Sri Juni Woro Astuti's Blog


Welcome to Sri Juni Woro Astuti's Blog

Rabu, 12 Januari 2011

Membangun Kembali Social Capital Dalam Rangka Reformasi Administrasi di Indonesia

Oleh Sri Juni Woro Astuti

Pendahuluan
Reformasi birokrasi sebenarnya adalah merupakan bagian dari reformasi administrasi. Adapun pengertian reformasi administrasi itu sendiri masih banyak dimaknai secara berbeda. Disatu sisi, konsep reformasi administrasi (administrative reform) diidentikkan dengan konsep perubahan administrasi (administrative change). Perubahan administrasi mengandung pengertian sebagai suatu proses penyempurnaan (revisi) yang dilakukan secara terus menerus terhadap praktek-praktek administrasi, organisasi, prosedur, dan seluruh proses dimana administrasi terlibat di dalamnya (Leemans dalam Mutahaba, 1989:25). Hal ini menekankan perlunya perubahan administrasi secara berkesinambungan dan kontekstual.
Reformasi administrasi sesungguhnya tidak hanya sekedar perubahan yang bernuansa internal manajerial, tetapi lebih merupakan perubahan di sektor publik dan pemerintah yang bersifat terencana, instrumental dan organisasional dalam rangka memenuhi atau menyesuaikan diri dengan perubahan tuntutan lingkungannya (Caiden dan Siedentopf, 1982). Reformasi administrasi ini diperlukan tidak saja untuk meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah, tetapi juga untuk menunjukkan seberapa besar kemampuan pemerintah dalam memenuhi harapan-harapan dan keinginan masyarakat.
Untuk itu nilai-nilai yang merupakan esensi administrasi negara (publik) dalam artian yang lebih luas seperti kewarganegaan (citizenship), keadilan sosial (social equity), etika, tanggung jawab, keterbukaan (Frederickson,1997) merupakan prinsip fundamental dalam reformasi administrasi-- selain nilai-nilai manajerial seperti efisiensi dan ekonomi--. Nilai-nilai esensial administrasi negara (publik) seperti kewarganegaan (citizenship), keadilan sosial (social equity), etika, tanggung jawab, keterbukaan tersebut di atas tidak lain merupakan social capital (modal sosial) yang bersumber dari hubungan sosial, yang meliputi trust (kepercayaan), norms (norma/kaidah), dan networks (jaringan) antar berbagai assosiasi yang mewakili beberapa kelompok yang secara konsisten berupaya mencapai tujuan bersama. Social capital merupakan public goods yang diciptakan oleh masyarakat dan dimiliki oleh masyarakat pula, tidak oleh individu atau pemerintah, tidak juga oleh kelompok-kelompok yang memiliki sumberdaya melimpah.
Kapital sosial ini terbentuk dengan sendirinya dalam kurun waktu yang relatif lama, seperti halnya proses pembentukan sistem nilai atau budaya pada umumnya. Oleh karenanya ketika kapital sosial ini telah terbentuk, maka akan sulit dihilangkan begitu saja (berbeda dengan kapital finansial). Namun ketika nilai-nilai social capital itu telah terkikis, jauh lebih sulit untuk membangunnya kembali.

Konsep Social Capital
L.J. Hanifan's 1916 dalam artikelnya tentang dukungan daerah terhadap sekolah di pedesaan, merupakan salah satu yang mencantumkan konsep social capital sebagai konsep yang mengacu pada kohesivitas sosial dan investasi personal dalam suatu komunitas sosial. Hanifan mendefinisikan konsep social capital dengan memperbandingkannya dengan banda-benda material sebagai berikut:
"...that in life which tends to make these tangible substances count for most in the daily lives of people: namely good will, fellowship, sympathy, and social intercourse among the individuals and families who make up a social unit… The individual is helpless socially, if left to himself… If he comes into contact with his neighbor, and they with other neighbors, there will be accumulation of social capital, which may immediately satisfy his social needs and which may bear a social potentiality sufficient to the substantial improvement of living conditions in the whole community. The community as a whole will benefit by the cooperation of all its parts, while the individual will find in his associations the advantages of the help, the sympathy, and the fellowship of his neighbors" (p. 130).
Berbagai aspek dari konsep tersebut juga telah banyak digunakan oleh banyak ilmuwan sosial, namun tidak banyak yang mendefinisikannya secara eksplisit melainkan lebih benyak mengkaitkannya dengan nilai-nilai hubungan sosial (social networks). Demikian pula para ilmuwan di bidang ilmu politik seperti Robert salisbury mengembangkan konsep social capital sebagai komponen penting dari pembentukan dan keberadaan kelompok kepentingan dalam tilisannya pada tahun 1969 yang berjudul "An Exchange Theory of Interest Groups" yang dimuat dalam Midwest Journal of Political Science.
Selanjutnya Pierre Bourdieu, sosiolog, juga menggunakan konsep social capital dalam tulisannya Outline of Theory of Practice pada tahun 1972 dan beberapa tahun kemudian mengklarifikasinya kembali dengan membedakan konsep social capital dengan kultur serta simbol-simbol kapital dan ekonomi. Baru beberapa tahun kemudian konsep social capital ini lebih dipopulerkan lagi oleh James Coleman, Barry Wellman dan Scot Wortley yang mengadopsi definisi yang dikembangkan oleh Glenn Loury (1977). Pada akhir 90-an konsep ini sangat populer, dan menjadi salah satu fokus program kajian World Bank dan menjadi topik bahasan utama dalam berbagai buku, salah satunya buku yang ditulis oleh Robert Putnam: Bowling Alone, dan Lewis Feldstein: Better Together.
Meskipun Bourdieu sependapat dengan Coleman bahwa social capital merupakan sumber daya yang netral, namun Bourdieu cenderung menunjukkan bahwa dalam prakteknya konsep social capital juga dapat digunakan untuk menghasilkan dan atau menghasilkan kembali ketidak seimbangan (inequality) dengan menunjukkan bagaimana orang-orang dapat mengakses posisi-posisi kekuasaan melalui hubungan sosial baik secara langsung maupun tidak langsung. Sementara itu, Robert Putnam menggunakan konsep tersebut dalam perspektif yang lebih positif. Meskipun pada mulanya ia mempertanyakan apakah benar social capital suatu konsep yang netral, ia membingkai konsep social capital sebagai suatu konsep yang menghasilkan civic engagement dan juga sebagai indikator sosial dari kesehatan kelompok atau komunitas. Putnam juga yang mentransformasi konsep social capital dari kepemilikan individual menjadi atribut kelompok (kolektif), yang menitik beratkan pada nilai-nilai kepercayaan (trust). Senada dengan Putnam, Mahyar Arefi (2003) juga mengidentifikasi bahwa konsensus merupakan salah satu indikator positif dari social capital. Konsensus mencerminkan adanya kepentingan yang sama dan kesepakatan diantara beberapa aktor atau individu dan stakeholders untuk mendorong gerakan kolektif. Gerakan kolektif inilah yang kemudian merupakan indikator dari meningkatnya social capital. Social Capital sering pula dikaitkan dengan keberhasilan demokrasi dan partisipasi politik. Putnam dalam bukunya Bowling Alone membuat argumen bahwa social capital berhubungan dengan kemunduruan partisipasi politik masyarakat Amerika yang terjadi saat itu.
Menurut Putnam, social capital mengacu pada nilai-nilai kolektif dari semua jaringan atau hubungan sosial dan kecenderungan yang muncul dari hubungan sosial tersebut. Social capital, oleh karenya merupakan komponen vital untuk membangun dan merawat demokrasi. Apa yang dikatakannya terjadinya penurunan social capital di Amerika serikat dlihatnya dari rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat. Putnam meyakini bahwa social capital dapat diukur dari tingkat kepercayaan (trust) dan hubungan imbal balik dalam suatu komunitas atau antara individu. Sementara itu Coleman mendefiniskan social capital sebagai berikut:
“a variety of entities with two elements in common: they all consist of some aspect of social structure, and they facilitate certain actions of actors...within the structure”
Social capital adalah segala sesuatu yang memfasilitasi tindakan individu atau kelompok yang didasari oleh adanya hubungan timbal balik, kepercayaan, dan norma-norma sosial. Dalam pandangan Coleman, social capital adalah sumber daya ang netral dan tergantung pada penggunaannya . Sementara itu dalam bentuk capital, Pierre Bourdieu membedakan toga macam kapital, yakni : economic capital, cultural capital and social capital. Ia mendefinisikan social capital sebagai "the aggregate of the actual or potential resources which are linked to possession of a durable network of more or less institutionalised relationships of mutual acquaintance and recognition".
Kapital Sosial dan Reformasi Administrasi Publik
Sebagaimana dipaparkan di atas, teori social capital dipopulerkan oleh Putnam, berdasarkan hasil riset di berbagai wilayah di Amerika serikat, kapital sosial ternyata memegang peran kunci dalam menunjang keberhasilan pemerintahan. Beberapa daerah dimana masyarakatnya sangat commited terhadap pemerintah dan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, patuh terhadap hukum, saling mempercayai satu sama lain, disanalah pemerintah dapat menjalankan perannya dengan baik, memberikan pelayanan publik yang memuaskan, serta mencapai pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan. Hal ini dikarenakan antara aktivitas sosial dan politik dapat saling menunjang satu sama lain, dalam hubungan yang horisontal bukan vertikal, antara masyarakat dan pemerintah begitu terintegrasi dalam suasana demokrasi yang sangat baik. Sebaliknya, kasus kegagalan pemerintah di beberapa wilayah lainnya, disebabkan karena kurang berkembangnya masyarakat civil (civic community) dan kehidupan berdemokrasi yang masih terbelakang. Masyarakat merasa sangat tidak berdaya, tidak dapat berpartisipasi, dan banyak terjadi pelanggaran hukum sehingga pemerintahan tidak berjalan dengan efektif (Putnam,1993).
Pelajaran yang dapat dipetik dari riset Putnam tersebut jelas membuktikan bahwa social capital merupakan prasyarat (prakondisi) bagi keberhasilan reformasi administrasi publik, dimana pada umumnya ide untuk melakukan reformasi akan muncul ketika terjadi penyimpangan, ketidak wajaran, ketidakpuasan atau kekecewaan, ketidaksenangan, keterasingan, penderitaan dan lain sebagainya dan tujuannya adalah untuk menuntut perbaikan kinerja (Caiden, 1991:45).
Mengingat reformasi administrasi melibatkan perubahan yang berskala besar dalam hal struktur dan proses organisasi dalam konteks politik (Montgomery, 1969 dalam Mutahaba, 1989:26), maka tidak ada reformasi jika perubahan yang terjadi tidak berdimensi politis atau hanya sedikit dimensi politiknya. Dalam konteks ini, administrative reform sulit dibedakan dengan reformasi sistem politik (political system reform). Berdasarkan pemahaman tersebut, Mutahaba (1989) mengaku sulit untuk memahami tujuan reformasi selain untuk pengaturan ulang hubungan-hubungan kekuasaan dalam organisasi atau dalam suatu masyarakat, yang mana hal ini tidak akan dapat dicapai jika nilai-nilai yang merupakan kapital sosial tersebut telah memudar.
Pudarnya kapital sosial terlihat dari perilaku dan orientasi tindakan yang secara riil dilaksanakan oleh para pejabat dan staf di lingkungan birokrasi pemerintah yang seringkali tidak sesuai dengan nilai-nilai etika pemerintahan yang seharusnya dipegang teguh. Padahal nilai-nilai etika merupakan ‘jiwa’ atau ‘ruh’ yang melandasi administrasi publik (Cooper, 1990). Pentingnya dimensi etika bahkan dapat dianalogikan dengan sistem sensor pada administrasi publik dan dapat mempengaruhi dimensi-dimensi lain dalam sistem administrasi publik (Keban, 2008). Namun nilai-nilai normatif tersebut semakin memudar sehingga semakin banyak penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang birokrasi dan pejabat-pejabat politik sebagai pengambil kebijakan yang hanya berorientasi pada kepentingan pribadi dan golongan serta mengabaikan kepentingan rakyat.
Selain itu kondisi dilematis yang selalu dihadapi birokrasi pemerintah terkait dengan konteks politik yang tidak dapat mereka dihindari semakin meniadakan nilai-nilai kapital sosial tersebut. Menanggapai kondisi tersebut Putnam (1993) menyatakan bahwa “keberhasilan untuk menyelesaikan dilema-dilema dari aksi kolektif dan oportunisme untuk mengalahkan diri sendiri yang mereka kembangkan tergantung pada konteks sosial yang lebih luas dimana permainan itu terjadi. Sedangkan Coleman (1990), menyatakan bahwa fitur-fitur organisasi yang sudah lama ada seperti adanya kepercayaan, norma-norma, dan jaringan kerja, semua itu membentuk capital social yang mendorong kerjasama secara spontan / langsung dan untuk kepentingan umum. Kapital sosial membangun kepercayaan, dimana kepercayaan merupakan kunci pokok yang menunjang dinamisme ekonomi dan kinerja pemerintah. Dalam hal ini dibedakan antara kepercayaan sosial dengan kepercayaan personal, dimana tingkat kepercayaan sosial meningkat sebagai konsekwensi dari penggunaan hak kewarganegaraan dan adanya norma-norma lainnya. Hak untuk pengontrolan aksi-aksi individu telah ditransformasikan dari hak perorangan menjadi hak kelompok, karena aksi-aksi individu tersebut bisa mempengaruhi eksternalitas kelompok yang tidak dapat dijelaskan dalam pertukaran pasar. Dalam hal ini penggunaan hak kewarganegaraan yang tertuang dalam jaringan-jaringan kerja atau sejenisnya, secara horisontal memotong pengelompokan-pengelompokan sosial (seperti asosiasi lingkungan, komunitas masyarakat, klub olah raga, dst.). Jaringan kerja vertikal tidak dapat meningkatkan kepercayaan yang dibangun oleh tipikal jaringan kerja horisontal dari hirarki yang lebih rendah.
Putnam berpendapat bahwa adanya norma-norma dan jaringan-jaringan kerja sebagai akibat dari penggunaan hak kewarganegaraan lebih dapat membantu daripada menekan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan keefektifan institusi-institusi publik. Lebih jauh lagi, pada masyarakat kompleks yang berkembang secara ekonomis, akan lebih besar terjadinya peluang untuk melakukan kelalaian dan kecurangan. Untuk itu, kekuatan kapital sosial dibutuhkan untuk mencegah hal tersebut menjadi suatu budaya.

Menakar Kepemilikan Social Capital
Hasil studi Putman tersebut, jika kita tarik dan direfleksikan pada kondisi di Indonesia sebelum reformasi, maka dapat digambarkan pada kondisi belum atau kurang berkembangnya civil society dan kehidupan berdemokrasi yang sangat terbatas. Masyarakat tidak berdaya, tidak dapat berpartisipasi dengan baik, sehingga pelanggaran hukum justru banyak dilakukan para penyelenggara pemerintahan dan akibtanya banyak program pemerintahan dan pembangunan yang tidak berjalan dengan efektif dan efisien.
Kondisi tersebut yang kemudian mendorong timbulnya gerakan reformasi karena kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah telah mengalami degradasi secara drastis. Reformasi yang ditandai dengan lengsernya pemerintah orde baru merupakan klimak dari ketidak efektifan pemerintah dalam mengatasi berbagai krisis yang dipacu oleh krisis ekonomi hingga meluas ke krisis multi dimensi. Pada saat itu dapat dikatakan kondisi negara dan pemerintahan ’chaos’ dengan maraknya demontrasi anarkis dimana-mana. Para elit dan kelompok-kelompok masyarakat tidak lagi bisa saling percaya satu sama lain, integritas dan solidaritas terkikis, dan pelanggaran hukum terjadi di berbagai pemerintahan daerah. Dengan melihat kondisi demikian dapat dikatakan bahwa capital social di Indonesia sudah sangat rendah.
Selanjutnya pada era reformasi ini, para elit politik mencoba memperbaiki sistem antara lain sistem politik, sistem pemerintahan daerah, dan juga penegakan hukum. Di bidang pemerintahan, dapat dikatakan telah dilakukan reformasi dengan diberlakukannya otonomi daerah secara riil, luas dan bertanggung jawab. Demikian pula di bidang politik telah dilaksanakan sistem demokrasi langsung. Demikian juga di bidang penegakan hukum telah diupayakan untuk secara tegas menindak setiap orang dan pejabat yang melakukan tindakan melanggar hukum tanpa tebang pilih.
Namun reformasi birokrasi yang merupakan bagian dari sistem administrasi negara nampaknya belum secara serius dilaksanakan. Hal ini terbukti hingga saat ini peraturan perundang-undangan tentang sistem administrasi pemerintah belum juga resmi disahkan. Peran birokrasi yang profesional, yang mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan mendukung terpenuhinya kebutuhan masyarakat agar masyarakat mampu melakukan kegiatan lainnya secara mandiri belumlah nampak. Salah satu penyebab ketidak profesionalan tersebut adalah adanya ketidakseimbangan antara kewenangan, hak dan tanggung jawab. Ketidakseimbangan ini pada akhirnya mengakibatkan kecenderungan yang tinggi di kalangan pegawai pemerintah untuk menyalahgunakan kewenangan dan bersikap apatis atau tidak termotivasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Sekedar mengingatkan bahwa Indeks Prestasi Korupsi di Indonesia pada tahun 2008 masih mencapai 2,8 bahkan lebih tinggi daripada tahun 2007 yang mencapai 2,0. hal ini juga merupakan salah satu bukti bahwa reformasi birokrasi belum berhasil.
Demikian pula dilihat dari capaian kinerja pemerintah saat ini yang sesungguhnya belum dapat dikatakan berhasil. Hal itu dilihat dari indikator kinerja pemerintah yang antara lain berdasarkan indikator ekonomi utama yang dicanangkan pada Rencana Pembangunan Jangka Mengengah (RPJM). Jika pada RPJM ditargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,6 % selama kurun waktu tahun 2005-2009, realisasinya hingga tahun 2008 baru tercapai 5,9%. Target angka pengangguran tahun 2008 sebesar 6,6% ternyata realisasinya masih sebesar 8,4%. Demikian pula target penduduk miskin dalam RPJM sebesar 8,2 % untuk tahun 2009, namun realisasinya hingga tahun 2008 masih sebesar 15,4%. Kondisi capaian kinerja pemerintah Indonesia ini jauh tertinggal dibandingkan dengan kinerja pemerintah di negara-negara tetangga seperti Laos, Kamboja, Vietnam dan China. Sebagai contoh, untuk pengurangan tingkat penduduk miskin periode tahun 2004-2008 di Laos sebesar 10,6 % , Kamboja turun 11,3%, Vietnam 4,8%, China 4,2%, sadangkan Indonesia hanya 1,5 %. (Kompas, 27 April 2009).
Dengan capaian kinerja pemerintah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa reformasi birokrasi pemerintah belum berjalan dengan baik. Padahal dalam situasi keterpurukan negara dan masyarakat Indonesia yang dialami sejak ’pecahnya’ krisis multi dimensi sekitar 10 tahun silam, agenda reformasi birokrasi tidak dapat ditawar lagi. Namun sejauh ini nampaknya pemerintah belum menunjukkan sence of crisis dengan segera melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Grand design reformasi birokrasi pasca Orde Baru belum dirumuskan dengan tujuan dan strategi yang jelas. Salah satu pakar birokrasi, Miftah Toha menyatakan bahwa hingga saat ini kelembagaan dan sistem administrasi belum berubah, susunan dan struktur organisasi birokrasi pemerintah masih seperti yang dulu pada era Presiden Suharto (2008). Demikian pula sistem nilai atau kultur yang kemudian mempengaruhi perilaku dan kinerja birokrasi secara individu maupun kelembagaan belum mengalami perubahan yang berarti.
Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya yang serius dan tegas dalam mencoba memperbaiki birokrasi kita. Kondisi ini hanya dapat diatasi dengan membangun kembali social capital yang sudah terlanjur terkikis ini. Hal ini memang sangat sulit untuk membangun rasa saling kepercayaan, kejujuran dan kerjasama yang murni sangat sulit untuk dilakukan. Menurut analisis yang dilakukan oleh Indonesia corruption watch (2000), masyarakat kita justru semakin menuhankan materi. Status sosial pejabat yang kaya raya dengan gaya hidup yang mewah, meskipun semua itu tidak mungkin dapat diperoleh dari pendapatan resminya, kedudukannya di masyarakat begitu tinggi, diidolakan dan dirubung, siapa tahu dapat kebagian limpahan rezeki. Pejabat yang royal berderma, dianggap seorang yang tinggi ahlaknya dan karenanya senantiasa didoakan masyarakat, tanpa pernah dipertanyakan dari mana sumber dananya. Di dalam masyarakat yang demikian tentu semua orang menginginkan untuk memperkaya diri karena akan mendapat posisi terhormat dimata masyarakat.

Memudarnya Social Capital : Fenomena Urban Politics
Dalam realisasinya, reformasi birokrasi dan administrasi yang sesungguhnya jarang tersentuh, melainkan lebih banyak terkooptasi dan mungkin telah dilegimitasikan oleh janji-janji simbolis untuk meningkatkan produktivitas dalam sektor publik namun sejatinya yang dilakukan tersebut adalah untuk mencapai tujuan politis. Keseriusan untuk membenahi sistem kelembagan birokrasi pemerintahan, peningkatan kualitas dan kompetensi sumber daya aparatur melalui evaluasi kinerja PNS, sistem insentif yang kompetitif dan rekruitment berbasis profesionalisme dan lain sebagainya hingga saat ini masih merupakan konsep yang belum konkrit melainkan masih abstrak atau sekedar sketsa (rencana).
Reformasi sistem politik dengan melaksanakan demokrasi secara langsung terlalu jauh melangkah meninggalkan reformasi birokrasi yang masih saja jalan di tempat. Padahal birokrasi merupakan muara dari reformasi-reformasi dalam sistem politik, sistem administrasi negara, dan sistem hukum. Seberapa bagusnya reformasi atau perubahan yang sudah dibuat pada ketiga sistem tersebut, apabila tidak diimbangi dengan reformasi birokrasi maka kinerja pemerintah di bidang pembangunan dan pelayanan publik tetap tidak akan lebih baik.
Fenomena yang justru berkembang di lingkungan pemerintahan daerah adalah politisasi birokrasi secara terang-terangan. Kepentingan politik mengkooptasi kepentingan pelayanan kepada masyarakat daerah secara murni. Demikian pula politisi daerah cenderung mendominasi dan mengintervensi domain tugas dan kewenangan birokrasi di era reformasi. Fakta tersebut menunjukkan adanya anomali dari mainstream otonomi dan demokratisasi dalam sistem pemerintahan. Mainstream terkait dengan otonomi adalah bahwa dengan otonomi diyakini akan memberi peluang bagi berkembangnya local wisdom yang selama pemerintah orde baru terkikis oleh politik penyeragaman (uniformity) yang dipaksakan oleh pemerintah pusat (Purwanto, 2006). Demikian pula mainstream tentang demokrasi, dimana dalam sistem pemerintahan yang demokratis akan meningkatkan akuntabilitas pemerintah, dan memberikan landasan bagi partisipasi warga dan kepemimpinan politik baik di tingkat lokal maupun nasional (Smith, 1985).
Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah (pusat) belum berhasil membangun prakondisi yang diperlukan guna mendukung pelaksanaan sistem demokrasi dalam pemerintahan daerah otonom. Hal ini tidak terlepas dari bangunan struktur dan kultur birokrasi pemerintah yang sangat kuat mengakar semenjak era Orde Baru. Kepentingan politik mendominasi kebijakan publik hingga keputusan – keputusan pada ranah operasional sekalipun.
Birokrasi pada dasarnya hanya ‘alat’ untuk menjalankan kebijakan dan kehendak para atasan politiknya yang mana seringkali kehendak politik tersebut tidak selalu sesuai dengan kepentingan masyarakat luas. Pejabat birokrasi lebih banyak mengakomodir kepentingan – kepentingan politik penguasa. Meski diakui bahwa peran birokrasi saat ini masih sangat kuat dalam memobilisasi sumber daya pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan, namun perlu dilihat bahwa semua itu dijalankan dalam koridor sistem birokrasi yang masih lemah (tidak mandiri dan profesional). Pada era otonomi, birokrasi pemerintah semakin terkooptasi oleh kepentingan politik dan digunakan sebagai alat untuk dapat memenangkan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Kedudukan birokrasi sebagai alat negara yang perlu memiliki aturan main sendiri dan didukung oleh perundang-undangan tersendiri hingga kini belum terealisasi. Birokrasi, sebagai organ negara yang diberi tugas menjalankan semua kebijakan pemerintah yang terkait dengan kepentingan rakyat, seharusnya dijalankan dalam suatu sistem yang netral dan profesional bebas dari kepentingan politik. Konsep Weber tentang birokrasi yang rasional dan profesional mengedepankan prinsip meritokrasi dalam pelaksanaan tugasnya ternyata belum ditemui dalam sistem birokrasi pemerintah daerah yang berlangsung selama ini.
Dengan demikian, opini terhadap birokrasi yang selalu diilustrasikan sebagai “bureaucratic kingdom”, yang cenderung menjadikan birokrasi sebagai kekuatan yang sakral, sesungguhnya dari perspektif diskresi justru menunjukkan sisi sebaliknya. Ketidakmampuan birokrasi dalam menolak kehendak politik sempit dari para superior politiknya merupakan fenomena yang perlu dipandang dari sisi sistem birokrasi (bukan hanya dari sisi personal birokrat). Pandangan dari sisi personal, memang menunjukkan bahwa kekuasaan dalam birokrasi yang melekat dalam jabatan seorang ‘pejabat’, bisa menjadi sesuatu yang sangat menakutkan dan sangat sulit ditembus oleh warga masyarakat (Thoha, 2003). Namun situasi yang sama juga dihadapi pejabat birokrasi ketika berhadapan dengan pejabat politik, dimana mereka merasa ‘nasibnya’ diujung tanduk jika tidak mau mematuhi kehendak politik walaupun bertolak belakang dengan nilai-nilai etika, profesionalisme serta kepentingan rakyat.
Analisis ini berusaha merefleksikan pemikiran Weber dimana dalam tulisannya membahas mengenai kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat --merupakan sesuatu yang benar-benar harus dibedakan dengan birokrasi—(dalam Albrow,1989). Kenyataan tidak terlepasnya birokrasi dari pengaruh politik sebenarnya juga sudah diperhitungkan oleh Weber dengan mengatakan bahwa kemungkinan penyimpangan birokrat yang tidak mampu memisahkan perilaku mereka dari kepentingannya sebagai individu dan anggota kelompok masyarakat yang oleh karenanya bisa memiliki kepentingan politik tertentu. Untuk itu perlu dibangun sistem birokrasi yang kuat sehingga mampu menolak tekanan politik dengan pondasi profesionalisme sumber daya aparatur yang tinggi. Dengan dasar profesionalisme (self-controll) diharapkan birokrasi dapat bekerja secara proporsional dan lepas dari ketergantungan terhadap pejabat politik.
Benang merah analisis di atas diharapkan dapat menjelaskan bahwa meskipun secara teoritis dan normatif, birokrasi pemerintah daerah telah memiliki domain kewenangan yang jelas, namun ternyata dalam prakteknya birokrasi sulit untuk melepaskan diri dari pressure pejabat politik yang menginginkan birokrat untuk selalu memihak dan memberikan keuntungan secara politis. Terutama dalam kebijakan pelayanan publik yang bersifat distributif, seringkali fakta yang ada dimanipulasikan untuk mempengaruhi keputusan birokrasi demi kepentingan politik praktis yang tidak benar-benar merepresentasikan kepentingan publik. Sebagaimana hipotesis Mladenka (1980) tentang politik perkotaan (urban politics) sebagai berikut:
"... urban services are political sources that can be manipulated, redistributed, and withdrawn in the scramble for electoral advantage. Loyal wards are rewarded with superior services. Major service decisions are made by the machines, handed down to the bureaucracy, and implemented in accordance with the scheme that seeks to wring maximum political advantage from the distribution of finite service resource".
Dalam perspektif urban politics, kebijakan distribusi pelayanan (services) seringkali didesain untuk memperoleh keuntungan politik semaksimal mungkin dengan hanya memberikan pelayanan yang sangat terbatas kepada wilayah-wilayah tertentu yang loyal secara politik. Penelitian Mladenka (1980) menunjukkan bahwa sulit bagi birokrasi untuk mampu mengontrol distribusi pelayanan yang sebenarnya merupakan tanggungjawabnya, dan bahwa birokrat seharusnya menggunakan kriteria teknis dan rasional dalam menyelesaikan permasalahan distribusi pelayanan. Yang terjadi adalah maipulasi atau pengalihan kepentingan Namun pembelokan atau manipulasi kepentingan tersebut sebenarnya dapat diminimalisir dengan profesionalisme birokrasi. Sebagaimana pendapat Miranda (1994) sebagai berikut: “…that bureaucratic rules best explain the distribution of urban services where professionalism dominates so that systematic bias is unlikely and that distributive decisions are made by impartial administrators who rely upon technical rational rather than political criteria”.
Fakta yang terjadi adalah bahwa birokrat secara konsisten cenderung melakukan manipulasi demi memperoleh keuntungan atas dukungan suara yang diberikan kepada para politisi. Kondisi ini dapat dijelaskan dengan social exchange theory dimana seseorang yang memberikan pada orang lain akan meminta imbalan atas pemberiannya itu, dan orang yang menerima banyak hal dari orang lain akan berada pada posisi tergantung dan di bawah tekanan pihak yang memberinya tersebut. Dengan demikian, kekuasaan atau kepemilikan sumber daya merupakan penentu hubungan pertukaran yang terjadi antara kedua belah pihak, apakah dalam posisi seimbang atau tidak (Emerson, 1962 and Blau, 1964). Dalam hubungan tersebut, terjadi pertukaran antara dukungan politik birokrat yang berupa kewenangan distribusi pelayanan publik dengan keuntungan yang diperoleh birokrat atas dukungan politis tersebut.
Hal ini menggambarkan betapa social capital yang dimiliki jajaran birokrasi dan elit politik telah memudar, dan tidak lagi menjunjung tinggi standar nilai etika administrasi publik yang harus selalu dikedepankan (Frederickson, 1997). Permasalahan yang kita hadapi saat ini adalah bagaimana menentukan prioritas antara mengedepankan pelaksanaan sistem demokrasi atau mendahulukan pembangunan social capital. Sebab membangun kedua pondasi itu tidak dapat atau sulit untuk dilakukan secara bersama-sama melainkan perlu ada prioritas pertama dan kedua. Jika sejak awal reformasi lebih memprioritaskan pembangunan demokratisasi, maka untuk saat ini upaya melakukan reformasi birokrasi dengan grand design yang jelas, sudah tidak dapat ditunda lagi dan harus menjadi prioritas utama bagi pemerintahan baru yang akan datang.

Membangun Kembali Kapital Sosial: Sintesis Sektor Publik dan Privat
James Wilson (1989) mengemukakan pendapatnya tentang empat tipologi cara sederhana organisasi publik yang bisa dipakai untuk menjelaskan masalah utama dari reformasi administrasi publik, khususnya yang terjadi di New Zaeland, adalah terjadinya kecenderungan untuk menganggap organisasi yang berhasil adalah mereka yang berubah menjadi, apa yang disebut oleh wilson sebagai organisasi produksi. Dalam hal ini organisasi produksi dinobatkan sebagai tipe organisasi yang paling didambakan sebagai solusi, khususnya bagi agensi-agensi birokratik tradisional (yang digambarkan sebagai tipe prosedural yang ada karena paksaan).
Manajemen yang efektif akan berperan banyak dalam organisasi produksi karena kinerja aktual dan hasilnya sudah siap untuk diobservasi, dimana hal ini juga merupakan sesuatu yang terkontrol atau bisa dihitung. Pandangan ini disejajarkan dengan asumsi-asumsi orientasi bisnis dalam ekonomi, yang telah menjadi motor reformasi. Schick (1996) menyatakan bahwa kontrol-kontrol eksternal pada input telah ditiadakan, tapi ada kontrol eksternal baru pada output (misalnya dalam bentuk kesepakatan akan form kinerja dan pembelanjaan-nya, laporan keuangan dan pengauditan, dan sebagainya), dan New Zealand bukanlah negara yang segala sesuatunya di jalankan oleh manajemen publik.
Bagaimanapun, usaha mereka untuk membuat pusat produksi dalam pelayanan publik yang berdasar pada imej bisnis korporasi, dipaksakan untuk digabungkan dengan beberapa faktor, yaitu konteks politik organisasi publik. Masalah yang dihadapi adalah adanya kesulitan teknologi yang digunakan untuk pencapaian outcome yang diharapkan, interdependensi, dan beberapa model tugas-tugas yang berbeda yang harus diselesaikan.
Jika efisiensi dan pertanggungjawaban bisa diterapkan paling tidak dalam kurun waktu yang singkat, maka dengan cara emulasi model produksi, standar etika dalam pelayanan publik bisa bertahan dalam waktu yang lama. Akan tetapi, tidak semua tugas yang diemban oleh organisasi publik bisa menggunakan model produksi, dan model produksi ini bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai jaminan standar. Sesuai dengan pendapat Wilson mengenai organisasi "asli" dan organisasi "tiruan”, karena secara definisi kinerja orang-orang dalam organisasi tersebut sukar untuk di observasi (dalam hal ini, pada organisasi tiruan outcomenya juga tidak bisa di observasi, dan untuk itu akan sulit bagi mereka untuk mengaturnya secara efektif. Jika pada organisasi bisnis sektor privat merupakan organisasi tiruan, maka ia tidak akan bertahan lama). Maka dari itu, dua tipe organisasi yang memiliki etika kejujuran harus di dasarkan pada tingkat kepercayaan yang tinggi, dan didukung oleh komitmen yang kohesif dalam norma-norma dan standar-standar profesional. Meskipun sebuah komitmen bisa dijadikan penopang dalam organisasi-organisasi produksi dan prosedural, sebagaimana telah diterangkan di atas mengenai pengutamaan kontrol supervisi yang cepat, ini merupakan sebuah sine qua non dari etika kejujuran dalam organisasi-organisasi asli dan tiruan.
Dalam pengertian yang lebih lanjut, disiplin ini merupakan orientasi misi institusi yang kuat dan dibedakan dari organisasi yang kompeten secara teknis, untuk itu ancaman pada etika kejujuran bisa diminimalisasikan. Observasi yang dilakukan oleh Ostrom mempunyai hubungan yang mendasar dengan konteks yang disebut "sebagai kesuksesan” dimana hal ini berarti, institusi-institusi privat mampu untuk menghasilkan outcome yang produktif dalam situasi yang penuh dengan godaan dan tindakan-tindakan ceroboh yang sering terjadi (1990). Atau seperti pendapat Wilson dimana ia menyatakan bahwa, arti dari sebuah misi, kemurnian sebuah komitmen, atau kepercayaan dalam norma-norma profesional, dimana para pekerja yang tidak selalu diperiksa tidak akan melakukan kelalaian (1989). Oleh sebab itu mereka harus terus beroperasi atas dasar tingkat kepercayaan yang tinggi dan jika mereka diatur dengan baik, maka pengembangan kapital sosial dalam tubuh mereka akan ada pada tingkat mikrokosmik mereka sendiri.
Sama halnya dengan pertanggung jawaban, kontrol keorganisasian secara langsung dilakukan oleh supervisi, hal ini merupakan karakteristik tipe produksi dan prosedural dari organisasi, baik itu bagi organisasi asli maupun tiruan, pada dasarnya bisa dioperasikan dengan efektif. Karena model-model produksi bisa berjalan dalam kondisi yang krisis akan unsur. Maka dengan demikian penyalahgunaan jabatan akan meningkat jika peraturan yang ada bisa diubah-ubah dan kesalahan yang dilakukan bisa disamarkan. Orang-orang dalam organisasi produksi bisa disebut sebagai jenis orang yang bersifat melawan, dan akan menerima sangsi sosial yang keras dalam organisasi asli yang memiliki karakter tingkat kepercayaan yang tinggi. Tetapi, permasalahannya adalah bahwa pembentukan kewajiban pada institusi ini lebih sulit dan hanya cocok diterapkan pada bentuk organisasi tiruan, karena organisasi tersebut juga dapat menghasilkan outcome yang mudah dilihat. Kemampuan dalam mengukur outcome dapat meningkatkan moral, dan menunjukkan bahwa agensi tersebut bisa dikatakan berhasil dalam mencapai moral yang tinggi. Di saat moral tetap stabil pada tingkat moral yang tinggi dalam sebuah organisasi prosedural, maka krisis kepercayaan diri mengenai apakah organisasinya mampu mencapai outcome yang telah dijadwalkan, akan berakhir. Organisasi ini cenderung untuk selalu di tempatkan dalam situasi yang tidak mengenakkan, dimana mereka dihadapkan dengan permintaan publik yang tidak pernah ada akhirnya dan dengan sumber daya mereka yang terbatas, serta seringkali mereka beroperasi dalam otoritas politik tingkat tinggi yang penuh dengan kontroversi dan pengekangan. Karenanya, dalam organisasi ini terjadi kecenderungan mengalami penurunan moral, dimana hal ini merupakan sesuatu yang wajar dalam pelayanan publik. Seperti dalam bidang olahraga, begitu pula yang ada dalam organisasi: akan terasa lebih baik untuk menjadi pemenang daripada menjadi pecundang.
Analisa Putnam mengenai hubungan antara pemerintahan demokratis yang efektif dan kapital sosial relevan dengan proses pemerintahan pada level mikro, implikasinya tampak lebih jelas. Fokus terhadap pemeliharaan standar etika manajemen publik dan administrasi tidak dapat dipandang sebagai prioritas kedua dan lebih mementingkan bagaimana meningkatkan efisiensi dan keefektifan. Orientasi pada capaian-capaian makro biasanya mengabaikan pentingnya pemberian pelayanan publik yang berbasis pada kejujuran, emphati, dan keadilan sosial.
Dengan menerapkan standar etika yang tinggi dalam pelayanan publik, maka lambat laun kapital sosial yang mulai memudar akan kembali menguat dengan sendirinya. Namun hal itu tentu tidaklah mudah. Diperlukan komitmen dan integritas penyelenggara pemerintahan untuk benar-benar menerapkan standar etika tersebut dengan konsekwen dan sistem hukum yang memadai untuk memberikan efek jera bagi siapapun yang melanggarnya. Untuk itu diperlukan pendekatan institusional yang tidak hanya sekedar melakukan reorganisasi struktural tetapi yang lebih penting adalah institusionalisasi nilai-nilai etika administrasi dan pelayanan publik (Ostrom, 1990). Dalam arti yang menyeluruh, pembangunan institusional merupakan sebuah proses dimana organisasi dan prosedur mendapatkan nilai dan kemantaban dalam norma dan perilaku yang dilakukan dalam waktu yang lama dan digunakan untuk mencaai tujuan bersama (Uphoff, 1986).
Pendekatan institusional dalam hal ini dimaknai secara luas atau komprehensif. Sehingga tidak akan ada lagi istilah ’hilangnya memori institusional’, dimana para pembuat kebijakan kurang memiliki pengalaman dan pengetahuan atau kompetensi yang memadai dalam hal pembangunan institusional. Disinilah pentingnya para institusionalis yang seharusnya menjadi salah satu bidang kajian utama dalam khasanah studi Administrasi Negara (Publik). Tapi ini hanya satu dari sekian banyak aspek yang juga sangat diperlukan dalam reformasi administrasi.
Salah satu strategi institusionalisasi diutarakan oleh Ostrom (1990) dimana ia menyatakan bahwa banyak institusi-institusi yang sukses adalah mereka yang menggabungkan karakteristik privat dan publik (state) serta menolak adanya dikotomi diantara kedua domain tersebut. Penekanan ekonomis terhadap perubahan sektor publik menempatkan nilai yang tinggi pada apa yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, yakni kebaikan dari model-model privat dalam mengelola organisasi, yang digambarkan sebagai yang “lebih produktif”, yang berbeda dengan pendekatan-pendekatan pelayanan publik yang biasa disebut sebagai birokratik.


Daftar Pustaka
Bourdieu, P. (1983) ‘Forms of capital’ in J. C. Richards (ed.) Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education, New York: Greenwood Press.
Coleman, J. C. (1988) ‘Social capital in the creation of human capital’ American Journal of Sociology 94: S95-S120.
Coleman, J. C. (1990, 1994) Foundations of Social Theory, Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Chandler, R.C. and Plano, J.C.,(1982). The Public Administration Dictionary. John Wiley & Sons
Denhardt, Robert B., (1991). Public Administration: An Action Orientation. Pacific Grove.California: Brooks/Cole Publishing Company.
Frederickson, H.C., (1997). The Spirit of Public Administration, San-francisco, Jose-Bass Publisher.
Frederickson, H.C., (1997). The Spirit of Public Administration, San-francisco, Jose-Bass Publisher.
Gregory, Robert J., (1999), Social Capital Theory and Administrative Reform:maintaing ethical probity in public service, Public Administration Review, January Vol. 59 No.1.
Hanifan, L. J. (1916) "The rural school community center", Annals of the American Academy of Political and Social Science 67: 130-138. Also see Hanifan, L. J. (1920)The Community Center, Boston: Silver Burdett.
Hughes, Owen E., (1994). Public management and administration: an Introduction, The Macmillan press LTD. London.
Keban, Yeremias., (2008). Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta, Gava Media.
Masduki, Teen., (2000). Gerakan Sosial Anti Korupsi, Indonesia Corruption Watch.
Putnam, Robert D., (1993). The Properious Community: Social capital and Public life, The American Prospect, March Vol.4,No.13.
The World Bank (1999) 'What is Social Capital?', PovertyNet http://www.worldbank.org/poverty/scapital/whatsc.htm
Uphoff, Norman., (1986). Local Instutional Development; An Alatical Sourcebook. West Hartford. Kumarian Press.
Wilson, James Q., (1989). Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do It? New York.


Penggunaan ruang diskresi birokratik dalam konteks politik lokal dan sistem akuntabilitas publik di era otonomi daerah

Studi tentang diskresi birokratik ini sesungguhnya merupakan bagian dari upaya untuk melakukan pengamatan dalam lensa-lensa lebar terkait dengan penyelenggaraan administrasi publik yang seharusnya sudah memasuki paradigma baru dalam tatanan pemerintahan dan pelayanan publik. Konsepsi reformasi birokrasi yang diharapkan dapat mengubah kinerja birokrasi menjadi lebih profesional dan akuntabel perlu dikawal dengan berbagai cara atau sarana. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu 'jendela' yang memungkinkan untuk melihat secara lebih jernih kompleksitas permasalahan yang menghambat pencapaian tujuan reformasi birokrasi.
Berdasarkan analisis hasil penelitian, thesis yang dibangun dari penelitian ini adalah bahwa "penggunaan ruang diskresi pada birokrasi pemerintah daerah lebih ditentukan oleh preferensi elit daerah daripada oleh DPRD (legislatif's choice) ataupun preferensi birokrasi (agency's choice)". Meskipun berdasarkan ketentuan perundang-undangan, birokrasi pemerintah daerah telah diberi keleluasaan (diskresi) yang lebih besar, namun ternyata kewenangan yang besar itu tidak dapat dijalankan dengan baik (berdasarkan prinsip etika, profesional, keilmuan dan kepentingan publik). Penggunaan ruang diskresi birokratik tidak dapat lepas dari adanya intervensi berbagai pihak seperti partai politik, kalangan swasta (pengusaha), dan para superiornya (individu-individu kepala daerah dan pejabat di atasnya).
Sistem birokrasi belum menunjukkan adanya perubahan (reformasi) menuju sistem birokrasi yang netral dan profesional. Kemampuan pejabat birokrasi dalam menggunakan ruang diskresi sesuai dengan parameter normatif yang acceptable yakni: legal, ethical, profesional, knowledge, dan public interest masih rendah. Ruang diskresi yang dimiliki l ebih banyak digunakan untuk "memberi" peluang masuknya pertimbangan-pertimbangan lain di luar yang normatif tersebut, sehingga hasilnya juga kurang acceptable. Keputusan-keputusan dan tindakan yang diambil dalam domain birokrasi tidak selalu dijaga agar tetap berpijak pada parameter legal dan normatif. Sebagian dari keputusan-keputusan yang diambil pada domain kewenangan birokrasi justru dibuat atas dasar kepentingan atau pertimbangan-pertimbangan diluar parameter yang acceptable tersebut antara lain kepentingan pejabat politik dan kepentingan individu birokrat seperti kedudukan atau jabatan, keuntungan ekonomi, dan nepotism.
Hal ini dikarenakan sistem akuntabilitas publik yang belum berjalan dengan efektif dan seimbang antara akuntabilitas internal (responsibility) dan akuntabilitas eksternal (responsiveness). Orientasi pertanggungjawaban yang perlu dibangun tidak hanya secara vertikal (birokratik - internal), tetapi juga perlu dibangun self-controll (kontrol profesional) dimana birokrasi secara internal dapat mengontrol dirinya sendiri sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika administrasi publik dan lebih penting lagi adalah berjalannya kontrol politik yang berasal dari elemen masyarakat dan penegakan hukum (law enforcement).
Walaupun disadari bahwa fenomena politisasi birokrasi memang tidak mungkin dihilangkan dari sistem pemerintahan negara dimanapun juga, namun yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana membuat birokrasi menjadi lembaga profesional dimana fokus utama dari tanggungjawabnya adalah pada pelayanan publik.
Adapun pokok-pokok pemikiran yang dapat disumbangkan sebagai rekomendasi hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Dalam paradigma governance, pemerintah (eksekutif) tidak identik dengan negara dan negara pun tidak semata dikelola oleh pemerintah (eksekutif). Perlu ditekankan bahwa peran masyarakat dalam penyelenggaraan fungsi negara--yang meliputi eksekutif, legislatif dan yudikatif-- sangat penting, selain peran pemerintah (eksekutif) dan kalangan swasta (privat). Dengan pemisahan yang tegas tersebut, maka dapat dipetakan kedudukan birokrasi yang sesungguhnya berada dimana. Selama ini birokrasi diidentikan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang disebut juga sebagai birokrasi pemerintah. Demikian juga dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (RUU-AP) saat ini, kedudukan birokrasi berada di bawah eksekutif. Selama Kepala Eksekutif -- yang merupakan pejabat politik -- lebih mementingkan kepentingan politis yang hanya berorientasi pada kekuasaan, maka sulit diharapkan birokrasi untuk menjaga netralitas dan meningkatkan profesionalismenya.
2. Tanpa berniat untuk sekedar meniru sistem pemerintahan di negara-negara maju seperti Jerman, Belanda, dan Amerika-kejelasan hukum tentang sistem administrasi negara sangat diperlukan sebagai pijakan dalam mengatur kedudukan dan fungsi dari lembaga-lembaga negara secara tegas dan komprehensif, tidak rancu dan tumpang tindih. Pemikiran ini ingin menegaskan dukungan terhadap konsepsi tentang netralitas birokrasi yang hanya bisa diwujudkan dalam sistem administrasi negara yang jelas dasar hukumnya dimana kedudukan birokrasi menjadi lebih independen dan harus tunduk terhadap amanah Undang-Undang.
3. Sebagaimana diketahui bahwa kendala utama adalah terletak pada kekhawatiran birokrat (bureaucratic anxiety) terhadap masa depan jenjang karir dan jabatannya. Akibatnya pejabat birokrasi banyak yang melakukan upaya-upaya di luar standar etika dan profesional demi mendapatkan posisi jabatan yang tinggi dalam birokrasi. Hal ini dapat ditanggulangi dengan diterapkannya prinsip meritokrasi birokrasi secara konsekwen, pembinaan dan manajemen kepegawaian dengan standar kinerja PNS yang jelas, transparan, proporsional, dan kompetitif.
4. Lebih spesifik diperlukan juga amandemen terhadap Undang-Undang yang mengatur tentang Pegawai Negeri Sipil khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kewenangan pengelolaan di bidang kepegawaian (rekruitment, placement, promotions, dan lain-lain) idealnya dilakukan oleh suatu lembaga profesional dan independen dengan proses yang transparan sehingga netralitas dan profesionalisme PNS dapat lebih dijamin. Salah satu yang perlu diatur secara lebih tegas adalah tentang masa jabatan pejabat struktural dalam jangka waktu yang tetap sehingga dapat menghindarkan perasaan 'tidak aman' bagi seorang pejabat birokrasi yang bekerja dalam konteks dinamika politik lokal yang sangat intens.
5. Langkah selanjutnya yang diperlukan adalah melakukan penguatan internal (internal capacity building) yang meliputi peningkatan kapasitas kelembagaan, profesionalisme aparatur birokrasi, khususnya dengan menanamkan pemahaman akan semangat "democratic responsibility" sebagai bagian dari tugas administrator dalam sistem pemerintahan dan negara demokrasi.
6. Adapun untuk membangun sistem akuntabilitas politik yang benar-benar efektif, diperlukan usaha pembangunan kapasitas masyarakat di tingkat lokal (local capacity building) melalui program-program akselerasi pemberdayaan institusi lokal--dengan mekanisme bottom up-- sehingga mampu menjadi instrumen demokrasi dan kontrol sosial yang lebih arif. Namun, mengingat struktur masyarakat lokal yang heterogen dengan tingkat diferensiasi status sosial ekonomi masyarakat yang relatif tinggi, maka dalam tahap ini, masih diperlukan peran (intervensi) birokrasi sebagai fasilitator dan katalisator sesuai bidang tugasnya secara profesional dan mandiri. Bilamana perlu di daerah-daerah dengan tingkat sosial ekonomi yang relatif rendah seperti di Kabupaten Bima diperlukan inisiasi dari atas (Top down strategy). Peran ini hanya bisa dilakukan manakala pemahaman dan semangat democratic responsibility sudah terbangun dan menjadi bagian inheren dari moral dan etika administrasi publik.


Dari sejumlah rekomendasi di atas, diharapkan akan terbentuk sistem akuntabilitas birokrasi yang berjalan seimbang, yakni akuntabilitas internal melalui kontrol birokratik dan profesional dengan akuntabilitas eksternal melalui kontrol legal dan politik. Dengan bekerjanya sistem akuntabilitas internal dan eksternal yang seimbang, maka birokrasi akan semakin bijak dalam menggunakan ruang diskresi sesuai parameter-parameter yang memenuhi nilai-nilai normatif dan dapat diterima (acceptable).

(Disertasi, Universitas Gajah Mada, 2009) Selengkapnya...
Diposkan oleh SJW Astuti di 05.43 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz

"Eco-Pesantren"

Oleh Erni R. Ernawan
Paradigma pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan dewasa ini mengalami pergeseran posisi yang sangat signifikan dengan harapan, tuntutan, dan keadaan. Hal itu dapat dilihat dari penempatan prioritas dan porsi lingkungan hidup dalam isu global di papan atas problematika dunia. Dimensi lingkungan akhir-akhir ini mengalami sorotan yang tajam dari berbagai media, akademisi, praktisi lingkungan mulai tingkat internasional, nasional, maupun lokal. Ini menjadi isu yang mutakhir dan banyak diperbincangkan oleh berbagai pihak, utamanya para pemerhati lingkungan.
Kebijakan yang sedang populer dan menjadi agenda kebijakan pemerintah, utamanya Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Kementerian Agama serta didukung berbagai kementerian lainnya adalah mengajak warga pondok pesantren mengaplikasikan proses belajar-mengajar dan berpartisipasi melestarikan lingkungan hidup yang islami di pondok pesantren dan sekitarnya berdasarkan Alquran dan Assunnah. Program eco-pesantren sebagai model pendidikan lingkungan hidup di lingkungan pondok pesantren ternyata menarik perhatian para ulama, ilmuan, pimpinan organisasi Muslim di berbagai negara. Di Indonesia, program eco-pesantren digagas Kementerian Lingkungan Hidup dan dilaksanakan bersama-sama dengan Kementerian Agama diluncurkan pada tanggal 5 dan 6 Maret 2008 di Asrama Haji Pondok Gede. Perkembangannya memang sangat pesat sehingga pondok pesantren di sejumlah daerah telah menerapkan program ini. Eco-pesantren memang salah satu bentuk pendidikan lingkungan hidup khas Indonesia berbasis pondok pesantren sejak diperkenalkan pertama kali pada pertemuan "Muslim Seven Year Action Plan for Climate Change" di Istambul, Turki, awal Juni 2009
Secara etimologi bahasa kata eco-pesantren berasal dari kata eco yang diambil dari kata (ecology) yang erat kaitannya dengan lingkungan hidup sedangkan pesantren adalah institusi pendidikan khas di Indonesia yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman.
Sesuai dengan Direktori Departemen Agama bahwa 17.000 pondok pesantren sangat potensial untuk menjadi mitra dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pondok pesantren mengakar di masyarakat, ada kiai, wali santri/pengasuh, santri yang menjadi panutan masyarakat.
Guru Besar Agama dari Bucknel University, Mary Evlyn Tucker mengatakan, "Sains dan teknologi memang diperlukan, tetapi itu saja tidak cukup. Kita memerlukan agama untuk terlibat dalam mencari solusi keluar dari krisis lingkungan. Mengingat gejala yang dilakukan manusia terhadap alam, kita tiba pada fase kepunahan keenam, yaitu manusia berperan dalam ikut menghancurkan dan mengubur peradabannya di Planet Bumi dengan kekuasaan dan arogansi yang mereka lakukan. Umat manusia dan peradabannya, terancam punah pula". Menurut dia, agama mempunyai lima resep dasar untuk menyelamatkan lingkungan (5 R). Pertama, referensi atau keyakinan yang dapat diperoleh dari teks (kitab-kitab suci) dan kepercayaan yang mereka miliki masing-masing. Kedua, respek, penghargaan kepada semua makhluk hidup yang diajarkan oleh agama sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, restrain, kemampuan untuk mengelola dan mengontrol sesuatu supaya penggunaannya tidak mubazir. Keempat, redistribution, kemampuan untuk menyebarkan kekayaan, kegembiraan, dan kebersamaan melalui langkah dermawan, misalnya zakat dan infak dalam Islam. Kelima, responsibility, sikap bertanggung jawab dalam merawat kondisi lingkungan dan alam.
Pendapat tersebut sangat sejalan dengan konsep eco-pesantren. Oleh karena itulah, melalui Program eco-pesantren ini diharapkan selain dapat menggugah kesadaran umat Muslim untuk lebih memahami dan peduli terhadap kondisi lingkungannya, juga dapat melakukan penggalian dan pengkajian secara komprehensif tentang konsep Islam yang berkaitan dengan lingkungan serta implementasi dan revitalisasinya. Dengan demikian, menjadikan pondok pesantren sebagai pusat pembelajaran lingkungan bagi masyarakat.
Prinsip-prinsip etika lingkungan, yaitu sikap hormat terhadap alam, tanggung jawab, solidaritas kosmis, kasih sayang dan kepedulian, no harm, hidup sederhana dan selaras dengan alam, keadilan, demokrasi, integritas moral. Sementara norma dasar program eco-pesantren meliputi kemaslahatan, kebersamaan, keterbukaan, kesetaraan, kejujuran, keadilan, kelestarian lingkungan. Tampak jelas ada hubungan antara prinsip-prinsip etika lingkungan dengan norma dasar program eco-pesantren.
Pesantren adalah gambaran riil simpul kekuatan umat Islam di Indonesia. Pendekatannya diharapkan dapat menjadi salah satu penjuru kegiatan ramah lingkungan. Eco-pesantren menjadikan pesantren sebagai simpul penyadaran hidup berwawasan lingkungan di tengah masyarakat.
Prinsip-prinsip etika lingkungan dan norma dasar program eco-pesantren perlu diupayakan dan diimplementasikan dalam kehidupan manusia. Prinsip-prinsip etika lingkungan mudah diaplikasikan di pesantren karena membudayakan etika lingkungan itu harus top down, sehingga kepemimpinan dari pimpinan pesantren dapat dijadikan panutan dalam memelihara lingkungan.
Begitu pentingnya kelestarian alam hingga banyak disebutkan dalam Alquran membuktikan bahwa sebenarnya ada ikatan spiritual yang sangat kuat umat Muslim dengan konsepsi alam yang diciptakan Allah SWT. Subhanallah!!!***
Penulis, pemerhati lingkungan.
Opini Pikiran Rakyat 7 Januari 2011
Selengkapnya...

Moralitas Pesantren

Istilah moral berasal dari bahasa latin “mos” (moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, pengaturan nilai-nilai atau tatacara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melaksanakan peraturan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Seseorang dikatakan bermoral apabila perilakunya sesuai dengan nilai-nilai moral yang menjunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Kirschenbaum dalam uraiannya mengatakan bahwa nilai (values) banyak membicarakan apa yang disukai dan diinginkan, sedangkan moral lebih banyak berbicara tentang benar dan salah. Sedangkan Hurlock seorang tokoh moralis berpendapat bahwa yang disebut sebagai perilaku moral (moral behavior) adalah perilaku yang sesuai dengan kode moral dari kelompok sosial. Perilaku ini dikontrol oleh konsep-konsep moral yaitu aturan-aturan perilaku bagi anggota suatu budaya yang menjadi tradisi dan pola perilaku yang diharapkan dari anggota kelompok. Oleh Hurlock, perilaku yang disebut juga “true morality" tidak hanya sesuai dengan standar sosial, tetapi juga dilakukan dengan suka rela.
Disisi lain moral menurut filsafat Durkheim merupakan fakta sosial yang khas dan dalam semua bentuknya tidak dapat hidup kecuali dalam masyarakat, dalam arti pasti hidup dalam konteks sosial. Moral memiliki tiga unsur yaitu disiplin, keterikatan pada kelompok, dan otonomi kehendak manusia. Dalam kaitan ketiga unsur tersebut, tekanan terletak pada masyarakat dan daya pikir manusia.
Orang yang memiliki kecerdasan moral adalah yang mampu merenungkan mana yang benar dan mana yang salah dengan menggunakan sumber emosional maupun intelektual fikiran manusia. Seseorang yang memiliki kecerdasan moral akan berusaha memutuskan apa yang seharusnya dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, mengapa, dan bagaimana harus bergaul dengan orang lain, serta atas alasan keseluruhan moral, relijius, spiritual, dan praktis apa saja.
Moral merupakan suatu standar baik buruk, benar salah, dan perlu tidaknya suatu perbuatan itu dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma yang dianut dan dijunjung tinggi oleh suatu kelompok masyarakat. Pada nilai-nilai moral harus terkandung unsur keadilan dan konsep moral seperti hak, kewajiban, kesejahteraan, kebebasan, dan aturan dalam masyarakat masyarakat.

Moral di Pesantren
Sebagaimana organisasi yang lain pesantren juga merupakan organisasi yang memiliki tujuan. Tujuan tersebut akan dapat tercapai apabila dilakukan dengan langkah-langkah manajemen. Pesantren bebas menentukan langkah langkah tersendiri agar tujuannya tercapai dengan baik. Secara umum proses manajemaen atau pengelalolaan pesantren mencakup empat hal yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan.
Tahap perencanaan dilakukan dengan menentukan kerangka yang diperlukan untuk pencapaian tujuan tertentu, hal ini dilakukan dengan mengkaji kekuatan dan kelemahan organissasi, menentukan kesempatan dan ancaman, menentukan setrategi, kebijakan, taktik dan program, semua itu dilakukan berdasarkan proses pengambilan keputusan secara ilmiah.

Sebagai suatu lembaga pendidikan, sudah pasti pesantren mempunyai program yang sistematik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu santrinya agar mampu mengembangkan potensinya dengan baik yang menyangkut aspek moral spiritual, intelektual, emosional, maupun sosial. Pendidikan pesantren selayaknya mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan kepribadian santri , baik dalam cara berfikir, bersikap, maupun berperilaku, karena lembaga pendidikan merupakan subtansi dari keluarga dan pengajar sebagai subtansi dari orang tua.
Oleh karena itu pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan harus melakukan langkah pengelolaan sesuai prinsip-prinsip terhadap peran, tugas pokok, dan fungsi masing-masing komponen pesantren. Segala kebijakan pesantren diambil melalui tahap perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan yang baik. Apabila hal itu dapat dilakukan, maka tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dan ingin dicapai oleh seluruh warga pesantren dapat terealisir. Sehingga terbentuklah masyarakat santri yang berakhlakul karimah sebgamana di cita-citakan para peletak batu pertama sebuah lembaga bernama pesantren.
Sumber: Koran Nurul Ummah di 06.51
Label: opini Selengkapnya...

Revitalisasi Pendidikan Pondok Pesantren (Agenda Strategis Menjawab Tantangan Globalisasi)

Pondok Pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional, keberadaannya sebelum republik ini bediri sangat diperhitungkan oleh bangsa-bangsa yang pernah menjajah Indonesia. Pada masa kolonialisme lahirlah dari Pondok Pesantren tokoh-tokoh nasional yang tangguh, mereka menjadi pelopor pergerakan kemerdekaan Indonesia, seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Zaenal Mustopa dll. Maka dapat diakatakan bahwa masa itu Pondok Pesantren memberikan kontribusi yang besar bagi terbentunya republik ini. Bila dianalisis lebih jauh kenapa dari lembaga pendidikan yang sangat sederhana muncul tokoh-tokoh nasional yang mampu menggerakan rakyat untuk melawan penjajah, jawabannya karena figur Kiayi sebagai Pimpinan pondok pesantren sangat dihormati dan disegani, baik oleh komunitas pesantren (santri) maupun masyarakat sekitar Pondok, mereka meyakin bahwa apa yang diucapkan kiayi adalah wahyu Tuhan yang mengandung nilai-nilai kebenaran hakiki ( Ilahiyyah). Pada masa pasca kemerdekaan, Pondok Pesantren perkembangannya mengalami pasang surut dalam mengemban misinya sebagai pencetak generasi Islam yang mumpuni dalam bidang Agama (tafaqquh fiddien). Pada masa Bangsa ini mengalami priode transisi antara tahun 1950 – 1965 Pondok Pesantren mengalami fase stagnasi, dimana Kiayi yang disimbolkan sebagai figur yang ditokohkan oleh seluruh elemen masyarakat Islam, terjebak pada percaturan politik praktis, yang ditandai dengan bermunculannya partai politik peserta PEMILU pertama tahun 1955, contohnya dengan lahirnya Partai Politik NU yang mewaliki warga Nahdiyyin, dimana Partai Politik NU bisa dibilang merefresentasikan dunia Pondok Pesantren karena sebagian besar pengurus dari parpol tersebut adalah Kiayi yang mempunyai Pondok Pesantren.

Ada yang menarik untuk disimak dalam PEMILU Ke 1 ini, partai Politik yang berkompetesi pada saat itu, khususnya Parpol yang memakai syimbol Agama terjadi dua parpol besar yang kedua-duanya mempunyai pendukung panatik, pertama Partai Politik NU yang mewakili masyarakat pedesaan dan tradisionalis dan yang keduanya Partai Masyumi yang merefresentasikan masyarakat perkotaan dan modern. Kedua-duanya bertarung dengan partai nasionalis dan komunis. Dan patut disayangkan partai partai Islam kalah dalam pesta demokrasi tersebut karena suara kaum muslimin terpecah-pecah sehingga yang diuntungkan adalah partai nasionalis yang dipelopori oleh Soekarno (presiden pertama RI).

Di namika pendidikan Pondok Pesantren pada periodesasi kepemimpinan Orde Baru (Soeharto), seakan tenggelam tak terdengar lagi eksistensinya karena seiring dengan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada kepentingan ummat Islam, rezim lebih pro pada segelintir orang yang punya duit (konglomerat) untuk diberikan akses lebih luas dalam bidang dunia usaha. Bahkan kalangan Islam dicurigai sebagai masyarakat yang bisa meruntuhkan pemerintahan, sehingga dibuatlah lembaga-lembaga seperti Pangkokamtib dibawah Letjen. Soedomo yang tujuannya memata-matai aktivis-aktivis Islam termasuk dari kalangan dunia Pondok Pesantren, seperti istilah Komando Jihad (KOMJI) tujuannya memancing kelompok Islam garis keras untuk bermunculan dan akhirnya mereka ditangkap dan dibui tanpa proses peradilan yang jelas. Potret masyarakat pada waktu itu benar-benar termarjinalisasikan pada percatura politik nasional.

Seserca harapan timbul untuk nasib umat Islam dalam kancah pergaulan nasional setelah terjadinya era reformasi, Presiden Soeharto digulingkan dari tambuk kekuasaan oleh seluruh elemen masyarakat yang dimotori Mahasiswa dan kaum akademisi. Dunia pesantren mulai berbenah diri lagi dan mendapatkan tempat lagi dikalangan pergaulan nasional. Salah satunya adalah pendidikan Pondok Pesantren diakui oleh pemerintah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dimana dunia pesantren tidak dipandang lagi sebagai lembaga pendidikan tradisional yang illegal, namun pesantren diakui oleh pemerintah dan ada kesetaraan dalam hak dan kewajibannya dengan lembaga pendidikan formal. Bahkan di Departemen Agama ada Direktorat yang menangani langsung lembaga Pondok Pesantren yaitu Direktorat Diniyah dan Pondok Pesantren.

Peluang tersebut semestinya harus dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh Pondok Pesantren, untuk meningkatkan kembali peranannya dalam sistem pendidikan nasional. Namun yang terjadi peluang tersebut belum memberikan respon pesitif kearah peningkatan kualitas pendidkannya, hal ini dapat dirasakan seberapa besar masyarakat yang ingin menitipkan anaknya untuk dididik dilembaga pendidikan pondok pesantren tentunya kalau dibandingkan dengan mereka yang sekolah disekolah-sekolah umum masih ada ketimpangan yang cukup besar, mungkin hanya 10 % nya saja anak-anak Indonesia yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren dan selebihnya mereka mengenyam pendidikan disekolah-sekolah umum.

Kalau kita berfikir lebih jernih dan profesional, apa yang melatar belakangi sehingga terjadi ketimpangan yang mencolok antara lembaga pendidikan pondok pesantren dengan lembaga umum, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Maka tentunya pesantren harus merevitalisasi kembali sistem pendidikannya sehingga lambat laun kepercayaan masyarakat bisa tumbuh kembali.

Revitalisasi Pendidikan Pondok Pesantren

Perjalanan Pondok Pesantren mengalami perkembangan yang diwarnai dinamika kesinambungan dan perubahan. Pada masa sebelum kemerdekaaan, boleh dibilang pesantren mengalami periode keemasan, hal itu ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, namun dimulai sejak rezim Soeharto sampai sekarang, eksistensi Pesantren dalam kancah pergaulan nasional mengalami periode stagnasi dan minim prodeuktifitas yang unggul. Padahal kalau dibandingkan eksistensi pondok pesantren dulu dengan era sekarang dilihat dari perannya sangat dibutuhkan sekarang, mengingat era globalisasi mengancam tatanan norma dan etika dimasyarakat, budaya ketimuran yang dulu menjadi simbol kepribadian bangsa Indonesia , kini mulai terkikis akibat dari derasnya budaya barat masuk pada setiap sendi kehiupan masyarakat. Norma dan etika hanyalah simbol tidak dimanifestasikan dalam kehidupan nyata, hedonisme, individualistik, materialistik kini yang menjadi trend ditengah-tengah masyarakat.

Mengangkat kembali peranan pendidikan pesantren ditengah-tengah masyarakat modern, maka dunia pesantren harus merevitalisasi kembali pola pendidikannya tanpa merubah karakteristik dari corak pendidikannya itu sendiri. Dalam hal ini perlu membuat langkah-langkah startegis sebagai berikut:

Pertama, penguatan nilai-nilai spiritulitas, kecenderungan spriritulistik dunia pesantren yang tinggi dapat dikembangkan menjadi dinamis, spiritual ini menampilkan lembaga pendidikan Islam yang berkemajuan, yaitu kemajuan yang berorientasi pada penguatan nilai-nilai agama dan ahlak dan penyeimbang antara kesalehan individu dan kesalehan sosial, karakter untuk menampilkan ciri khas semacam itu akan memacu bahwa pesantren sebagai pendidikan kader pilihan (khaeru Ummah).

Kedua, merevitalisasi kembali peran dan fungsi Kiayi. Perbedaan dunia pesantren dengan pendidikan formal lainnya adalah figur pengelolanya, disekolah dipimpin oleh Kepala Sekolah yang harus menjalankan kepemimpinannya atas dasar keputusan musyawarah dan atas dasar kepemimpinan kolektif koligea, namun dipesantren seluruh keputusan dan kepemimpinan hanya dijalankan oleh seorang Kiayi, gaya feodalis dalam hal ini berlaku di pesantren, program kebijakan semuanya diputuskan oleh Kiayi dan seluruh unsur dilikungan pondok wajib mengikutinya, apakan program itu dibarengi visi dan misi yang jelas atau sebaliknya. Penulis dalam hal ini akan memandang maslahat dan mafsadat nya gaya kepemimpinan semacam itu, maslahatnya adalah:
1. Kewibawaan pimpinan tidak akan lutur
2. Program tidak perlu lama-lama harus di sosialisasikan, namun praktis dalam waktu singkat bisa dijalankan, karena ada doktrin yang dibangun dan sangat diyakini oleh wagra pesantren, menyalahi perintah Kiayi takut kualat alias akan tertimpa hal-hal yang tidak diinginkan
3. Lingkungan pendidikan akan selalu kondusif
4. Sub-sub yang membantu pendidikan pesantern akan terarah disatu komando kiayi

Adapun mafsadatnya dari gaya kepemimpinan Kiayi semacam itu adalah:
1. Demokratisasi di pesantren akan mengalami kemandegan
2. Suksesi kepemimpinan akan memakan waktu yang lama
3. Pesantren akan ekslusif tidak inklusif
4. Para stap yang membantu kiayi tidak punya program strategis untuk kemajuan pondok

Ketiga, dinamisasi antara perkembangan ilmu pengetahuan agama dan umum. Di sebagian pondok pesantren (tradisional) masih ada dikotomi antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum. justru ini akan memperlemah peran dunia pesantren dalam percaturan global dan kalah bersaing dengan sekolah-sekolah formal. Hal ini diakibatkan bahwa pendidikan pondok pesantren lebih menitik beratkan pada pengetahuan agama dan mengesampingkan pendidikan umum, sebagian pesantren menganggap bahwa pendidikan umum sebagai bagian dari produk orang kafir. Apabila stigmatisasi ini masih berlaku dipesantren maka akan kontradikitif dengan apa yang terjadi dimasyarakat, mereka lebih berorientasi pada pengetahuan umum untuk mendapatkan jatah lapangan kerja dikemudian hari dari pada mendalami pendidikan agama yang katanya tidak punya masa depan yang jelas alias suram.

Keempat, peningkatan pelayanan pesantren pada masyarakat. Sinergitas pesantren sebagai lembaga yang eksis mendalami ilmu Agama (tafaqquh fiddien) dengan masyarakat sebagai objek yang memerlukan bimbingan dalam masalah keagamaan, harus benar-benar terjalin dengan baik. Pondok pesantren jangan menutup diri dari perkembangan dunia luar (ekslusif) tapi seharusnya membuka diri pada problematika keummatan (insklusif). Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: apakah tidak ada seseorang dari golongan kalian yang disiapkan untuk mendalami ilmu agama, sehingga ia menjadi pengingat (nazir) bagi kaumnya bilamana mereka pulang dari peperangan. Ayat tersebut sangat jelas memberikan gambaran bahwa pesantren harus bersinergi dengan masyarakat untuk mengayomi masalah-masalah keummatan.
Selengkapnya...

The need to strengthen bureaucracy in the use of discretionary space appropriately and accountably: Case in several Indonesian’s local government

28th International Congress
of Administrative Sciences IIAS Theme
Public Administration facing New Dynamics:
Constraints, Innovation and Sustainability
Proceedings

Bali, Nusa Dua
Indonesia - July 2010

Abstrack
Since the change of political system in Indonesia, local bureaucracy having much political pressure and in some ways it has not shown an increase in public services. Indeed, bureaucracy still remains be a political tool that neglect the need for bureaucratic professionalism and official’s competences. Whereas the professional bureaucracy should be able to use their discretion in order for the sake of smooth running of public services. Nevertheless, bureaucrats were still subject to limited discretionary spaces due to the intense of extra-bureaucratic interventions. Discretionary space abounded precisely with political interests rendering bureaucrats incapable of upholding normative paramters that should be guidance in performing their tasks.
Therefore, this paper is aimed to discusses the need to strengthen bureaucracy in the use of discretionary space appropriately and accountably. This study found that the exercise of bureaucratic discretions were extremely low. This could be observed from the varied interventions that ‘coerced’ bureaucracy to carry out their desires. Bureaucratic discretionary space abounded with political interests rendering bureaucrats incapable of upholding legal and normative parameters that should be guidance in practizing discretions.

Key words: Bureaucratic discretions, discretionary space, normative parameters, autonomy, democracy.


Introduction
Discussion about bureaucracy’s role and authority will not become an endless issue, especially when bureaucracy faced with demands to accommodate the values of pluralist-democracy on the one hand and the administrative-efficiency on the other side. In general view, bureaucracy is typically conceptualized as necessary for the effective administration of public programs, but as being legalistic and largely indifferent to the wishes and demands of individual citizens (Goodsell, 2004; Gay, 2000). But actually the relationship between bureaucracy and democracy is both paradoxical and complementary. The linkage between those two elements of governing is paradoxical primarily because an effective democracy may require an effective and well-functioning bureaucracy. Indeed, the emphasis on efficiency and the use of the market in public service delivery during the past several decades has demonstrated the extent to which the values of formalized bureaucracy may be important for a democracy to function well (Peters, 2008).
In democratic system, any public policy taken by the executive together with the legislature and then implemented by the bureaucracy must remain within the corridor of public interest (not interest groups / political parties and certain community groups). The real power in democratic system is actually the ability to shape public opinion and public policy. But there are consistently perform manipulation to gain advantages over support given to the politicians. Not only political officers but also the bureaucrats tend to have co-opted by certain political interests. Thus the domain of bureaucratic authority, including the space of bureaucratic discretion, will be the most vulnerable area that easily interfered by political interest and likely tend to ignore the values of social equity, whenever the bureaucratic professionalism have not be upheld yet.
This paper discusses the use of discretion space of bureaucracy, particularly in managing human resources in order to improve the local government bureaucracy’s performance. Since the change of political system and governance in Indonesia, local government bureaucracy having much political pressure and in some ways it has not shown an increase in public services. Indeed, bureaucracy still remains a tool of political parties that are always concerned with power and neglect the need for bureaucratic professionalism. Staffing decision is often based on political interests rather than on official’s competences. That’s why the bureaucratic reform have not succeeded in creating good governance and delivering better public services. Why discussing bureaucratic discretion is interesting? This because one of professionalism indicators is the ability to make decisions and act based on expert judgment. It means that bureaucrats are able to use their discretionary decisions appropriately and accountably.

What is bureaucratic discretion and discretionary space?

Bureaucratic discretion had no exact definition, despite the normatively clear-cut requirements of non-infringement of the prevailing laws and ethical norms. With the exception of urgencies and for the sake of greater public interests, discretion can be exercised even if it must contradict the existing formal rules or procedures. However, discretion should be exercised without having to disempowering the existing laws. As Davis (1969:4) says : “ A public officer has discretion wherever the effective limits on his power leave him free to make a choice among possible cource of actions and inactions “. Likewise, Chandler and Plano (1982: 108) define discretion as “... the freedom administrators have to make choices which determine how a policy will be implemented ”. Administrative discretion refers to the degree of latitude or flexibility exercised by public administrators when making decisions or conducting any agency business (Finkelstein and Boyd, 1998; Susan, 2002, Warren, 2003). More clearly, Cox III (2004) explained that discretion represents the judgment as to what activities in an agency are to receive priority. The common assumption is that, at any moment in time, administrative officials have a choice of what to do, and that the choice affects the agency and the public. The exercise of discretion presumes both the need for and the capacity to exercise judgment. Undoubtedly, discretion is not only necessary to job performance, but also it is virtually inherent in that job .
Those normative definitions can be interpreted differently and subjectively. In a legal point of view, discretion is not acceptable and considered as infringement since the prevailing rules do not allow any discretionary space. In this case, bureaucrat serves as executor without having right to make any decision, since everything has already been stipulated or regulated in those existing rules. However, in public administration perspective, discretion is desirable to bureaucrats in performing their tasks including decision-making in the domain of bureaucracy efficiently and effectively. In fact, in certain urgencies, bureaucrat can take action or make decision contradictory to rules. Accordingly, meaning and definition of bureaucratic discretion are highly varied depending on the adopted perspectives.
In the notion of discretions as the scope of legal power, the conception of discretion is nested in a general theory that is called the hierarchical and dynamic character of the law. Discretion fits into the ongoing process of norm-creation and norm-application, when Kelsen (1998) suggests that the higher norm governs “to different degree” the content of the lower norm. In his view, the higher level norm cannot determine every detail of the act that applies it. “there must always remain a range of discretion, some time wider, sometimes narrower, so that the higher level norm, in relation to the act applying it…, has simply the character of a frame to be filled in the way of the act”. Besides, Kelsen argues that discretion also encompasses those cases in which the indeterminacy of a legal norm is unintended, as when the applicable norm is ambiguous, such as the authority that is to apply the norm is confronted with various possible meanings. (Kelsen, 1998; Prechal & Roermund (eds), 2008). The range of discretion that allows bureaucrats to be able to make decisions based on their own professional judgment, in this paper stated as discretionary space.
In the present study, the adopted perspective was the one that stressed that bureaucratic discretion was something inherent in every task, authority and policy that was required in order to achieve the expected goals efficiently and effectively. Discretion refers to the ability of an administrator or bureaucrat to choose among alternatives and to decide how the policies of government should be implemented in specific instances (Rourke 1984, in Krause 1999). This device is important for successful policy making and is woven into the fabric of the Constitution as a means of diffusing both power and conflict among interests (Bryner 1987, in Krause 1999). Magnitude of discretion was to a great extent determined by definition of authority given to respective tasks and functions, so that the appropriateness of discretionary decisions was dependent on capability of the bureaucrats themselves in exercising discretionary spaces already inherent in their job description and authority.
In the era of local autonomy, bureaucrats should be more capable of exercising their discretionary spaces in increasing the quality of public services and accelerating local development outcomes (Dwiyanto, et al. 2003). Nevertheless, the contrary was the case. Generally, bureaucrats were still subject to limited discretionary spaces due to the intense of extra-bureaucratic interventions. Based on research findings in the areas of personnel management, it could be found that the exercise of bureaucratic discretionary spaces was extremely low. This low level of the use of discretionary space could be observed from the varied extra-bureaucratic interventions that ‘coerced’ bureaucrats to carry out their desires. Decision-making in bureaucratic domain remained to be colored by negotiation of the competing political and other interests. Bureaucratic discretionary space abounded precisely with political and individual interests rendering bureaucrats incapable of upholding principles of ethics, professionalism, expertise and public interests that should guidance in performing their tasks and functions.

Classification of Public Policy, Discretion and Their Bases of Consideration

Theoretically, types of bureaucratic or administrative discretion vary in accordance with the basic types of public policy. Interrelatedness of public-policy logic and types of discretion was necessary to be appreciated by bureaucrats to make sure that any policy would be executed properly and goals of the policy could be attained (Morgan, et al, 2002). However, there are inappropriateness exercise of discretions that could be reviewed from the adopted parameters and outcomes of a decision. In paper written by Morgan, et al (2002) mapped types of public policy that led to different types of bureaucratic discretion. Such typology of public policies that generate a characteristic of bureaucratic discretions was only one of models for facilitating assessment whether administrator or bureaucrat have exercised appropriate type of discretion in implementing such public policy. With regard to the existing law and regulations, as a basis of operational implementation, bureaucratic discretion must firstly based on the essence of public policy or legal aspect and then, secondly, must considering other aspects ( as seen on Table 1).
Table 1
Classification of types of Policy, Discretion and Their Bases of Consideration
Types of Policy Types of Discretion Considerations
Distributive policy Technical Legal, knowledge
Redistributive policy Political Legal, ethical, public interests, social equity
Regulatory policy Social planning Legal, ethical, professional
Self-regulatory policy Professional Legal, professional, knowledge
Source: Adapted from Morgan et al, (http://www.eli.pdx.edu/2002)


The present study sought to analyze the exercise of bureaucratic discretionary space in the policy areas of personnel management within the government bureaucracy. Personnel management or employee affairs in bureaucracy as one of the interesting issues in the era of local autonomy and democracy in Indonesia, since that areas has attracted many people and parties to take advantages, besides the demand for professionalism that still be a question in conducting better public services. This research was conducted in some regions in Indonesia which are the municipality of Surabaya, Regency of Situbondo and Bima.
The analysis is also emphasized on the most important aspects of exercising bureaucratic discretion whether it has compliance with the normative parameters that the discretion is really necessary, meeting the public interests, or conversely there has been indicated abuse of authority. Considering the conflicting views regarding the exercise of discretion, it is urgent to limit the exercise of discretion within certain bound of parameters. The purpose of these parameters is to place limits around what is considered acceptable or appropriate action on the part of bureaucratic discretion (Scott, 1995). The main parameters of discretion are: (1) the compliance with a wider legal provisions (Legal), as well as other normative parameters for the use of discretion space; (2) not in conflict with ethical values and morality (ethical), (2) put the wider public interest (citizen / public interest) as a priority, and (3) based on the principles of professionalism and knowledge, as illustrated in figure 1.














In contrast to the empirical and theoretical discourse that the use of bureaucratic discretion space should be limited, in this study however, suggests that the use of discretion space by the official bureaucracy is still low. In some cases observed in this study precisely showed lower capability of bureaucrats in exercising available discretionary spaces, so that decisions to be taken in order to implement any policy were frequently ineffective. In order to analyze those issues, this discussion covered the relational analysis between types of public policy, types of bureaucratic discretion and considerations underlying the exercise of discretionary spaces.
As Chandler and Plano (1982) argue that the laws, rules, and regulations passed by Congress must first be heeded. These give the administrator the limits within which he or she must work. Nevertheless, the legal consideration was not a ‘fixed price’, where legal system could not fully guides local government bureaucracy in executing affairs to which they had authorities. This was considering that laws and regulations were unlikely to be capable of regulating comprehensively the whole measures that would to be done by the government. This led to demand that governmental bureaucracy be awarded discretion to take measures on their own initiatives, especially in dealing with critical and urgent public issues. Appreciating the relationships between types of public policy, bureaucratic discretion, and motives of consideration underlying bureaucratic discretion would help us comprehend and assess to what extent an implementation of policy or an exercise of discretion was acceptable and done rightly.
Dilemma was frequently faced bureaucrats or administrative officials in running a certain policy. Therefore, bureaucrats were demanded to be able to filter and unite competing interests in order to achieve objectives of the policy. Considering the obscure definition of discretion, criteria of main indicators and parameters for appropriateness of discretion was a conformity with broader legal rules as well as additional normative deliberations that had become parameters of the exercise of discretionary spaces: non-infringement of the ethical and moral values, broader public interests, principle of professionalism, and knowledge as illustrated in Figure 1.
Decisions in technical and operational levels belonged to bureaucratic authority as an executor of the policies formulated in the political level and it was in the execution of this authority that bureaucracy was awarded discretion. In determining operational measures that should be carried out in order for the policies to run effectively according to the stated goals, bureaucracy was demanded to strive on the basis of professionalism and upheld ethical values of state administration such as prioritizing public interests, transparent, fair, and empathetic (Frederickson, 1997: 162).

Considerations Underlying Decision-Making at Bureaucratic Level : Some Cases in Personnel Decisions

Some cases of limited exercise of discretionary spaces indicated that bureaucrats were not fully capable in making decisions independently and emphasized professionalism and competency in their domains of authority. This present study would identify what are the empirical considerations underlie discretionary decisions and whether those considerations satisfied acceptable discretion parameters or not.
The prevailing public policy that regulates public personnel management system, especially in structural official employment, was stated very clearly, including aspects to be taken into account by executive officials of local employee affairs where factors of seniority, age, educational background and positional training, and experience should be heeded. Additional stipulations that were binding and should be taken into account by executive officials of local employee affairs were stated clearly as follows:
“Civil Servants who shall be or have been at structural positions are obliged to attend and pass leadership education and training according to competencies stated for the positions (Subsection 1 of Section 7 of Government Regulation No. 13 of 2002).
And
“Civil Servant at structural position can be appointed to one level higher of structural position if he or she has already been and/or is at his or her structural position for 2 (two) years except for appointment to structural position at presidential authority (Section 7a of Government Regulation No. 13 of 2002).

Regents or executive officials need to take into account inputs by regency/municipal Board of Position and Rank Considerations Team, headed by Local Secretary, for appointment, transfer, and dismissal within and out of structural positions of echelons II and lower. In the execution of their tasks, ‘Regency board of position and rank considerations’ team must certainly comply with stipulation as stated in the Government Regulation. In the event of resorting to decision making beyond the stated criteria, the teams should refer to normatively acceptable parameters (see Figures 1). In practice, however, these personnel - management decisions were considerably motivated by considerations beyond those acceptable criteria.
The more detailed a policy, the more limited the discretionary space allowing the officials to make decisions based on their own view and considerations. Decisions to be made had to satisfy formal criteria according to the prevailing regulations. In fact, there were leaving very limited discretionary spaces in executing policies because all of its aspects had been stated clearly and in detail. This was also the case with local personnel-management policies, which substantively provided only a limited discretion. It followed that the executive officials of local employee affairs and Regency board of position and rank considerations team must comply with those stated requirements thoroughly.
In the section 5 of Government Regulation No. 100 of 2000, it is cited several additional requirements: Civil Servants who are appointed in the structural positions has the stated qualifications and education levels, all components of performance assessment is well worth at least within 2 (two) last years, and have to possess the required positional competencies. Based on this regulation, Regency board of position and rank considerations team in the bureaucracy must have and exercise discretion based on professional considerations in making personnel decisions especially the appointment of structural positions.
Nonetheless, as it is known, that strategic role of civil servants in the execution of all governmental policies related to public interests and having direct access to sufficiently broader community, has rendered bureaucracy highly susceptible influenced by and become political powerful instrument. Indeed, in the era of local democracy, the intensity of political intervention over local government officials (bureaucrats) is getting higher. Those interventions were mainly occurred considerably in decisions of recruitment, promotion, and appointment of employees that were dominated by political interests, conceptually infringing principle of professionalism of public-sector human resource management.
There were indications implying that bureaucracy in the era of local autonomy was still inherited prior governmental culture, namely neo-patrimonial bureaucratic culture where power and influence were obtained and maintained by exchanging positions, material interests or organizational prestige with political supports and loyalty (Sobari and Faturohman, 2002: 120). In other words, there was a pattern of transactional relation. The more loyal bureaucrat, the closer was he or she to a higher position, facilities and prestige. It followed that individual loyalty departed from organizational orientation to the ruling individuals or political elites. Subsequently, this condition led to a democratic life that was no longer neutral and increasingly abandoning people’s interests due to constant orientation to private individual profits that could only be obtained by means of endorsement for and loyalty to their political superiors. In other words, bureaucracy has become a ‘stooge’ of practical political interests.
In the Old Order era (under Soekarno’s administration, 1959-1966), the many political parties having intense accesses to bureaucracy, especially the three components of Nationalists, Religionists, and Communists, indicated domination of practical political interests over bureaucracy. While in the New Order (under Soeharto’s administration, 1966-1998), bureaucracy became an “apparatus” of the dominant social and political force of the ruling political party. In both previous periods, bureaucratic cultures were considerably influenced by patronization values. This was the case with the current reformation era in Indonesia, where practical political interests championed by a variety of political parties mutually competed for bureaucratic supports. This condition was similar to the era of Old Order. In this democratic system and local autonomy (since 1998), bureaucracy was increasingly co-opted and intervened by political parties preparing for the elective victory of their candidate for the local leaders (Thoha, 2002). Subjective interests of those parties were growing intense to dominate and impede the neutrality of bureaucracy.
The political intervention over the domain of bureaucratic authority, especially in the public personnel management system regarding recruitment, promotion and mutation policies, was an indication of Jacksonians or spoils system. There was the policy of placing political supporters into appointed offices. Many Jacksonians held the view that rotating political appointees in and out of office was not only the right but also the duty of winners in political contests (Wikipedia, the free encyclopedia, 2010). Using the political powers, political parties pressure the bureaucratic officials in staffing decisions that should be the domain of bureaucrat’s authority, as set out in the existing regulation. The intense of practical political interests could be seen in personnel-management cases in local government of Surabaya identified in this study.
Based on the three cases as shown in table 2, it could be determined that discretion exercised by Municipal Secretaries (M. Yasin and Sukamto Hadi) along with their Regency board of position and rank considerations team, that made decisions according to their capacities subsequently to be proposed to Mayor as the executive official of local employee affairs, apparently was not based on main criteria of discretion, namely the prevailing legal rules and other normative considerations, such as professionalism and competence. As it has been known, in the period of Municipal Secretary M. Yasin, decisions on the officials rotations were political-interests-ridden endorsing Mayor Sunarto. Municipal Secretary M. Yasin exercised his discretion to appoint several village chief (lurah) and sub-district heads and other structural officials based on purely political considerations, without taking into account the prevailing rules and human resources’ competence. With regard to decisions made by Municipal Secretary Sukamto Hadi, despite fulfillment of administrative rules, it ignored principles of employee affairs that should be brought forward in order to develop a bureaucratic professionalism. Therefore, those decisions were classified as unacceptable or less acceptable discretion. On the other hand, the decision made by Municipal Secretary Alisjahbana to dismiss several administratively unqualified officials was a form of discretion that actually satisfied the prevailing rules. This discretionary decision made by Alisjahbana was based more on legal considerations. Therefore, this decision could be classified as acceptable discretion.
Table 2
Type of Policy, Type of Discretion, and Considerations Involved in Personnel Decision-Making: Case of Municipality of Surabaya

Type of Policy Type/ Extent of Discretion Normative Considera tions Decisions to be Made (Discretion) Real Considera tions Explanation
Govt. Reg. No. 100 of 2000/ Regulatory policy Social planning/ limited Legal, ethical, professional Promotion of officials in the era of Municipal Secretary M. Yasin Purely political Normatively unaccepta ble
Arrangement and dismissal of officials in the period of Municipal Secretary Alisjahbana Legal and professional Normatively acceptable
Retirement prolongation of officials in the period of Municipal Secretary Sukamto Hadi Legal but tended to be political Normatively unaccepta ble
Source: Woro, Astuti, 2009.

In addition to analysis of specific cases identified in those three periods of municipal secretaries and evidence of respondents’ opinions, it could be said that considerations involved in personnel decision-making were full of political interests in order to safeguard policies of Mayor and Local Legislative Board. Based on the survey result, the majority of respondents (51%) thought that decisions on employee affairs were motivated more by political motives and ignored principle of professionalism.
Similarly, this was the case with local government of Situbondo and Bima Regency. Many decisions on employee affairs that took into account by Regency board of position and rank considerations team were most apparently not based on both legal and normative parameters. The identified cases indicated a misuse of discretion space so that decisions being made were unacceptable or less acceptable. Decisions by the Regency secretary and Regency board of position and rank considerations team to be proposed to the Regent were not compliant with the prevailing regulations and not be based on ethics, professionalism and the real employee demands considerations, but were based more on the interest of “re-compensatory” politics.
With regard to prolongation of retirement, as regulated in Government Regulation No. 32 of 1979 on Dismissal of Civil Servants and Decree of National Board of Employee Affairs No. 13 of 2002, there was certainly a possibility of making policy of prolongation of retirement period for Civil Servants. The maximum retirement age for Civil Servants was 56 years old and those who were at structural positions of echelon II could prolong that maximum age up to 60 years old. Based on that regulation as well, prolongation of maximum retirement age for Civil Servants who were at structural positions of echelons I and II must be carried out selectively by taking aspects of competence, cadre formation and health into considerations. However, decisions made by executive official of local employee affairs, Regency secretary and Regency board of position and rank considerations in Regency of Situbondo were not based on the stated consideration of the need for heeding factors of competence and cadre formation. The intense of political motives in the decision of retirement prolongation made in the bureaucratic level of Situbondo Regency was confirmed by rate of respondent responses of 81%, whereas 12% indicated exercise of competence-related consideration and 6% stated that retirement prolongation was carried out due to the absence of replacement officials.
According to Mladenka’s hipothesis that in implementing distributive policies such as public service policies, it is often to be manipulated to influence the discretionary decisions of bureaucrats for the sake of practical politics that does not really represent the public interest, as Mladenka (1980) said about the politics of urban politics as follows:
"... urban services are political sources that can be manipulated, redistributed, and withdrawn in the scramble for electoral advantage. Loyal wards are rewarded with superior services. Major service decisions are made by the machines, handed down to the bureaucracy, and implemented in accordance with the scheme that seeks to wring maximum political advantage from the distribution of finite service resource".

These finding indicates that in implementing regulatory policies such as public personnel policies also tend to intervened by the political authorities. Politicians offer the advantages to bureaucrats so long as they provide political support. There are exchanges between the support of bureaucrats against politicians with better positions in the bureaucracy.
Based on the analysis of factors underlying those personnel decisions, it could be inferred that the available bureaucratic discretionary spaces were not exercised properly with the result that the resultant decisions were normatively unacceptable or less acceptable. In fact, personnel management was one of critical factors in the efforts of bureaucratic reform. Empirically, however, the biggest obstacle of bureaucratic reform was precisely in the area of employee affairs. Considering the appointment of officials that did not take considerations of professionalism, knowledge, and principles of good governance into account, it could be confirmed that those officials, in the future, would not be capable of carrying out measures of improvement in their capacities as structural officials that were supposed to take actions dauntlessly and professionally.
Some considerations underlying personnel decision-making could be classified as follows: (1) Political considerations, meaning that decisions to be made in order to influence political affiliation of employees and/or officials and their families; (2) Power- and position-related considerations, meaning that decisions to be made in a nepotistic manner under pressures or clouts of higher positional power; (3) Individual considerations, meaning that decisions to be made due to factor of individual proximity beyond factors of both authority hierarchy and political reasons.

Table 3
Type of Policy, Type of Discretion, and Considerations Involved in Personnel Decision-Making: Case of Regency of Situbondo
Policy/Type Type/Extent of Discretion Normative Considerations Decisions to be Made (Discretion) Real Considerations Explanation
Govt. Reg. No. 100 of 2000 and Govt. Reg. No. 13 of 2002/ Regulatory policy Social planning/ limited Legal, ethical, professional Appointment of sub-district heads under PKB pressure political Normatively unacceptable
Appointment of Heads of Service who did not satisfy criteria of administration and competence Political Normatively unacceptable
Govt. Reg. No. 32 of 1979 / Regulatory policy Idem Idem Prolongation of retirement period of the Director of Local General Hospital Political Normatively less acceptable
Govt. Reg. No. 97 of 2000 on Formation of Civil Servants/ Regulatory policy Idem Idem Recruitment of officials’ sons or daughters inconsistent with educational background Compliance with superior Normatively unacceptable
Source: Astuti,Woro, 2009.

Discretionary spaces available based on government regulations were not exercised properly. Informal systems prevailing in respective local governments that were invariably colored by interests mutually competing for interventions to bureaucratic neutrality in the management of employee affairs indicated that bureaucratic discretion in the era of local autonomy was currently low.
Results of the present research indicated an objective condition of lower capability on the part of bureaucracy of exercising its discretion according to normatively acceptable parameters: legal, ethical, professional, knowledge, and public interests. In general, the available discretionary spaces was exercised more for “granting” access to other considerations beyond those normative ones, resulting in less acceptable decisions. Decisions and measures to be made and taken in bureaucratic domain were not invariably safeguarded in order to consistently be based on legal and normative parameters. Some decisions made in the domain of bureaucracy were precisely made on the basis of interests or considerations beyond those acceptable parameters (see Figure 2).











The exercise of discretionary spaces in democratic system should be constantly safeguarded against departure from legal and normative parameters (as illustrated in Figures 1). However, in the course of its journey in Indonesia-- since the Old Order era through Reformation era -- bureaucratic system was seemingly not sufficiently ‘sturdy’ to resist entry of interests beyond those parameters by extra-bureaucratic sides merely for the sake of vested interests or group interests (as illustrated in Figure 2).

The Influence of Bureaucratic Culture and Structure
The political influence against bureaucratic discretion areas can vary its strength down to lower levels affect the behavior of employees of the government bureaucracy (read: public officials). This happens because the bureaucratic structures were still hierarchical with a patrimonial culture. The very strong role of top executive who is a political appointee, often obscure and weaken the bureaucratic professionalism and neutrality. In some cases regarding the appointment of career officials at the local bureaucracy as mentioned above, there are indicate that the political forces often intervene the personnel decision making in which be a domain of bureaucratic decision. In making personnel decisions such as mutation and promotion there are a variety of interventions from local political officials. This has clearly reduce the area of bureaucratic discretions in managing or restructuring the internal bureaucracy in order to improve the bureaucratic performance especially in performing better public services.
In addition to environmental factors that influence the use of bureaucratic discretion, the internal factors of bureaucracy itself also influence the extent of bureaucratic officials may use their discretions in accordance with the demands of professionalism in carrying out the duties of government and public service. Those Internal factors are the structure and bureaucratic culture. As generally known, bureaucracy is a form of bureaucratic institutions and arrangements that contain the structure and culture. Bureaucratic structure describing the composition of an order, whereas culture contains the values system, and customs made and conducted by the principals that reflect the behavior of its human resources (Thoha, 2002).
Bureaucracy is a large organization with a long hierarchical structure in which the higher the officials’ position, the greater his/her authority. Officers who are on the lower structure will receive the delegation of authority from his superiors, until the bottom level that has a very limited operational authority and more act only as implementers. As a result, officials at lower levels especially the staff who actually deal directly with the public often feel does not have any authority to make decisions, even though relating to their operational duties. In other words, they only have very small or almost none discretionary space to make decisions.
Those structural weaknesses of the bureaucracy increasingly aggravated with the development of paternalistic culture. Officials at the top hierarchy felt that with great authority they have to make decisions in accordance with their own interests or other people who have higher or greater power, such as politicians. With this structure of authority and the strong paternalistic culture, bureaucracy was became the power engine that always be subordinated to the political officials which is tend to be driven by individual political and power interests.
The influence of cultural aspects, it seems that there is widespread not only in the internal bureaucracy but from the culture that developed in the local community. Heterogeneous characteristics of Surabaya people had implications to a variety of considerations in the exercise of discretionary spaces covering political considerations or merely a political party gains and benefits, and interests of increasing local revenues. Meanwhile, there were also varied sources of intervention toward bureaucratic discretions: interventions of political parties through representatives, intervention of Mayor (regional head), bureaucratic officials’ interventions, and entrepreneurs’ interventions, as well.
In the case of local administration of Situbondo Regency, the exercise of discretionary spaces was to a considerable extent influenced by political interests. This phenomenon was attributable to characteristics of local people. In Regency of Situbondo there was a shift in the exercise of bureaucratic discretionary spaces in line with the shift in paternalistic cultural values of pesantren (Islamic scolars) toward a more rational and modern culture. Political interventions and cleric’s (Islamic religious leaders) interventions in the period of Regent Diaaman was highly conspicuous, whereas in the period of Regent Ismunarso those interventions began to diminish and shifted toward individual interests of both officials and entrepreneur’s interventions.

The need to strengthen the use of discretionary space
Theoretically, there was a potential mapping of discretion types with normative considerations in order to implement certain type of policies. However, based on this field of study, there was a discrepancy of normative aspects and real aspects underlying exercise of bureaucratic discretionary spaces, resulting in unacceptable discretions. In the case of Surabaya Municipality, for example, regulatory policies in employee affairs that required and/or resulted in discretion or social planning based on legal, ethical, and professional were in practice precisely based, to a considerable extent, on political considerations and tended to heed legal considerations merely as formal requirement.
Apparently, bureaucracy could not release itself from the firm grips of interventions by varied sides such as political parties, entrepreneurs, its superiors (regents, mayors, higher officials). It followed that the existing bureaucratic system did not exhibit changes from a bureaucratic system dominated by a patronage culture toward a neutral and professional bureaucratic system. It means that in the era of autonomy, local government bureaucracy should be equipped with the regulations that ensure the proper use of discretionary space to be more accountable in order to improve government bureaucratic performance. The necessary regulations should provide assurance to the bureaucrats to be able to take decisions in their areas of duties and authority independently based on the principles of professionalism. Differ from the opinion that bureaucratic discretion should be limited because of frequent abuse of bureaucratic authority, in the recently case of Indonesia, which is required just the opposite. Bureaucracy just need more equipped with the spirit of neutrality, so as not to be easily co-opted by narrowly political interests and in turn bureaucracy can be more professional and accountable.
In contrary to the general opinion of bureaucratic discretion that often been characterized as a potential abuse of power and authority, in this paper I would argue that the use of bureaucratic discretionary space should be improve in responsible and accountable way. It means that bureaucracy must be strengthen in term of using their discretion based on the legal and normative paramaters such as broader public interest, ethics, knowledge and professionalism judgment, etc. such of this argument arise due to the fact that the excessive actions to reduce discretion have damaged the capability of public officials and organizations to accomplish delegated tasks, by making administrative processes more confusing and reducing the ability of agencies to function effectively. Especially in personnel decisions, the bureaucracy needs to be given flexibility to define and promote credible public officials without any fear of political pressures. As experienced by Alisjahbana, Surabaya city secretary, who must ultimately dismissed from the position because some of his decisions were conflicting with the political interest of the ruling party at that time.
What has happened in Indonesia after running local democracy system, it is likely to bring unfavorable impact of increasing bureaucratic capacity due to excessive political euforia. One solution offered here is the adoption of the principal of new public management (NPM) in balance with new public service (NPS) through increased liability for the bureaucrats accountable and responsible for the decisions they make. In that context, discretion is necessary as a tool or instrument in order to build and enhance the professionalism of the bureaucratic capacity.


References
Astuti, S.J.Woro.( 2009), The exercize of bureaucratic discretionary space in the contect of local politics and accountability system in the era of local outhonomy. PhD Dissertation, Gadjah mada University, Yogyakarta, Indonesia.

Bryner, Gary C. (1987). Bureaucratic Discretion: Law and Policy in Federal Regulatory Agencies. New York: Pergamon Press.
Cox III, Raymond W. (2004). Accountability and Responsibility in Organizations: the Ethics of Discretion. Viešoji Politika Ir Administravimas . Nr. 13.
Chandler, Ralph.C. dan Plano, Jack.C. (1982). The Public Administration Dictionary. New York, Chichester, Brisbane : John Wiley & Sons.
Davis, K.C. (1969). Discretionary Justice. Westport, CT: Greenwood Press.
Du Gay, P. (2000). In Praise of Bureaucracy. London: Sage.
Dwiyanto, A. et al . (2003). Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Jogjakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan. UGM.
Faturohman, D. dan Sobari, W. (2002). Pengantar Ilmu Politik. Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang.
Finkelstein, S. and B. Boyd. (1998). How Much Does the CEO Matter? The Role of Managerial Discretion in the Setting of CEO Compensation. Academy of Management Journal . 41(1): 179-199.
Frederickson, H.C. (1997). The Spirit of Public Administration. San-francisco, Jose-Bass Publisher.
Goodsell, C. T. (2004). The Case for Bureaucracy , 4th ed. Washington, DC: CQ Press.
Mladenka, Kenneth R. (1980). The Urban Bureaucracy and the Chicago Political Machine: Who Gets What and the Limits of Political Control. The American Political Science Review. Vol. 74.
Morgan, Douglas F., Shinn, Crig W., Green, Rick. (2002). Foundation of Public Service: Countiuities in Conflict. Http://eli.pdx.edu/erc/foundationsbook/
chap2_%20admindisc.pdf.
Krause, G. (1999). A two-way street: The institusional dynamics of modern administrative state. Pittsburgh, PA: University of Pittsburgh Press.


Lindahl,Hans. (2008). Discretion and Public Policy: Timing the Unity and Divergence of Legal Orders. in Perchal, Sacha and Roermund, Bert van (eds).The Coherence of EU Law: The search for Unity in Divergent Concepts. pp. 291-313. Oxford: Oxford University Press.

Peters, B. Guy. (2008). Bureaucracy and Democracy. Presented in conference co-sponsored by IPSA’s RC27, University of Gothenburg, November 13-15.www.qog.pol.gu.se/working_papers/SOG/.pdf

Rourke, Francis E. (1984). Bureaucracy, Politics, and Public Policy. Third Edition. Boston: Little, Brown and Company.
Scott, Patrick G. (1997). Assesing Determinants of Bureacratic Discretion: An Experiment in Street-level Decision Making. Journal of Public Administration Research and Theory. January. 7: 35-57.
Susan, Key. (2002). Perceived managerial discretion: an analysis of individual ethical intentions. Journal of Managerial issues. http://www.thefreelibrary.com/.
Thoha, Miftah. (2002). Reformasi Birokrasi Pemerintah, paper presented at a seminar on Good Governance. Bappenas. Jakarta. 24 Oktober.

Warren, Kenneth F. (2003). Public Administration & Management in Rabin, Jack and Wachhaus T. Aaron, Encyclopedia of Public Administration and Public Policy. Political Science, Saint Louis University, St. Louis, Missouri, U.S.A.

Surya, 23 October 2007
Surya, 12 December 2007
Tempo Interaktif, 27