaran pemerintahan daerah membuktikan bahwa telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh ‘penguasa’ daerah.
Jika dilihat dari konteks kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah, kewenangan Pemerintah Daerah semakin besar, namun hal ini tidak menjadikan pemerintah daerah dapat menggunakan kewenangan yang besar tersebut seperti pola lama dimana pemerintah yang menentukan segala sesuatunya. Otonomi daerah berarti membangun demokrasi melalui pelibatan seluruh stakeholders daerah. Pola penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan structural-efficiency model telah digeser dengan local-democracy model. Pemerintah daerah harus dapat mengakomodir berbagai perbedaan aspirasi melalui forum-forum dialog antar stakeholders untuk dapat merumuskan kepentingan umum yang pada gilirannya digunakan untuk menentukan prioritas dalam proses kebijakan publik.
Namun dalam perjalannya, pelaksanaan demokrasi seringkali dinilai ‘kebablasan’. Suara dan aspirasi rakyat yang masih sekedar ‘komoditas’ politik ternyata banyak dimanfaatkan sebagian partai politik untuk mencapai kekuasaan. Bahkan lembaga DPRD yang merupakan representasi rakyat seringkali bersikap tidak menjadi wakil rakyat, melainkan hanya mewakili partai politiknya atau bahwa dirinya sendiri. Peran kontrol lembaga ini terhadap jalannya pemerintahan daerah terutama kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, justru sering melampaui batas kewenangannya. Sehingga terkesan lembaga legislative di daerah ini berusaha mendominasi kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kewenangan DPRD ini bahkan tidak hanya di wilayah domain pembuatan kebijakan namun juga tidak jarang memasuki domain administratif yang menjadi kewenangan birokrasi pemerintah. Dengan demikian telah terjadi pergeseran lokus dan fokus penggunaan kekuasaan dari eksekutif ke legislatif (Thoha, 2003). Kewenangan birokrasi Pemerintah Daerah dalam menjalankan kebijakan publik terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan politik. Hal ini tercermin dari proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik dimana kepentingan penguasa selalu menjadi kriteria yang dominan dan seringkali menggusur kepentingan masyarakat banyak manakala keduanya tidak berjalan bersama-sama (Kompas, 6 Juli 2003).
Fenomena di atas menggambarkan adanya tarik menarik kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bergerak antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Tarik menarik kekuasaan ini sebenarnya tidak perlu dilakukan, mengingat masing-masing telah memiliki domain kewenangan yang jelas. Dari kewenangan yang dimiliki baik legislatif maupun eksekutif, masing-masing dapat menggunakan dan menjalankan kewenangannya itu secara mandiri dan profesional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Derajat keleluasaan untuk menggunakan kewenangan oleh masing-masing lembaga dan pejabat dalam lembaga tersebut dimaknai sebagai diskresi atau keleluasaan untuk mengambil kebijaksanaan baik dalam proses pengambilan keputusan maupun pelaksanaan kebijakan sepanjang masih berada dalam domain kewenangannya dan tidak melanggar norma-norma etika dan hukum yang lebih luas. Polisi lalu lintas, misalnya, ketika sedang beroperasi di jalan raya mereka memiliki tingkat diskresi yang tinggi untuk mengambil keputusan atau tindakan guna mengatasi kemacetan lalu lintas walaupun harus melanggar rambu-rambu yang ada.
Namun penggunaan ruang diskresi ini seringkali disalahartikan dan akhirnya menjurus pada penyimpangan kekuasaan. Seperti yang terjadi di Sumatera Barat (Sumbar), dimana dalam APBD Sumbar Tahun 2002 terdapat pengeluaran untuk berbagai tunjangan kepada anggota Dewan, seperti pembelian spring bed sebesar Rp 14 juta, tunjangan meja rias sebesar Rp 1,5 juta, rak piring Rp 500.000, kursi tamu Rp 18 juta, lemari buku Rp 3, 25 juta, dan tunjangan asuransi Rp 2,5 juta per bulan selama 5 tahun. Akibatnya APBD menjadi defisit. Untuk menutupi defisit, diterbitkan perda mengenai pungutan. Di antaranya pungutan mengenai air tanah dan air permukaan, perda retribusi bahan bakar kendaraan bermotor dan retribusi kesehatan (Kompas, 26 Agustus 2003).
Penerbitan Peraturan Daerah yang marak di era otonomi banyak dipermasalahkan karena substansinya justru membebani masyarakat daerah. Di Lampung, melalui Perda No 6/2000, untuk komoditas yang keluar dari Provinsi Lampung diharuskan izin, lalu dikenakan retribusi. Kabupaten Pasaman, Sumbar, memiliki Perda No 14/2000 yang mengenakan retribusi kepada pasar, grosir, dan pertokoan sebesar Rp 5.000 per hari. Adapun di Kabupaten Pariaman melalui Perda No 2/2000 dikenakan retribusi bagi masyarakat yang menjual ternak. Bahkan, di Kabupaten Cirebon, ada perda yang memberlakukan pungutan kepada pengamen, di Bengkulu diberlakukan pungutan kepada masyarakat yang mengambil sayuran di hutan (Kompas, 26 Agustus 2003). Kebijakan pemerintah daerah dan DPRD untuk memproduksi Perda-perda tersebut tidak lain karena adanya persepsi keliru dalam memaknai kewenangan dan diskresi yang melekat pada kedua lembaga penyelenggara pemerintahan daerah tersebut.
Diskresi Birokrasi ‘Setengah hati’ atau ‘over discretion’ ?
Diskresi umumnya diartikan sebagai kemampuan administrator untuk memilih diantara alternatif dan memutuskan bagaimana suatu kebijakan (policy) pemerintah harus diimplementasikan dalam situasi-situasi tertentu (Rourke 1984). Sarana ini sangat penting untuk kesuksesan pembuatan kebijakan dan dirangkai ke dalam pembuatan konstitusi sebagai alat penyebaran baik power (kekuasaan) dan konflik antar berbagai kepentingan (Bryner, 1987). Dengan demikian diskresi jelas merupakan bagian dari proses administratif, dan diskresi yang memadai sangat diperlukan dalam menjalankan kegiatan masing-masing.
Dengan beberapa contoh di atas, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa dengan adanya diskresi Pemerintah Daerah yang semakin besar ini pelayanan kepada masyarakat justru terlalaikan dan lebih mementingkan kepentingan elite pemerintahan itu sendiri. Hasil penelitian tentang kualitas pelayanan publik di beberapa Pemerintah Kabupaten dan Kota yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto dkk (2003) menjelaskan bahwa kurang adanya diskresi birokrasi sehingga mengakibatkan pelayanan menjadi lamban. Namun di sisi lain, fenomena empiris yang dicontohkan di atas justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Bagaimana persepsi birokrat itu sendiri terhadap perlunya ruang diskresi, dan sejauhmana mereka merasa dapat menggunakan ruang diskresi tersebut dalam menjalankan tugas dan kewenangannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menarik untuk dicari penjelasannya agar dapat dicari solusinya sehingga tudingan-tudingan miring terhadap birokrasi ini segera dapat dieliminir.
Analisis tentang diskresi birokrasi ini masih sangat diperlukan mengingat dalam menjalankan amanat kebijakan publik selalu diperlukan adanya diskresi, terutama untuk pelayanan publik dimana aparat birokrasi berhadapan langsung dengan masyarakat baik sebagai client, customer maupun citizen yang harus dilayani dengan baik. Dalam proses pemberian pelayanan publik, aparat birokrasi di level bawah (street level bureaucracy) seringkali dituntut dapat mengambil keputusan secara cepat, dan fleksibel. Sebagaimana hasil jajak pendapat pada masyarakat Amerika Serikat yang mayoritas menilai puas terhadap pelayanan birokrasi pemerintahnya karena mereka lebih fleksibel, responsif, dan cepat. Hasil pooling ini paling tidak dapat mewakili suara dan harapan rakyat terhadap aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan.
Agar birokrasi dapat fleksibel, responsif, dan cepat diperlukan adanya ruang kebebasan (diskresi) bagi mereka untuk menjadi lebih kreatif tanpa takut dipersalahkan hanya karena tidak sesuai prosedur. Pemberian diskresi kepada para pelaksana ini akan mendorong kreativitas dan motivasi kerja baik secara individual maupun organisatoris dalam satuan kerja. Namun di sisi lain, pemberian diskresi tanpa kontrol yang memadai juga akan berakibat adanya penyalahgunaan wewenang yang pada gilirannya merugikan kepentingan masyarakat. Disinilah letak dilema atau kontroversi pentingnya diskresi di dalam birokrasi pemerintah. Terlebih lagi dalam pengambilan keputusan birokrasi sangat sulit untuk tidak memasukkan pertimbangan diluar pertimbangan profesional. Derajad intervensi politik sangat tinggi, sehingga membuat birokrasi tidak profesional dan justru menjadi mesin politik penguasa.
Adanya gejala supremasi legislatif terhadap eksekutif dan birokrasi jelas telah membatasi ruang diskresi birokrasi sehingga tidak dapat bertindak netral dan profesional. Besarnya intervensi legislatif terhadap domain kewenangan birokrasi dapat dilihat dalam penataan organisasi birokrasi, pengangkatan kepala dinas, dan pejabat-pejabat daerah lainnya di era reformasi ini yang tidak lepas dari pengaruh legislatif. Kecenderungan intervensi legislatif dalam manajemen birokrasi pemerintah sebenarnya dilandasi oleh adanya motif – motif pribadi dan golongan seperti perebutan kekuasaan maupun mengejar keuntungan materi baik secara langsung atau tidak langsung. Apalagi partai politik yang berhasil memenangkan calon Bupati atau Walikota di daerahnya, cenderung akan memanfaatkannya untuk kepentingan parpolnya itu. Pejabat baru yang didukung oleh partai politik tertentu sulit menjadi pemimpin yang tidak bias kepentingan, ia sulit melepaskan diri dari intervensi parpol atau kelompok yang memenangkannya. Hal ini akan berimbas pada tekanan-tekanan terhadap birokrasi pemerintah dalam membuat kebijakan di domain administrasi sebagai pelaksanaan dari kebijakan politik.
Pengaruh Struktur dan Kultur
Pengaruh politik ini bisa bervariasi kekuatannya hingga ke level bawah mempengaruhi perilaku pegawai birokrasi pemerintah (baca: PNS). Hal ini terjadi mengingat dalam struktur birokrasi kita masih bercorak hierarkhis dengan kultur yang patrimonial. Kuatnya peran pemimpin puncak yang tidak lain adalah pejabat politik seringkali mengaburkan profesionalisme birokrasi. Sebagaimana disebut di atas dalam pengangkatan pejabat-pejabat karir di birokrasi Pemerintah Daerah sering diintervensi oleh kekuatan politik yang mendukung pejabat puncak tadi. Bahkan dalam mutasi dan pengangkatan pejabat birokrasi seperti Kepala – Kepala Dinas ada campur tangan DPRD setempat. Hal ini jelas sudah mengurangi diskresi birokrasi dalam mengatur atau merestrukturisasi organisasinya untuk meningkatkan kinerja pelayanan kepada masyarakat daerahnya.
Selain faktor lingkungan yang mempengaruhi diskresi birokrasi, faktor internal birokrasi itu sendiri juga ikut mempengaruhi seberapa jauh pejabat birokrasi dapat menggunakan diskresinya sesuai dengan tuntutan profesionalitas dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan publik. Faktor internal itu adalah struktur dan budaya birokrasi. Sebagaimana diketahui, lembaga birokrasi merupakan suatu bentuk dan tatanan yang mengandung struktur dan kultur (budaya). Struktur mengetengahkan susunan dari suatu tatanan, dan budaya mengandung nilai (values), sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan perilaku dari sumberdaya manusianya (Thoha,2002).
Birokrasi sebagai organisasi besar dengan struktur hiararkhi panjang dimana kewenangan pejabat puncak lebih besar. Pejabat yang berada pada struktur lebih rendah akan menerima delegasi wewenang dari atasannya, dimikian hingga level yang paling bawah memiliki kewenangan operasional yang terbatas dan lebih banyak berperan hanya sebagai pelaksana. Akibatnya pejabat-pejabat pada level bawah apalagi staf yang justru sering berhadapan langsung dengan publik merasa tidak memiliki kewenangan apapun untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan tugas operasional sekalipun. Dengan kata lain diskresi yang dimiliki sangat kecil atau hampir-hampir tidak ada.
Kelemahan struktur birokrasi tersebut semakin diperparah dengan tumbuh berkembangnya budaya paternalistik. Pejabat pada hirarkhi atas merasa dengan kewenangan besar yang mereka miliki dapat membuat keputusan sesuai dengan kemauannya sendiri atau kepentingan pihak lain yang lebih tinggi atau lebih besar kekuasaannya, seperti pejabat-pejabat politik. Dengan struktur kewenangan dan budaya paternalistik yang masih kuat, maka birokrasi menjelma menjadi mesin kekuasaan yang selalu tunduk kepada pejabat di atasnya.
Penyimpangan Diskresi lebih banyak dilakukan : Kasus Situbondo dan Surabaya
Pengaruh budaya paternalistik dan feodalisme yang sangat mewarnai budaya politik telah merasuki budaya birokrasi di Indonesia. Hal itu mewujud dalam pola perumusan kebijakan pada beberapa dasawarsa pemerintahan sebelum era reformasi antara lain dalam sistem perencanaan yang sentralistis sehingga mengurangi ruang gerak para pegawai untuk berinisiatif dan melakukan inovasi-inovasi. Kriteria pengawasan yang mengandalkan ketaatan terhadap sistem dan prosedur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan penekanannya masih pada audit terhadap pertanggung jawaban keuangan telah memacu munculnya formalitas dalam pengawasan dan pertanggungjawaban pekerjaan (Kasim;1998). Alhasil, administrasi negara Indonesia sangat dipengaruhi oleh pendekatan birokratis yang menekankan pada pengaturan semua kegiatan berdasarkan prosedur dan peraturan perundangan-undangan (rules driven). Orientasi birokrasi yang berlebihan pada aspek formalitas, justru memunculkan praktik-praktik birokrasi yang tidak efisien, tidak produktif dan mengabaikan makna kinerja dalam pelaksaanaan tugas kesehariannya.
Bekerja dalam bingkai peraturan-peraturan formal bagi birokrasi sudah merupakan prakondisi yang sejak lama diyakini sebagai suatu cara yang paling efisien, efektif, dan profesional. Hal ini didasarkan pada teori birokrasi Weber yang mengisyaratkan bahwa pelaksanaan tugas diatur oleh suatu "sistem peraturan-peraturan abstrak yang konsisten dan mencakup juga penerapan aturan-aturan tersebut di dalam kasus-kasus tertentu. Artinya bahwa setiap keputusan dan tindakan birokrasi haruslah didasarkan pada peraturan yang berlaku, jika tidak maka dikhawatirkan akan terjadi tindakan sewenang-wenang pejabat mengingat tidak ada aturan formal yang jelas. Seorang pejabat yang ideal dituntut melaksanakan tugas-tugasnya dengan semangat Sine ira et studio (formal dan tidak bersifat pribadi), tanpa perasaan-perasaan dendam dan nafsu dan oleh karena itu tanpa perasaan kasih sayang atau antusiasme (Blau dan Meyer, 1987).
Demikian halnya dalam kondisi dimana seorang pejabat atau petugas yang terpaksa harus menggunakan diskresi dalam keputusan dan tindakannya tidak boleh lepas dari koridor hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Sejauh mana kesesuaian tindakan diskretif pejabat birokrasi dengan peraturan perundang-undangan akan dipaparkan berikut ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa birokrasi pemerintah daerah di era otonomi cenderung belum mampu mengedepankan aspek profesionalisme yang menjadi harapan masyarakat terutama dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Hal ini diketahui dari hasil penyebaran kuesioner kepada 100 responden masyarakat di Kabupaten Situbondo dan 100 responden masyarakat di Kota Surabaya.


Gambar 4.1. Tanggapan masyarakat terhadap peningkatan profesionalisme Birokrasi (th. 2003)

Sumber: Data Primer diolah, 2003.
Survey yang dilakukan terhadap masing-masing 100 responden baik di Surabaya maupun di Situbondo menunjukkan bahwa penilaian masyarakat terhadap profesionalisme birokrasi dalam pelayanan publik mayoritas masih rendah yakni 46 % untuk Surabaya dan 49 % untuk Situbondo. Responden yang menilai profesionalisme birokasi sama saja dari sebelum otonomi daerah dengan setelah otonomi daerah sebesar 45 % untuk Surabaya, 37 % untuk Situbondo. Sedangkan yang menilai lebih profesional hanya 9 % untuk Surabaya dan 14 % untuk Situbondo.
Namun tanggapan masyarakat tersebut ternyata mengalami perubahan ketika peneliti menyebarkan kembali angket yang sama pada tahun 2006. Perubahan pendapat ini tidak lepas dari semakin mantapnya penyelenggaraan otonomi daerah yang sudah berjalan selama lebih dari 5 tahun dan Undang-Undang penyelenggaraan pemerintahan daerah telah direvisi dari UU no. 22 dan 25 th. 1999 yang efektif diberlakukan tahun 2001 menjadi UU no. 32 dan 35 tahun 2004.
Gambar 4.2. Tanggapan masyarakat terhadap peningkatan profesionalisme Birokrasi (th. 2005)

Dari gambar di atas dapat diketahui pergeseran pandangan masyarakat terhadap profesionalisme birokrasi. Ada pergeseran pandangan yang cukup signifikan terhadap profesionalisme birokrasi. Responden yang menilai bahwa profesionalisme birokrasi masih rendah atau kurang profesional turun menjadi sebesar 22 % untuk Surabaya dan 28 % untuk Situbondo. Responden yang menilai sama saja sebesar 36 % untuk Surabaya dan dan 33 % untuk Situbondo. Sedangkan yang menilai sudah lebih baik sebesar 42 % untuk Surabaya dan 39 % untuk Situbondo. Pendapat responden mengenai profesionalisme birokrasi tersebut didasarkan pada penilaian mengenai kompetensi pejabat birokrasi pemerintah daerah semenjak reformasi dan otonomi daerah digulirkan.
Akibat masih rendahnya profesionalisme birokrasi, maka seringkali keputusan atau tindakan yang diambil seorang pejabat kurang dilandasi oleh kode etik dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Bupati / Walikota merupakan kekuatan paling besar di kalangan elite pemerintahan daerah (ketika masih mengacu pada UU.No.22/1999) yang hingga saat ini ternyata membawa dampak besar dalam arus politisasi birokrasi. Pengangkatan pejabat struktural pemerintah daerah yang seharusnya menganut merit sistem ternyata banyak yang diabaikan termasuk yang terjadi pada pemerintah kota Surabaya dan kabupaten Situbondo, khususnya pada awal-awal otonomi daerah.
Fenomena pengangkatan dan mutasi pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah daerah yang tidak sepenuhnya dilandasi penilaian prestasi atau kinerja menjadi salah satu kelemahan utama birokasi untuk menjadi profesional. Hal ini menunjukkan bahwa Baperjakat yang bertanggungjawab di bidang kepegawaian tidak mematuhi peraturan perundangan yang ada dan cenderung membiarkan diri terseret pada arus politisasi birokrasi. Padahal sesuai ketentuan perundang-undangan yakni PP. No. 100 tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural, penempatan pegawai didasarkan pada prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan tersebut serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan.
Tindakan diskretif dimungkinkan bagi seorang pejabat sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik serta ditujukan untuk kepentingan publik. Namun dalam prakteknya setiap pejabat mempunyai penafsiran yang berbeda dan kurang tepat mengenai makna diskresi itu sendiri. Contoh yang dapat dikemukakan antara lain: Keputusan Sekkota Surabaya yang lama (sebelum Alisyahbana) untuk mengangkat para lurah dan camat namun tidak sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Keputusan tersebut bukan diskresi tetapi merupakan pelanggaran dan tidak memenuhi kriteria prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Keputusan Mutasi dan Promosi Pegawai telah diatur dalam Undang-Undang dan harus dipatuhi oleh Pejabat yang berwenang, sehingga ruang diskresi yang dapat digunakan pejabat sangat terbatas.
Untuk diketahui bahwa keputusan yang diambil oleh seorang pejabat dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: (1) keputusan yang mutlak harus didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga tidak memungkinkan adanya diskresi, (2) keputusan yang bersifat diskretif bebas (freises ermessen) dimana batas hukumnya tidak dinyatakan secara jelas, namun masih harus melihat pada aspek lain yang lebih luas seperti HAM dan hukum lain yang lebih universal, dan (3) keputusan diskretif terbatas artinya seorang pejabat dapat dimungkinkan untuk memilih diantara alternatif yang ada tetapi masih dalam batasan-batasan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh ketentuan perundang-undangan yang ada (Wawancara dgn Prof. Eko Prasojo, UI, 2007).
Dengan demikian keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan pejabat birokrasi tersebut dapat dikategorikan berdasarkan kejelasan dan kelengkapan ketentuan perundang-undangan yang mendasarinya hingga sampai pada tataran operasional. Semakin rinci peraturan perundang-undangan yang dibuat maka semakin tidak dimungkinkan adanya tindakan atau keputusan diskretif. Namun yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa dalam segi kelengkapan peraturan saja tidak cukup memberikan petunjuk operasional yang jelas bagi para pejabat untuk mengambil tindakan, apalagi jika substansinya masih belum sinkron satu sama lain sehingga cenderung terjadi inkonsistensi hukum.
Selain penyalahgunaan diskresi yang dilakukan dengan jelas-jelas melanggar ketentuan yang berlaku, fenomena inkonsistensi dan ketidakjelasan hukum dan peraturan perundang-undangan juga menjadi penyebab penyimpangan diskresi. Pejabat di daerah sering merasa ’kewalahan’ mengikuti perkembangan peraturan yang seringkali mengalami perubahan. Dalam kondisi seperti itu maka sangat dimungkinkan terjadinya multi interpretasi yang akhirnya berdampak pada munculnya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin disengaja atau murni karena misunderstanding belaka.
Hasil penelitian di Pemerintah Kota Surabaya, jarang ditemui adanya tindakan yang benar-benar bersifat diskretif. Demikian juga di Kabupaten Situbondo. Hal ini antara lain disebabkan kultur birokrasi di Indonesia yang masih bernuansa paternalistis dan derajad formalisasinya masih tinggi. Derajad formalisasi tinggi tidak berarti menunjukkan tingkat kepatuhan pegawai terhadap hukum dan peraturan menjadi tinggi pula, namun bisa juga mereka cenderung memandang hukum dan peraturan hanya pada tataran formal saja. Dalam prakteknya banyak ditemui kasus-kasus yang menonjol yang umumnya dipersepsi sebagai diskresi ternyata sebenarnya justru merupakan pelanggaran. Demi memuaskan pihak-pihak tertentu, pejabat seringkali menggunakan kewenangannya untuk membuat keputusan yang (mungkin) dianggapnya sah-sah saja mengingat kedudukan dan kewenangan yang dimilikinya cukup tinggi. Sebaliknya dalam menyelesaikan permasalahan atau keluhan masyarakat yang seharusnya memerlukan tindakan yang tegas bahkan bilamana perlu mengambil tindakan yang bersifat diskretif justru jarang dilakukan.
Contoh kasus pelenggaran tempat usaha yang juga pelanggaran terhadap ijin gangguan yang sering terjadi di Surabaya, Pihak yang berwenang seharusnya melakukan tindakan tegas sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Daerah No. 01 Tahun 2004 tentang Ijin Gangguan khususnya Pasal 28 yang berbunyi:
a) Kepala daerah berwenang melakukan penutupan/ penyegelan dan menghentikan kegiatan pada tempat usaha yang tidak memiliki ijin gangguan;
b) Kepala Daerah berwenang melakukan pencabutan ijin, penutupan/ penyegelan dan penghentian kegiatan pada tempat usaha yang melangar ijin.
Kasus-kasus sejenis sebenarnya banyak sekali terjadi, antara lain yang banyak mendapat sorotan dari kalangan DPRD dan masyarakat luas di Surabaya adalah mengenai Reklame bermasalah yang mencuat sejak tahun 2005 hingga saat ini. Terhadap pelanggaran tersebut, pejabat yang berwenang tidak segera mengambil tindakan tegas bahkan cenderung ditutupi hingga menimbulkan kesan adanya ’permainan’ antara pejabat dengan pihak pengusaha. Dalam kasus ini memang benar telah terjadi kolusi antara pihak pemberi ijin, pihak yang berwenang menertibkan, dengan pengusaha atau pemilik perusahaan reklame. Namun fokus bahasan lebih diarahkan pada tidak adanya tindakan pejabat yang tegas dalam menjalankan peraturan yang ada, bahkan cenderung mencari ’celah’ atau mengulur-ulur waktu agar reklame yang bermasalah itu tetap masih terpasang. Tindakan membiarkan atau tidak melakukan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebenarnya dapat pula dikatakan sebagai diskresi pejabat yang mengarah pada maladministrasi publik, yang dengan kewenangannya mereka sengaja menunda kewajiban secara berlarut-larut yang dampaknya adalah menguntungkan satu pihak tetapi dapat merugikan lain yang lebih luas.
Berbeda dengan kasus-kasus yang lebih banyak bersifat penyimpangan diskresi pejabat birokrasi di atas, di kabupaten Situbondo justru pernah terjadi dimana keputusan yang bersifat diskretif yang sebenarnya sangat diperlukan demi kelancaran sebuah proyek yang sangat bermanfaat bagi nelayan ternyata justru tidak mendapat dukungan dari struktur birokrasi yang lebih tinggi. Tindakan diskretif dalam kasus pengadaan Kapal latih dan Cool storage yang diambil oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan untuk segera menyelesaikan proyek demi kemanfaatan masyarakat nelayan yang lebih luas, sebenarnya tidak bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pelaksanaan pemerintahan yang baik. Sebaliknya justru tindakan tersebut terpaksa diambil demi menyelamatkan anggaran yang sudah ada dan mempercepat tercapainya tujuan dari pengadaan proyek tersebut yakni meningkatkan kesejahteraan nelayan. Namun pada kenyataannya keputusan yang bersifat diskretif tersebut justru mendapat tekanan dari pihak internal birokrasi pada struktur yang lebih tinggi. Dengan kata lain, keputusan diskretif tersebut tidak dapat diterima dan dijalankan oleh karena adanya intervensi atau tekanan dari struktur birokrasi yang lebih tinggi.
Derajad kesesuaian atau ketidaksesuaian keputusan atau tindakan diskretif yang diambil oleh seorang pejabat juga dapat dikaji dari dinamika hukum dan peraturan perundang-undangan yang sampai saat ini masih diatur secara sentralis oleh Pemerintah Pusat. Di era reformasi dan otonomi daerah, peraturan formal dalam artian perundangan-undangan yang digariskan Pemerintah Pusat seringkali mengalami perubahan yang berakibat pada ketidakpastian dasar hukum bagi pengambil kebijakan dan pelaksana di tingkat daerah. Dalam kondisi dimana masih sering terdapat inkonsistensi kebijakan yang digariskan oleh Pusat, daerah cenderung mengambil sikap pasif karena dalam beberapa hal merasa otonomi yang diberikan tidak ’sepenuh hati’. Disisi lain, sikap pejabat-pejabat birokrasi di daerah tidak begitu saja bebas dari kecenderungan perilaku budget maximiser (akan dibahas pada bagian selanjutnya) dimana dengan otonomi yang diterima cenderung akan digunakan semaksimal mungkin untuk memperbesar peluang memperoleh keuntungan baik secara pribadi maupun untuk unit tugasnya masing-masing.


Perilaku yang berorientasi pada kepentingan pribadi dan golongan

Sejak otonomi daerah diberlakukan, Pemerintah Daerah dan DPRD telah diberi kewenangan atau mandat oleh Pemerintah Pusat untuk menyusun rencana anggaran dan pengelolaannya di lingkup pemerintahan masing-masing. Namun sebagaimana diketahui, bahwa besarnya kewenangan tersebut kurang diimbangi dengan kapasitas kontrol dari publik, sehingga telah terjadi kecenderungan Pemerintah Daerah bersama DPRDnya bersama-sama melakukan penyimpangan atau pelanggaran di dalam pengelolaan anggaran tersebut. Pola penyimpangan yang sering dilakukan pada awalnya oleh DPRD yang melibatkan pejabat birokrasi Pemerintah Daerah seperti yang terjadi antara lain di Kepulauan Riau (APBD 2001), Yogjakarta (APBD 2002), Makasar (APBD 2002 dan 2003), Padang (APBD 2001 dan 2002), Surabaya (APBD 2001 dan 2002) serta masih banyak kasus-kasus penyimpangan lainnya. Demikian juga yang terjadi di Kabupaten Situbondo, penyimpangan APBD yang melibatkan Mantan Sekretaris Kabupaten Drs. Soedirdjo yakni kasus ’asuransi-gate” merupakan bentuk penerapan diskresi Pemerintah daerah yang telah digunakan secara melanggar hukum.
Banyaknya pelanggaran atas dana APBD yang dilakukan DPRD baik secara sendiri maupun bersama dengan Pemerintah Daerah, banyak disebabkan karena ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang dijadikan acuan penyusunan anggaran Dewan. Sebagaimana diketahui PP No. 110 tahun 2000 yang menjadi acuan untuk menyusun anggaran rumah tangga dewan terkena judicial review karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi. Sebagai akibatnya, perencanaan anggaran rumah tangga DPRD menjadi semakin kacau dan DPRD merasa memiliki hak untuk membuat item-item kebutuhan tanpa mengacu pada PP No. 110 tahun 2000 tersebut. Selain disebabkan ketidak jelasan peraturan perundang-undangan yang berlaku, banyak motif-motif lain yang memang mengarah pada tindakan korupsi guna kepentingan pribadi atau golongan.
Dalam menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, birokrasi pemerintah sering menggunakan kewenangannya untuk mengalokasikan sejumlah anggaran yang sebenarnya tidak sesuai atau bukan merupakan kebutuhan masyarakat secara luas melainkan hanya atas dasar ’desakan’ pihak-pihak tertentu. Fenomena tersebut dikenal dengan perilaku budget maximiser, yang mana sangat terkait dengan adanya orientasi kepentingan pribadi dan golongan.
Diskresi birokrasi yang sebenarnya adalah salah satu sumber power bagi birokrasi agar dapat mengambil keputusan di domainnya dan mengimplementasikan kebijakan publik berdasarkan pertimbangan rasional dan profesional tanpa ada intervensi kepentingan pihak lain, seringkali dimaknai secara keliru. Banyak pejabat di birokrasi tidak bisa membedakan secara benar apa itu diskresi atau penyalahgunaan kewenangan.

Purna Wacana
Dari paparan diatas diketahui bagaimana para pejabat birokrasi banyak yang melakukan penyalahgunaan kewenangan diskresi, Selain dipengaruhi budaya atau perilaku politik, diskresi birokrasi ini juga seringkali dipengaruhi oleh kondisi internal birokrasi itu sendiri, yang meliputi struktur dan budaya organisasi birokrasi. Dahulu ketika orde baru dengan struktur yang cenderung sentralistik, mengakibatkan pelayanan publik terkesan lamban dan kurang responsive terhadap perkembangan tuntutan masyarakat di daerah. Kini dengan adanya otonomi luas maka struktur organisasi pemerintah juga mengalami perubahan, tetapi diskresi birokrasi pemerintah daerah yang makin besar tersebut ternyata belum digunakan secara efektif untuk penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih baik.
Faktor internal berikutnya setelah struktur adalah budaya atau kultur organisasi birokrasi yang mendasari pola perilaku setiap individu penyelenggara pelayanan publik, baik secara organisasional maupun perorangan. Budaya birokrasi ini dipengaruhi pula oleh budaya yang berkembang dalam masyarakat, dimana dalam masyarakat kita masih kuat budaya paternalistiknya. Hal ini mewujud dalam perilaku bawahan yang cenderung menggantungkan pada perintah atau petunjuk dari atasan, tidak memiliki keberanian atau kemauan untuk berinisiatif dalam menjalankan tugas dan fungsinya sehari-hari. Akibatnya pelayanan publik seringkali terkesan kaku, birokratis dan kurang adaptif terhadap kondisi di lapangan.
Untuk mengotrol penggunaan diskresi birokrasi dalam proses pembuatan kebijakan publik tersebut, Hunold (2001) mengusulkan sebuah konsep yang diilhami oleh teori deliberative democracy. Hunold ingin mengembangkan model akuntabilitas administratif berdasarkan pada keterlibatan masyarakat yang terkait secara langsung dalam proses pembuatan keputusan / peraturan, jadi tidak hanya mengandalkan peran legislatif. Melalui deliberative democracy ini masyarakat menggunakan pertimbangan publik untuk secara kolektif ikut memberikan masukan dalam proses pengambilan keputusan (Bohman,1996).
Pentingnya mengkaitkan diskresi birokrasi dengan akuntabilitas dan responsibilitas perlu mendapat perhatian. Sebagaimana kita rasakan di tahun-tahun terakhir ini, birokrasi publik dihadapkan pada tuntutan akan peningkatan akuntabilitas dan responsibilitas. Hal ini sebagai respon terhadap rendahnya kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik dan situasi ini dicatat sebagai era dimana telah terjadi krisis akuntabilitas di tubuh birokrasi. Krisis akuntabilitas tersebut antara lain diakibatkan oleh besarnya kekuasaan birokrasi (semenjak era orde baru), sehingga kesadaran untuk mempertanggungjawabkan kewenangan yang diberikan oleh rakyat melalui lembaga legislatif masih sangat berkurang. Birokrasi tidak saja menjadi mesin peguasa, melainkan telah menjelma menjadi penguasa itu sendiri. Dalam sistem demokrasi, kondisi seperti ini jelas menyimpang dari prinsip yang ingin ditegakkan, yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.


Referensi


Blau, Peter M. And Meyer, Marshall W.,1987, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Edisi kedua, terjemahan, UI-Press, Jakarta.
Bryner, G. 1987. Bureaucratic Discretion: Law and Policy in Federal Regulatory Agencies. New York: Pergamon Press

Corbett, D 1992, Australian Public sector management, Allen & Unwin, Sydney.

Dwiyanto, A.dkk . 2003. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Jogjakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM

Finn,P 1993, Public trust and public accountability, Australian Quarterly 65, Winter: 50-9.

Hunold, C. 2001. Corporatism, Pluralism, and Democracy: Toward a Deliberative Theory of Bureauratic Accountability. An International Journal of Policy an Administration, Vol. 14, No. 2, April, 151-167

Jackson, M 1995, Democratic Accountability, Canberra Bulletin of Public Administration 78, 86-8.

Mulgan, Richard, 1997, The Processes of Public accountability, Australian Journal of Public Administration, 56 (1): 25-36, March.

Parker, RS 1980, Responsible Government in Australia, Drummond, Richmond.

Klitgaard, Robert, 1988, Controlling Corupption, The Regent of the University of California

Klitgaard, R., Maclean-Abaroa, Parris, ,Corrupt Cities: A practical guide to cure and prevention, Institute for Contemporary Studies Press, Oakland-Cal

Rourke, Francis E., 1984, Bureaucracy, Politics and Public Policy, 3th edition, New York: Macmillan


Thoha, Miftah, 2003, Birokrasi dan politik di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Kompas, 6 Juli 2003

Kompas, 26 Agustus 2003



Pengukuran keberhasilan Manajemen Sumber Daya Manusia

Jurnal Administrasi Publik. Vol. I, No. 2, April 2004
Abstract
This article highlights the measurement of human resource management practices. Critics characterize civil service and personnel systems as rigid, regressive, rule bound, and cumbersome. Public managers complain that existing systems impede their ability to manage and make critical personnel decisions.
In response to the litany of concerns raised by stakeholders in the name of performance and efficiency, various personnel reforms have swept through government. Public managers have been encouraged to look to the private sector for examples of good human resource management and to close the gap between the rigidity of civil service systems and the flexibility of human resource practices in private industry.
Key Words: Pengukuran, Manajemen Sumber Daya Manusia, Kinerja


Pendahuluan
Sebagaimana kita sadari bahwa lingkungan bisnis saat ini semakin menuntut kita agar lebih memperhatikan aspek kualitas, mengingat dalam era perdagangan bebas faktor harga saja tidak cukup untuk bersaing. Dengan demikian tidak ragu-ragu lagi bahwa upaya peningkatan kualitas sangat diperlukan guna pencapaian tujuan organisasi. Peningkatan kualitas tersebut hendaknya dipandang sebagai bagian dari proses yang terus berlanjut yang diupayakan oleh semua unsure dan anggota organisasi. Upaya tersebut sesungguhnya berkait erat dengan masalah-masalah sumber daya manusia, sehingga dengan demikian peranan manajemen sumberdaya manusia menjadi sangat vital dalam menentukan kesuksesan sebuah perusahaan atau organisasi manapun juga. Lebih-lebih kenyataan menunjukan bahwa sumberdaya manusia saja tidak cukup otomatis dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas tanpa adanya manajemen SDM yang efektif.
Die era yang makin kompetitif ini telah banyak yang menyadari pentingnya menerapkan konsep Total Quality Management (TQM) pada perusahaan masing-masing. Hal ini tidak lain adalah upaya peningkatan kualitas secara terprogram, sistematis, dan berkesinambungan. Sebagaimana dikutip dari pendapat Evans dan Lindsay (1993), TQM adalah suatu pendekatan yang integrative guna peningkatan kualitas barang dan jasa secara terus-menerus melalui partisipasi dari semua pihak dan organisasi. Untuk menggalang partisipasi ini nampaknya tidak begitu mudah. Hal ini merupakan salah satu tantangan bagi manajemen SDM dalam menjalankan fungsinya, khususnya dalam tiga hal, yakni to attract (menarik), to retain (mempertahankan), dan to develop (mengembangkan) SDM yang potensial.
Adalah suatu tugas berat bagi manajemen SDM, sehingga fungsi tersebut tidak cukup dibebankan kepada satu divisi atau manajer dalam organisasi melainkan fungsi manajemen SDM adalah tanggung jawab dari setiap manajer operasi atau manajer bagian dan semua anggota organisasi tersebut. Dengan demikian maka telah terjadi pergeseran pandangan tentang manajemen SDM dari personnel management yang bersifat teknis prosedural tentang pengelolaan kepegawaian menuju manajemen SDM yang mempunyai peran strategis bagi organisasi.
Adalah suatu kebutuhan bagi perusahaan atau organisasi yang telah mencoba mengimplementasikan TQM dalam strategi perusahaannya, untuk mulai melakukan evaluasi atau pengukuran keberhasilan kegiatan-kegiatan manajemen SDM-nya. Sebab keberhasilan manajemen SDM merupakan ujung tombak bagi kesuksesan implementasi TQM. Semakin kita menyadari pentingnya mengukur keberhasilan manajemen SDM, semakin kita terbentur pada kondisi dimana pengukurannya tidak semudah yang dibayangkan. Hal ini dikarenakan banyak kegiatan manajemen SDM yang tidak dapat diukur secara kuantitatif, melainkan kualitatif. Sehingga dalam hal ini sangat rawan akan munculnya subyektivitas yang sangat tinggi. Selain itu upaya pengukuran manajemen SDM juga terpuruk pada lemahnya standar atau kurang jelasnya kriteria-kriteria yang dapat ditampilkan untuk mengevaluasi sejauh mana keberhasilan manajemen SDM.
Pentingnya Pendekatan Quality Improvement Dalam Kegiatan Manajemen SDM
Program peningkatan kualitas, yang kini telah menjadi perhatian utama bagi organisasi bisnis dan manufaktur, sudah saatnya diadopsi oleh semua jenis organisasi baik it organisasi non proit. Apapun itu organisasi tentunya semuanya menginginkan adanya peningkatan atau eberhasilan, oleh arenanya makna darri kualitas itu sendiri hendaknya dipersepsi berdasarkan misi, visi dan tujuan dai masing-masing organisasi.
Untuk memulai dan menjaga kesinambungan program peningkatan kualitas ini sesungguhnya merupakan masalah hubungan kemanusiaan atau masalah sumberdaya manusia dalam organisasi. Keberhasilan program tersebut bergantung pada bagaimana pengetahuan, kemampuan teknis, perilaku, sikap, motivasi dan kerjasama dalam suatu teamwork. Tanpa dukungan semua maka mustahil suatu perusahaan dapat meningkatkan kualitasnya.
Khususnya untuk organisasi yang bergerak di bidang jasa seperti pendidikan, rumah sakit, perhotelan, dan lain sebagainya, TQM dapat diimplementasikan untuk meraih kinerja yang lebih baik melalui penekanan pada manajemen SDM sebagai input yang esensial baginya. Untuk itu manajemen SDM hendaknya didesain berdasarkan orientasi pada peningkatan kualitas melalui: pertama, transformasi budaya organisasi menuju pada quality vision. Menciptakan budaya kualitas inilah yang dirasa paling sulit dan harus dilakukan secara bertahap dalam kurun waktu yang relatif lama. Pertama yang perlu dilakukan untuk itu adalah mencari faktor-faktor penghambat masuknya budaya kualitas dan berusaha menghilangkan faktor penghambat tersebut, baru dapat diciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya budaya baru yang dikehendaki. Budaya kualitas ini dapat diupayakkan melalui training bagi tingkatan manajemen, dukungan dari top manajemen, sosialisasi melalui media organisasi, bulletin, jargon-jargon, pengarahan lisan dari pimpinan, dan perilaku konsekuen sehari-hari dari top manajer.
Kedua, perubahan gaya manajemen dari birokrasi menuju partisipatif yang pada gilirannya akan memunculkan teamwork dynamic dalam organisasi. Gaya birokrasi ini diakui atau tidak masih tetap eksis dalam tubuh beberapa perusahaan atau oraganisasi sebagai imbas dari budaya yang lebih luas selama kurun waktu yang lama. Sehingga sifat birokrasi itu masih sulit dihilangkan sama sekali. Perubahan yang perlu segera muncul adalah fleksibilitas manajemen dengan tidak meninggalkan tujuan utama organisasi. Proses penyelesaian suatu masalah yang terlalu lama, kesulitan komunikasi darri bawah ke atas, dan lain sebagainya adalah salah satu refleksi sifat birokrasi yang masih hadir dalam oganisasi. Dalam rangka pengembangan teamwork dynamic itu tidak hanya diperlukan training dalam hal kemampuan teknis tetapi yang lebih penting adalah emampuan interpersonal seperti komunikaso, motivasi dan koordinasi.
Ketiga, menciptakan peers komitmen merupakan suatu langkah yang mutlak dalam mendorong lingkungan yang partisipatif antar anggota. Hendaknya, hal ini ditindaklanjuti dengan sistem sumbang saran dan konsultasi (consultancy dan suggestion systems) yang efekktif baik dari lingkungan organisasi internal maupun eksternal.
Keempat, melakukan restrukturisasi reward system merpakan hal penting yang perlu dililakukan guna melengkapi dan sebagai konsekuensi logis dari langkah-langkah terdahulu. Reward system dimaksud bukan hanya dalam artian yang ekstrinsik tetapi juga intrinsic. Banyak manajer yang kurang memperhatikan imbalan intrinsic ini padahal efek yang ditimbulkannya bisa jadi melebihi imbalan ekstrinsik.
Kelima, setelah semua hal diatas dapat dilakukan maka hal terpenting selanjutnya adalah menciptakan dan menjalankan sistem evaluasi yang efetif. Sistem evaluasi ini sangat dibutuhkan guna memberikan informasi selengkapnya tentang pencapaian dan kemajuan hasil karya kelompok, individu dan organisasi. Evaluasi dan pengukuran hasil karya ini hendaknya tidak hanya dari output yang dihasilkan tetapi juga mulai dengan input kemudian bagaimana proses yang dijalankan untuk mencapai hasil tertentu. Yang penting lagi evaluasi harus didasarkan pada kepuasan pelanggan atau pengguna baik internal maupun eksternal users. Hal ini berarti bahwa setiap fungsi dan kegiatan pada satu bagian dievaluasi untuk menjamin elancaran kegiatan pada bagian yang lain. Sebagaimana pendapat Williams (1994) keberhasilan implementasi TQM hendaknya dimulai dengan penilaian terhadap situasi secara jujur dan terbuka.
Pengukuran Keberhasilan Fungsi HRD dalam Konteks TQM
Berangkat dari pentingnya evaluasi dan pengukuran keberhasilan setiap fungsi dan kegiatan dari masing-masing bagian organisasi, maka fungsi manajemen SDM menjadi mendesak untuk mendapat perhatian. Dengan pengukuran keberhasilan manajemen SDM, perusahaan atau organisasi akan banya memperoleh manfaat antara lain:
a. Bermanfaat dalam menjustifikasi keberadaan HRD serta anggaran yang telah digunakan selama ini, dapat meningatkan fungsi HRD dengan jalan menghilangkan kegiatan yang dirasa urang bermanfaat dan meningkatkan kegiatan yang lebih bermanfaat,
b. Memberikan umpan balik kepada seluruh karyawan dan manajer tentang apa yang masih perlu ditingkatkan,
c. Menjaga konsistensi setiap kegiatan dengan tujuan organisasi secara umum.
Selain keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh organisasi dengan pengukuran fungsi manajemen SDM tersebut ternyata dalam pelakksanaannya tidak terlepas dari banyaknya hambatan dan kesulitan, antara lain karena banyak kegiatan manajemen SDM yang sulit untuk dikuantifikasikan sehingga penilaian cenderung bersifat subyektif. Sifat subyektivitas inilah yang oleh sebagian pengamat dirasa sebagai kendala utama dalam upaya pengukuran fungsi manajemen SDM. Namun bagaimanapun setiap fungsi sesungguhnya mutlak mendapatkan evaluasi apakah telah berjalan dengan maksimal atauah sebaliknya. Beberapa bentuk/kriteria pengukuran yang biasa digunakan adalah : ukuran hasil (output), lost time, turnover, absensi, permintaan pindah, dan rating of individual performance. Selain itu sesungguhnya masih banyak hal yang perlu dilakukan jajak pendapat guna mengukur keberhasilan fungsi manajemen SDM, antara lain :
a. Sifat kooperatif HRD dengan bidang-bidang lain dalam organisasi,
b. Opini manajer lini atau operasi terhadap efektivitas peran HRD,
c. Tingkat keterbukaan HRD terhadap setiap kayawan sehubungan masalah-masalah kebijakan organisasi,
d. Tingkat kepercayaan karyawan terhadap petugas-petugas dalam lingkungan HRD,
e. Kemampuan merespon dengan cepat dan efektif terhadap setiap pertanyaan yang disodorkan kepada HRD,
f. Tingkat kepuasan dari seluruh anggota yang memanfaatkan jasa HRD.
Kriteria pengukuran di atas akan dapat dijalankan seobyektif mungkin apabila standar atau tolak ukurnya sudah ditentukan dengan jelas walaupun tidak bersifat kuantitatif. Salah satu upaya yang dapat membantu mengurangi subyektiitas penilaian adalah dengan melakukan bechmaking, yakni mencari pembanding bentuk penilaian yang lebih baik pada situasi dan kondisi dan relatif sama dengan organisasi yang bersangkutan.
Akhirnya, walaupun upaya pengukuran atau evaluasi terhadap kegiatan/fungsi manajemen SDM ini belum begitu membudaya di lingkungan organisasi-organisasi di Indonesia, namun sesungguhnya kita telah berada pada era transisional. Meninggalkan manajemen konservatif menuju manajemen yang berorientasi pada kualitas secara total dengan menerapkan konsep Manajemen Mutu Terpadu (TQM). Dalam era transisi inilah peran manajemen SDM semakin penting dan startegis bagi perusahaan, sehingga sudah waktunya perhatian kita curahkan untuk lebih mengefektifkan fungsi mereka. Untuk itu pengukuran keberhasilan fungsi HRD/HRM menjadi sesuatu yang mutlak dilaksanakan dengan terlebih dahulu melakukan benchmark guna menentukan standar dan kriteria seobyektif mungkin. Keberhasilan atau kegagalan dalam rencana, startegi, dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan manajemen SDM mempengaruhi keseluruhan keberhasilan dan kemajuan organisasi.

Total Quality Service dalam Organisasi Publik

Jurnal Administrasi Publik, Vol. IV, No. 1, April 2007
Pendahuluan

Tulisan ini mengupas tentang bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan di organisasi publik khususnya di Indonesia yang mana pada umumnya yang tidak dapat disangkal lagi masih berada di bawah harapan masyarakat. Bukan hanya itu , kualitas pelayanan harus dipahami sebagai salah satu kunci competitive advantage dalam rangka memasuki era pasar global yang sudah diambang pintu. Organisasi yang sukses dan dapat terus eksis adalah mereka yang mampu menghargai dan menyerap aspirasi masyarakat yang dilayaninya sebagai sumber inovasi organisasi yang kelak menjadi modal keunggulan bersaing.
Dalam sektor pemerintahan, persaingan tidak dimaknai secara harafiah antara satu lembaga dengan lainnya, melainkan persaingan dalam rangka mempertahankan relevansi dan kontribusi mereka dalam kehidupan masyarakat yang makin dewasa dan mandiri.
Masalah utama yang perlu mendapatkan perhatian adalah bagaimana membangun dan mengembangkan budaya quality service dan execellent service di kalangan para service provider utamanya birokrasi pemerintah. Hal ini cukup crusial mengingat selama ini image yang berkembang terhadap pelayanan birokrasi pemerintah cenderung masih kurang menguntungkan.
Banyak pengalaman beberapa klien (baca:masyarakat) yang pada intinya menyudutkan birokrasi karena dianggap pelayanannya masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Disini menekankan sekali lagi bahwa kualitas layanan publik masih perlu terus ditingkatkan. Pelayanan yang berkualitas dalam rangka memuaskan pelanggan seyogjanya perlu dilakukan secara terus-menerus, meskipun tidak terjadi keluhan ataupun komplain dari pelanggan secara langsung.
Salah satu ujung tombak dalam pemberian pelayanan publik pada setiap organisasi, adalah bagian front office atau resepsionis dimana melalui mereka kesan atau respon publik atau pelanggan sudah mulai terbentuk. Untuk itu dalam rangka penciptaan budaya kualitas melalui pelayanan prima sudah harus dimulai Dari jajaran front office tersebut.

Pendekatan Total Quality Service
Sebagaimana disadari, pelayanan merupakan hal terpenting di dalam membangun hubungan yang menguntungkan dengan para pelanggan (customer), baik untuk sektor produksi maupun service. Dengan demikian hampir semua bisnis berhubungan dengan pentingnya pelayanan demi terpenuhinya kepuasan pelanggan. Dalam penyampaian pelayanan itu sendiri, sebagaimana dipaparkan diatas, semakin dituntut peningkatan dari segi kualitas.
Berkenaan dengan pengertian kualitas itu sendiri, menurut The American Society for Quality Control, kualitas adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik dari suatu produk atau jasa dalam hal kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan yang telah ditentukan atau yang bersifat laten. Konsep kualitas tersebut bersifat relatif, yaitu bergantung pada perspektif yang digunakan untuk menentukan ciri-ciri dan spesifikasi barang atau jasa yang dibutuhkan. Namun secara garis besar terdapat tiga orientasi kualitas yang seharusnya konsisten satu sama lain yakni : (1) persepsi konsumen, (2) produk, (3) proses (Eviliani & Wilfridus,1997). Persepsi konsumen dalam hal ini adalah seluruh atribut barang atau jasa yang dapat ditangkap oleh konsumen misalnya fungsi, bentuk, harga, tahan lama dan sebagainya. Produk dalam hal ini adalah berupa barang atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen yang tentunya memiliki serangkaian atribut yang didesain perusahaan untuk konsumen. Sedangkan yang dimaksud dengan proses adalah rangkaian kegiatan yang dilalui untuk menghasilkan produk tersebut. Apakah sesuai dengan mekanisme yang telah distandarkan, baik dari segi metode/cara kerja, waktu dan tahapan/langkah-langkah yang dijalankan.
Ketiga orientasi kualitas tersebut perlu kita pahami dan khususnya untuk produk jasa, konsistensi antara ketiganya jelas sangat tampak dan dapat langsung dirasakan oleh konsumen. Oleh karenanya, menjaga konsistensi antara ketiganya merupakan keharusan. Paradigma manajemen jasa kini lebih besifat “customer driven” ketimbang “company driven” yakni implementasi proses (operasional maupun strategic) untuk menghasilkan produk jasa tertentu diarahkan sepenuhnya untuk membentuk persepsi positif pelanggan atau publik.
Hal ini tentunya tidak mudah bagi setiap organisasi dimana system nilai atau budaya kerja pada umumnya belum sepenuhnya menerapkan prinsip service quality dengan sungguh-sungguh. Pada beberapa organisasi baik swasta maupun pemerintahan, masih banyak ditemukan mental untuk tidak melayani orang dengan baik. Berbeda dengan di negara-negara lain, misalnya Singapore, mental untuk memberikan pelayanan dengan baik sudah merupakan budaya yang harus diterapkan oleh setiap individu dalam organisasi.
Kualitas pelayanan di sektor pemerintahan, misalnya, sampai saat ini masih banyak masyarakat mengeluhkan tentang pelayanan PDAM untuk medistribusikan air bersih di kota-kota besar, jasa PT. Telekom, PLN, POS dan beberapa palayanan pengurusan kependudukan misalnya pembuatan KTP, KK, bahkan juga untuk pelayanan kesehatan, perbankan dan pelayanan untuk mendapatkan informasi. Masih banyak keluhan terutama dari kalangan masyarakat menengah ke bawah yang seringkali mendapatkan perlakuan diskriminasi serta kurang transparan. Pentingnya memberikan pelayanan yang berkualitas (execellent service) kepada masyarakat bagi organisasi pemerintah tidak semata-mata dimaknai sebagai upaya memenangkan persaingan. Urgensi lembaga pemerintah dalam kehidupan masyarakat itulah yang harus dipertahankan dan dipertanggung jawabkan sesuai dengan peran dan fungsinya. Hal ini sejalan dengan tuntutan akuntabilitas sektor publik yang tidak hanya dalam hal pertanggungjawaban penggunaan anggaran tetapi lebih luas adalah dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab kepada masyarakat secara transparan. Adapun dari sektor swasta, secara umum berada di atas rata-rata kualitas pelayanan dari sektor pemerintahan. Namun jika dibandingkan dengan pelayanan sejenis pada negara-negara lain yang lebih maju masih jauh tertinggal. Satu hal yang menonjol untuk mendapat perhatian adalah masalah rendahnya mental quality service dari sumber daya manusia kita.
Untuk itu diperlukan pendekatan kontemporer yaitu Total Quality Service yang didefinisikan sebagai “system manajerial strategic dan integrative yang melibatkan semua manajer dan karyawan, serta menggunakan metode-metode kualitatif dan kuantitatif untuk memperbaiki secara berkesinambungan proses-proses organisasional agar dapat memenuhi dan melebihi kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan “ (Stamatis,1996 dalam Tjiptono,F.,1997).
Dari pengertian TQS tersebut di atas, maka jelaslah bahwa penciptaan pelayanan yang prima bagi masyarakat atau pelanggan sangat membutuhkan keterlibatan dan komitmen semua pihak bukan hanya pada level manajerial saja tetapi di semua level dan bagian dari organisasi termasuk front officers atau resepsionis, customer service , dan terlebih lagi bagian kehumasan atau public relations.
Secara rinci Total Quality Service berfokus pada lima aspek utama (Brown, 1992; Stamatis, 1996 dalam Tjiptono,F,1997):
1. Fokus pada pelanggan
2. Keterlibatan total semua karyawan dan manajemen
3. Sistem pengukuran proses dan hasil kerja
4. Dukungan sistematis dari manajemen
5. Perbaikan berkesinambungan

Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik

Fungsi utama dari Birokrasi pemerintah yang dijalankan oleh para aparatur pemerintah, tidak lain adalah memberikan pelayanan publik yang sifatnya lebih urgen dibandingkan pelayanan yang diberikan oleh pihak swasta kepada masyarakat. Sifat urgen ini dapat dicontohkan misalnya pelayanan dalam penyediaan air bersih bagi seluruh wilayah kota, pelayanan menjaga ketertiban dan keamanan kota dan sebagainya. Disisi lain sifat dari pelayanan yang diberikan organisasi pemerintah terhadap masyarakatnya tidak didasarkan atas perhitungan rugi-laba melainkan lebih pada rasa pengabdian kepada masyarakat umum.
Dari kedua ciri pelayanan umum yang dijalankan oleh birokrasi tersebut, dapat dipahami bahwa sesungguhnya profesi aparatur pemerintah tidak lain dituntut untuk menjadi service provider yang memiliki criteria sebagaimana sifat dari pelayanan itu sendiri. Dalam hal ini jelas masing-masing dituntut untuk menjalankan tugas dan fungsinya dengan menggunakan suatu keahlian dan standar moral atau etika tertentu dan memiliki jiwa pengabdian yang sungguh-sungguh terhadap masyarakat yang dilayaninya. Karakteristik atau ciri-ciri seperti disebut di atas mencerminkan profesionalisme aparatur pemerintah. Namun pada kenyataannya hal itu masih perlu terus diupayakan dan ditingkatkan karena fenomena menunjukkan kondisi yang masih jauh dari harapan.
Menyadari akan tugas utama mereka, tentunya pemberian pelayanan publik secara prima bukan lagi merupakan anjuran tetapi sudah otomatis menjadi standar kegiatan demi terwujudnya kepuasan masyarakat pada umumnya dan pelanggan secara khusus. Pemberian pelayanan secara prima berarti pelayanan tersebut memenuhi harapan pengguna jasa atau dengan kata lain telah dapat disebut sebagai pelayanan yang berkualitas. Kealpaan dalam menciptakan kualitas layanan, maka akan mendatangkan banyak problema, polemik yang berkembang luas dan akhirnya membentuk citra negatif bagi organisasi pemerintah itu sendiri. Dewasa ini polemik atau bahkan citra negatif di kalangan sebagian organisasi pemerintah telah terlanjur terbentuk. Satu-satunya jalan bagi pemulihan citra atau pelayanan jasa adalah dengan cara mengubah budaya kerja dari yang kurang menghargai mutu menjadi budaya yang menjunjung tinggi mutu dan etos kerja. Untuk itulah konsep Total quality Service perlu diadopsi dalam organisasi pemerintah dengan lima focus seperti yang telah disebutkan di atas.
Selain itu W. Edward Deming yang merupakan bapak gerakan Total Quality Management memiliki pandangan tentang beberapa hal yang perlu dilakukan dalam organisasi yang sedang dalam masa transisi dari tradisional menjadi berkualitas (Deming, 1986 dalam Bank, John, 1992). Deming menuntut pemahaman dan komitmen total dari semua jajaran dalam organisasi terhadap pelaksanaan dari 14 point sebagai berikut:
1. Ciptakan keajegan tujuan demi perbaikan jasa. Tujuan dan filosofi organisasi jasa harus ditetapkan dengan memenuhi persyaratan : (1) mencakup keyakinan dasar dan nilai-nilai organisasi dalam jangka pendek dan jangka panjang; (2) mempermudah pengambilan keputusan jangka panjang; dan (3) menyusun pernyataan misi dan filosofi operasional yang dapat dipahami dan dilaksanakan setiap orang dalam organisasi.
2. Adopsilah filosofi baru. Bagi Deming, perubahan merupakan suatu keharusan. akan tetapi, tidak semua jenis perubahan, melainkan perubahan yang berfokus pada kepuasan pelanggan. Hal ini mengarah pada upaya penyempurnaan kualitas secara terus-menerus sebagaimana yang dicetuskan Deming dalam siklus PDCA-nya yang merupakan proses tanpa akhir. Deming berkeyakinan bahwa kualitas yang disempurnakan akan memberikan hasil berupa meningkatnya produktivitas, semakin rendahnya biaya perpesanan, harga keseluruhan yang lebih murah, dan semangat kerja yang semakin tinggi.
3. Hentikanlah ketergantungan pada inspeki untuk mewujudkan kualitas. Deming menetang ketergantungan yang berlebihan pada inspeksi, karena inspeksi massal kerapkali sangat terlambat dilakukan (setelah terjadi kesalahan). Lagipula, inspeksi massal difokuskan pada penanganan kesalahan, sehingga tidak menawarkan penyempurnaan apapun. Oleh sebab itu, inspeksi harus digantikan dengan penyempurnaan proses secara berkesinambungan dan tanpa akhir. Hal ini akan lebih bersifat pencegahan terhadap terjadinya penyimpangan yang berakibat pada ketidak puasan pelanggan atau masyarakat.
4. Hentikan praktik menghargai bisnis semata-mata atas dasar harga atau keuntungan. Dalam urusan pelayanan publik jelas prinsip ini sangat penting mengingat dalam pelayanan publik tidak didasarkan pada pertimbangan untung-rugi. Pihak organisasi dalam hal ini harus dapat mengupayakan adanya hubungan yang saling percaya atau “win-win” relationship. Lebih jauh lagi pelayanan yang diberikan didasari oleh misi pengabdian kepada masyarakat dengan mengutamakan aspek keadilan dan pemerataan demi terciptanya kesejahteraan sosial.
5. Perbaikan secara konstan terhadap perencanaan, operasi, dan pelayanan. Fokus utama program adalah penyempurnaan proses. Dalam industri jasa, hal ini mengandung makna pengurangan pengerjaan ulang, peningkatan kualitas keseluruhan, peningkatan kepuasan pelanggan, berkurangnya keluhan pelanggan, peningkatan laba, peningkatan posisi persaingan, dan sebagainya. Dengan demikian, tanggung jawab penyempurnaan kualitas berada diatas pundak semua orang dalam organisasi.Dalam organisasi pemerintah, perbaikan proses ini hendaknya dilakukan secara menyeluruh disertai komitmen untuk melaksanakan penyempurnaan layanan publik secara konsekwen.
6. Lembagakan pelatihan dan pelatihan ulang di tempat kerja. Proses penyempurnaan merupakan proses yang dinamis dan tidak berkesudahan. Pelatihan menjadi kebutuhan mutlak, baik bagi eksekutif , implementor maupun operator. Pelatihan yang diperlukan tidak saja berkaitan dengan tujuan organisasi. Setiap perusahaan harus menentukan pelatihan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhannya. Pelatihan yang tepat adalah pelatihan yang bisa : (1) meningkatkan kesadaran atas pentingnya kualitas dan penyempurnaan secara terus menrus; (2) mengidentifikasikan apakah proses tertentu sudah kapabel atau belum; (3) menawarkan rasa aman kepada karyawan melalui eliminasi rasa takut, eliminasi gosip atau kabar angin dan mengamankan pekerjaan; (4) menghilangkan semua hambatan yang ada diantara para karyawan; (5) menanamkan rasa bangga terhadap hasil kerja; dan (6) mengurangi tingkat stres.
7. Melembagakan kepemimpinan bagi penyempurnaan system. Dalam TQS tanggung jawab manajemen tidak hanya terbatas pada menyusun sistem, menemukan variasi dalam proses, memperbaiki proses dan sebagainya. Lebih dari itu, manajemen juga bertanggung jawab melembagakan kepemimpinan yang dibagi (shared leadership) dan tidak hanya berpusat pada satu atau segelintir orang. Praktek shared leadership mencakup tiga aspek. Pertama, tanggung jawab bersama yang diemban oleh semua anggota untuk memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan tim dan meningkatkan kualitas hubungan antar anggota tim. Kedua, peran pemimpin dan para angota tim akan berubah bila dibutuhkan dan tugas tim mengalami perubahan. Modal Shared leadership menyebabkan perubahan dramatis bagi tugas penyelia dan atau pemimpin. Peran yang semua lebih ditekankan pada quality pushers berubah menjadi proses improvement pusher. Oleh sebab itu, pelatihan merupakan kebutuhan pokok, terutama yang mencakup filosofi organisasi secara keseluruhan, metode-metode statistik, teknik menjalin relasi, coaching, cara menciptakan lingkungan yang kondusif, komunikasi interpersonal dan penanganan konflik.
8. Menghilangkan rasa takut. Rasa takut bisa menimbulkan berbagai macam persoalan, misalnya gangguan fisik, gangguan psikologis, perubahan perilaku, menurunnya semangat kerja, produktivitas jauh dibawah harapan, menurunnya motivasi dan terhambatnya komunikasi. Semuanya ini menyebabkan para karyawan tidak dapat menyeimbangkan kapasitas dan kapabilitas optimal mereka bagi upaya peningkatan kualitas dan produktivitas. Rasa takut dapat di eliminasi dengan berbagai cara, misalnya: (1) menyingkirkan berbagai macam bahaya fisik; (2) menyelenggarakan pelatihan secara berkesinambungan menyangkut aspek tujuan dan misi organisasi; definisi operasional, metode statistik, karakteristik pekerjaan, dan spesifikasi yang dituntut ; serta pemahaman mengenai penyebab variasi sistem; (3) penyelia harus menekankan perbaikan berkesinambungan; dan (4) penyelia harus membantu para karyawan dan mendengarkan masalah-masalah mereka.
9. Menyingkirkan rintangan (dinding pemisah) antar departemen. Rintangan selalu ada dalam setiap organisasi, apapun bentuk organisasi tersebut. Misalnya dalam bentuk komunikasi yang mandeg/ macet, terabaikannya misi dan tujuan organisasi, kompetisi internal antar karyawan, rasa takut, dan sebagainya. Kondisi ini menyebabkan lingkungan organisasi menjadi tidak kondusif bagi upaya pencapaian kualitas prima. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan perubahan pola kerja dari yang semula bersifat individualis dan departemental beralih menjadi kerja sama tim, lintas fungsional dan integratif. Selain itu, dibutuhkan pula keterbukaan dalam komunikasi vertikal maupun horisontal. Yang tak kalah pentingnya pula adalah penyelenggaraan pelatihan bagi semua urusan dalam organisasi.
10. Meniadakan slogan, desakan dan target bagi tenaga kerja. Biasanya para karyawan dibebani dengan berbagai macam sasaran atau target kuantitatif. Kondisi seperti ini bisa menyebabkan para karyawan tertekan dan frustasi. Mereka lebih terfokus pada upaya pencapaian target kuantitatif ketimbang peningkatan kualitas dan produktivitas. Hal ini bisa menyebabkan penyimpangan perilaku, dimana bisa saja karyawan akan melakukan segala macam cara yang kuotanya tercapai. Oleh karena itu, model seperti ini perlu dihentikan. Sebagai gantinya oerganisasi perlu menekankan aspek kemajuan (progress) dalam rangka penyempurnaan terus menerus. Perencanaan finansial yang bersifat botttom-up dan didasarkan pada proses spesifik yang ditangani, perlu dikembangkan secara konsisten.
11. Mengeliminasi kuota-kuota numerik bagi karyawan dan sasaran numerik bagi manajemen. Kuota dan sasaran numerik kerapkali menimbulkan masalah seperti kurangnya perhatian terhadap kualitas, tingginya tingkat stres dan frustasi dan sebagainya. Menurut Deming, semua ini harus diganti dengan fokus pada kualitas. Bila fokus lebih ditekankan pada kualitas, para karyawan akan menanggapinya dengan produktivitas dan kualitas kerja yang lebih baik. Untuk itu dibutuhkan komitmen jangka panjang, pemahaman dan penguasaan metode-metode statistik dan penyusunan semacam ‘road map’ bagi penyempurnaan berkesinambungan.
12. Menghilangkan penghalang yang dapat “merampok” kebanggaan para karyawan atas keahliannya. Hilangnya kebanggaan atau harga diri seseorang bisa menjadi gejala bagi banyak masalah dalam organisasi. Beberapa penyebab hilangnya kebanggaan ini antara lain perlakuan atasan atau manajemen yang buruk terhadap karyawan, saluran komunikasi yang macet, pelatihan yang kurang memadai, dan kecenderungan membebankan kesalahan pada karyawan. Penyebab yang paling parah adalah bila organisasi menuntut karyawan bertindak seperti robot atau automation. Paling tidak ada empat cara yang dapat dilakukan untuk mengembalikan kebanggaan karyawan. Pertama. Manajemen harus menyadari dan mencermati berbagai macam masalah yang timbul dan bertindak sesuai dengan masalah tersebut. Cara yang bisa ditempuh adalah menumbuhkan kerelaan dan keberanian para karyawan untuk melaporkan setiap masalah yuang dijumpai (betapapun sukarnya masalah tersebut). Cara lainnya adalah dengan menyediakan berbagai macam alat, bahan, dan metode yang tepat bagi para karyawan untuk melaksanakan pekerjaan. Kedua, manajemen harus melibatkan semua karyawan yang bidang kerjanya bakal terkena pengaruh keputusan yang akan diambil. Ketiga. Manajemen harus memantau secara rutin apa yang sedang terjadi. Caranya adalah dengan melakukan survei reguler dan menindak lanjuti hasilnya. Keempat, manajemen perlu melaksanakan arti penting setiap individu/karyawan dan kontribusi mereka bagi proses operasi perusahaan. Bila para karyawan mendapatkan kembali kebanggaannya, maka akan ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh, diantaranya: tumbuhnya loyalitas, kepuasan kerja, dan semangat tim; pemberdayaan dapat lebih mudah diterapkan ; para karyawan bisa menjadi ‘duta’ organisasi; para karyawan akan ‘berkembang’ hingga bisa merealisasikan potensi maksimalnya; semangat dan moral kerja bisa meningkat, serta yang tidak kalah pentingnya stres bisa berkurang.
13. Giatkan program pendidikan dan perbaikan diri bagi setiap orang. Di dunia ini tidak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Hanyalah masalah waktu saja jika pengetahuan dan pengalaman seseorang belum mengalami keusangan. Suatau saat pasti akan ada perkembangan baru yang membuat apa yang saat ini dipandang ‘memadai’ menjadi suatu yang sangat ketinggalan jaman. Oleh sebab itu, Deming sangat menekankan pentingnya pendidikan dan pelatihan dalam membantu setiap individu dan organisasi untuk mempelajari proses dan perkembangan pekerjaan di masa datang. Selain itu, pendidikan dan pelatihan juga berfungsi untuk memotivasi karyawan, menghindari kejenuhan kerja, dan menyiapkan transisi menuju organisasi ‘baru’. Tuntutan akan pelatihan generik yang berlaku umum bagi manajer puncak, madya, dan manajer lini pertama. Tipe tersebut meliputi; (1) teknik-teknik statistik dasar, (2) ketrampilan dasar pekerjaan; (3) topik-topik yang berkaitan dengan pekerjaan; dan (4) pelatihan pengembangan pribadi (personal improvement).
14. Lakukan transformasi pekerjaan setiap orang dan siapkan mereka untuk mengerjakannya. Implementasi TQS menuntut perubahan fundamental dalam praktik pelayanan jasa tradisional. Hal ini membutuhkan komitmen total dan keterlibatan nyata dari manajemen puncak atau atasan dan semua karyawan yang ada dalam organisasi. Dengan demikian, proses transformasi (yang kerapkali butuh lama) bisa berlangsung dengan mulus.

Excellent services melalui penciptaan pengalaman pelanggan

Sebagaimana paparan di atas, dalam rangka memberikan excellent services, budaya service quality perlu terus dikembangkan pada setiap individu anggota organisasi. Langkah penting yang harus dilakukan adalah berusaha memahami bagaimana menciptakan pengalaman konsumen dan membuatnya sebagai suatu hal yang mengesankan. Pengalaman konsumen tersebut dapat diciptakan melalui 4P (Hopson & Scally, 1991) :
- Pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan bergaul (personal approach training)
- Produk yang di atas kualitas rata-rata
- Presentasi yang berkesan
- Proses yang berorientasi pada konsumen

“P” Pertama: Personal approach training
Personal approach training dimaksudkan untuk meningkatkan ketrampilan pelayanan dengan inti sebagai berikut:
- mengistimewakan orang lain
- menangani 4 menit pertama dan 2 menit terakhir
- menunjukkan sikap positif
- mengkomunikasikan pesan dengan jelas
- menunjukkan energi tinggi
- bekerja dengan baik dibawah tekanan
Dengan istilah lebih menarik dan mudah untuk diingat “the customer comes 1st” dimana comes 1st adalah kependekan dari:
C = clear massage
O = OK attitude
M = making people feel special
E = energic
S = service under pressure
1st = fisrt 4 minutes and last 2 minutes

“P” Kedua: Product quality
Perlu disadari pelayanan yang baik bukanlah pengganti produk yang jelek. Terlebih untuk perusahaan jasa, mengingat produk dari perusahaan jasa adalah penyampaian pelayanan itu sendiri. Untuk itu peningkatan mutu secara terus-menerus mutlak diperlukan. Hal ini sejalan dengan praktek manajemen di Jepang yang dikenal dengan istilah “Kaizen” yang berarti peningkatan terus-menerus dan melibatkan semua orang dalam organisasi. Peningkatan kualitas produk ini sebaiknya juga berorientasi kepada konsumen (customer oriented). Sebagaimana yang dilakukan orang Jepang, pendekatan yang dilakukan adalah dengan menanyakan apa yang kita inginkan, berapa yang sanggup kita bayar dan kemudian baru memproduksi barang tersebut.

“P” Ketiga: Presentation
Faktor ketiga yang terpenting adalah presentasi atau penampilan secara fisik. Presentasi ini dalam model service quality yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zitham, dan Berry (1985) termasuk dalam kriteria tangibles (berwujud) yakni penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik(gedung, transportasi, telekomunikasi, alat-alat pemasaran dan promosi, dll), keadaan lingkungan serta penampilan staff.
Semua itu berperan dalam menciptakan pengalaman konsumen dan pelanggan. Oerganisasi dalam hal ini hendaknya memposisikan dirinya sebagai konsumen itu sendiri, sehingga dapat memprediksikan harapan-harapan konsumen secara lebih mendetail dan berusaha mengkonseptualisasikannya serta merealisirnya. Untuk itu peranan desain dalam mengkonseptualisasi produk dan jasa menjadi semakin meningkat dan memiliki fungsi strategis.

“P” keempat: Process
Sebagai pelengkap dari ketiga “P” lainnya, pelayanan berkualitas berarti membuat semua proses untuk kepentingan konsumen, mengatur segalanya sedemikian rupa sehingga konsumen dapat memperoleh apa yang mereka inginkan pada saat yang tepat. Hal ini perlu lebih disadari mengingat tidak jarang organisasi terlalu terfokus pada ketrampilan pelayanan, namun melupakan unsur pelayanan yang lebih besar lagi yakni proses. Staff yang ramah dan mengesankan tidak cukup memuaskan konsumen apabila harus menunggu berjam-jam untuk memperoleh sesuatu yang dibutuhkannya. Sehingga dalam hal ini organisasi harus memperhatikan sarana administrasi, atau prosedur yang merupakan policy organisasi sedemikian rupa guna memberikan kelincahan / flexibilitas kepada setiap staff untuk memberikan pelayanan dengan cepat dan dapat diandalkan.

Penutup
Di era yang makin kompetitif akibat globalisasi ini, aspek pelayanan atau jasa menjadi “credo” universal dan merupakan faktor dominan terhadap kesuksesan perusahaan. Service quality menjadi tuntutan sekaligus tantangan bagi setiap organisasi pemerintah maupun swasta dan perusahaan baik yang bergerak di bidang manufacturing terlebih lagi perusahaan jasa murni. Tantangan untuk memberikan yang terbaik atau excellent services telah diakui dan berlomba-lomba diperjuangkan sebagai kunci sustained competitive advantage bagi setiap organisasi.
Kualitas jasa itu sendiri sangat ditentukan oleh pelanggan atau konsumen, oleh karenanya suara konsumen harus menjadi salah satu sumber inspirasi perusahaan guna mengembangkan excellent services dan mencegah terjadinya kesenjangan (gap) yang menjadi penyebab kegagalan pelayanan. Karena kualitas pelayanan (jasa) itu sangat relatif dan subyektif, maka tugas utama organisasi adalah membentuk pengalaman konsumen atau masyarakat selalu menjadi pengalaman yang memuaskan. Hal ini akan dapat terwujud melalui penerapan konsep Total Quality service dimana keterlibatan dan komitmen seluruh anggota organisasi menjadi kunci suksesnya. Dari sinilah keberhasilan dan citra organisasi akan terbentuk secara positif dengan selalu menjaga kepuasan konsumennya yang dalam hal ini masyarakat luas (customer satisfaction).