Sri Juni Woro Astuti's Blog


Welcome to Sri Juni Woro Astuti's Blog

Minggu, 06 Maret 2011

Total Quality Service dalam Organisasi Publik

Jurnal Administrasi Publik, Vol. IV, No. 1, April 2007
Pendahuluan

Tulisan ini mengupas tentang bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan di organisasi publik khususnya di Indonesia yang mana pada umumnya yang tidak dapat disangkal lagi masih berada di bawah harapan masyarakat. Bukan hanya itu , kualitas pelayanan harus dipahami sebagai salah satu kunci competitive advantage dalam rangka memasuki era pasar global yang sudah diambang pintu. Organisasi yang sukses dan dapat terus eksis adalah mereka yang mampu menghargai dan menyerap aspirasi masyarakat yang dilayaninya sebagai sumber inovasi organisasi yang kelak menjadi modal keunggulan bersaing.
Dalam sektor pemerintahan, persaingan tidak dimaknai secara harafiah antara satu lembaga dengan lainnya, melainkan persaingan dalam rangka mempertahankan relevansi dan kontribusi mereka dalam kehidupan masyarakat yang makin dewasa dan mandiri.
Masalah utama yang perlu mendapatkan perhatian adalah bagaimana membangun dan mengembangkan budaya quality service dan execellent service di kalangan para service provider utamanya birokrasi pemerintah. Hal ini cukup crusial mengingat selama ini image yang berkembang terhadap pelayanan birokrasi pemerintah cenderung masih kurang menguntungkan.
Banyak pengalaman beberapa klien (baca:masyarakat) yang pada intinya menyudutkan birokrasi karena dianggap pelayanannya masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Disini menekankan sekali lagi bahwa kualitas layanan publik masih perlu terus ditingkatkan. Pelayanan yang berkualitas dalam rangka memuaskan pelanggan seyogjanya perlu dilakukan secara terus-menerus, meskipun tidak terjadi keluhan ataupun komplain dari pelanggan secara langsung.
Salah satu ujung tombak dalam pemberian pelayanan publik pada setiap organisasi, adalah bagian front office atau resepsionis dimana melalui mereka kesan atau respon publik atau pelanggan sudah mulai terbentuk. Untuk itu dalam rangka penciptaan budaya kualitas melalui pelayanan prima sudah harus dimulai Dari jajaran front office tersebut.

Pendekatan Total Quality Service
Sebagaimana disadari, pelayanan merupakan hal terpenting di dalam membangun hubungan yang menguntungkan dengan para pelanggan (customer), baik untuk sektor produksi maupun service. Dengan demikian hampir semua bisnis berhubungan dengan pentingnya pelayanan demi terpenuhinya kepuasan pelanggan. Dalam penyampaian pelayanan itu sendiri, sebagaimana dipaparkan diatas, semakin dituntut peningkatan dari segi kualitas.
Berkenaan dengan pengertian kualitas itu sendiri, menurut The American Society for Quality Control, kualitas adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik dari suatu produk atau jasa dalam hal kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan yang telah ditentukan atau yang bersifat laten. Konsep kualitas tersebut bersifat relatif, yaitu bergantung pada perspektif yang digunakan untuk menentukan ciri-ciri dan spesifikasi barang atau jasa yang dibutuhkan. Namun secara garis besar terdapat tiga orientasi kualitas yang seharusnya konsisten satu sama lain yakni : (1) persepsi konsumen, (2) produk, (3) proses (Eviliani & Wilfridus,1997). Persepsi konsumen dalam hal ini adalah seluruh atribut barang atau jasa yang dapat ditangkap oleh konsumen misalnya fungsi, bentuk, harga, tahan lama dan sebagainya. Produk dalam hal ini adalah berupa barang atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen yang tentunya memiliki serangkaian atribut yang didesain perusahaan untuk konsumen. Sedangkan yang dimaksud dengan proses adalah rangkaian kegiatan yang dilalui untuk menghasilkan produk tersebut. Apakah sesuai dengan mekanisme yang telah distandarkan, baik dari segi metode/cara kerja, waktu dan tahapan/langkah-langkah yang dijalankan.
Ketiga orientasi kualitas tersebut perlu kita pahami dan khususnya untuk produk jasa, konsistensi antara ketiganya jelas sangat tampak dan dapat langsung dirasakan oleh konsumen. Oleh karenanya, menjaga konsistensi antara ketiganya merupakan keharusan. Paradigma manajemen jasa kini lebih besifat “customer driven” ketimbang “company driven” yakni implementasi proses (operasional maupun strategic) untuk menghasilkan produk jasa tertentu diarahkan sepenuhnya untuk membentuk persepsi positif pelanggan atau publik.
Hal ini tentunya tidak mudah bagi setiap organisasi dimana system nilai atau budaya kerja pada umumnya belum sepenuhnya menerapkan prinsip service quality dengan sungguh-sungguh. Pada beberapa organisasi baik swasta maupun pemerintahan, masih banyak ditemukan mental untuk tidak melayani orang dengan baik. Berbeda dengan di negara-negara lain, misalnya Singapore, mental untuk memberikan pelayanan dengan baik sudah merupakan budaya yang harus diterapkan oleh setiap individu dalam organisasi.
Kualitas pelayanan di sektor pemerintahan, misalnya, sampai saat ini masih banyak masyarakat mengeluhkan tentang pelayanan PDAM untuk medistribusikan air bersih di kota-kota besar, jasa PT. Telekom, PLN, POS dan beberapa palayanan pengurusan kependudukan misalnya pembuatan KTP, KK, bahkan juga untuk pelayanan kesehatan, perbankan dan pelayanan untuk mendapatkan informasi. Masih banyak keluhan terutama dari kalangan masyarakat menengah ke bawah yang seringkali mendapatkan perlakuan diskriminasi serta kurang transparan. Pentingnya memberikan pelayanan yang berkualitas (execellent service) kepada masyarakat bagi organisasi pemerintah tidak semata-mata dimaknai sebagai upaya memenangkan persaingan. Urgensi lembaga pemerintah dalam kehidupan masyarakat itulah yang harus dipertahankan dan dipertanggung jawabkan sesuai dengan peran dan fungsinya. Hal ini sejalan dengan tuntutan akuntabilitas sektor publik yang tidak hanya dalam hal pertanggungjawaban penggunaan anggaran tetapi lebih luas adalah dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab kepada masyarakat secara transparan. Adapun dari sektor swasta, secara umum berada di atas rata-rata kualitas pelayanan dari sektor pemerintahan. Namun jika dibandingkan dengan pelayanan sejenis pada negara-negara lain yang lebih maju masih jauh tertinggal. Satu hal yang menonjol untuk mendapat perhatian adalah masalah rendahnya mental quality service dari sumber daya manusia kita.
Untuk itu diperlukan pendekatan kontemporer yaitu Total Quality Service yang didefinisikan sebagai “system manajerial strategic dan integrative yang melibatkan semua manajer dan karyawan, serta menggunakan metode-metode kualitatif dan kuantitatif untuk memperbaiki secara berkesinambungan proses-proses organisasional agar dapat memenuhi dan melebihi kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan “ (Stamatis,1996 dalam Tjiptono,F.,1997).
Dari pengertian TQS tersebut di atas, maka jelaslah bahwa penciptaan pelayanan yang prima bagi masyarakat atau pelanggan sangat membutuhkan keterlibatan dan komitmen semua pihak bukan hanya pada level manajerial saja tetapi di semua level dan bagian dari organisasi termasuk front officers atau resepsionis, customer service , dan terlebih lagi bagian kehumasan atau public relations.
Secara rinci Total Quality Service berfokus pada lima aspek utama (Brown, 1992; Stamatis, 1996 dalam Tjiptono,F,1997):
1. Fokus pada pelanggan
2. Keterlibatan total semua karyawan dan manajemen
3. Sistem pengukuran proses dan hasil kerja
4. Dukungan sistematis dari manajemen
5. Perbaikan berkesinambungan

Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik

Fungsi utama dari Birokrasi pemerintah yang dijalankan oleh para aparatur pemerintah, tidak lain adalah memberikan pelayanan publik yang sifatnya lebih urgen dibandingkan pelayanan yang diberikan oleh pihak swasta kepada masyarakat. Sifat urgen ini dapat dicontohkan misalnya pelayanan dalam penyediaan air bersih bagi seluruh wilayah kota, pelayanan menjaga ketertiban dan keamanan kota dan sebagainya. Disisi lain sifat dari pelayanan yang diberikan organisasi pemerintah terhadap masyarakatnya tidak didasarkan atas perhitungan rugi-laba melainkan lebih pada rasa pengabdian kepada masyarakat umum.
Dari kedua ciri pelayanan umum yang dijalankan oleh birokrasi tersebut, dapat dipahami bahwa sesungguhnya profesi aparatur pemerintah tidak lain dituntut untuk menjadi service provider yang memiliki criteria sebagaimana sifat dari pelayanan itu sendiri. Dalam hal ini jelas masing-masing dituntut untuk menjalankan tugas dan fungsinya dengan menggunakan suatu keahlian dan standar moral atau etika tertentu dan memiliki jiwa pengabdian yang sungguh-sungguh terhadap masyarakat yang dilayaninya. Karakteristik atau ciri-ciri seperti disebut di atas mencerminkan profesionalisme aparatur pemerintah. Namun pada kenyataannya hal itu masih perlu terus diupayakan dan ditingkatkan karena fenomena menunjukkan kondisi yang masih jauh dari harapan.
Menyadari akan tugas utama mereka, tentunya pemberian pelayanan publik secara prima bukan lagi merupakan anjuran tetapi sudah otomatis menjadi standar kegiatan demi terwujudnya kepuasan masyarakat pada umumnya dan pelanggan secara khusus. Pemberian pelayanan secara prima berarti pelayanan tersebut memenuhi harapan pengguna jasa atau dengan kata lain telah dapat disebut sebagai pelayanan yang berkualitas. Kealpaan dalam menciptakan kualitas layanan, maka akan mendatangkan banyak problema, polemik yang berkembang luas dan akhirnya membentuk citra negatif bagi organisasi pemerintah itu sendiri. Dewasa ini polemik atau bahkan citra negatif di kalangan sebagian organisasi pemerintah telah terlanjur terbentuk. Satu-satunya jalan bagi pemulihan citra atau pelayanan jasa adalah dengan cara mengubah budaya kerja dari yang kurang menghargai mutu menjadi budaya yang menjunjung tinggi mutu dan etos kerja. Untuk itulah konsep Total quality Service perlu diadopsi dalam organisasi pemerintah dengan lima focus seperti yang telah disebutkan di atas.
Selain itu W. Edward Deming yang merupakan bapak gerakan Total Quality Management memiliki pandangan tentang beberapa hal yang perlu dilakukan dalam organisasi yang sedang dalam masa transisi dari tradisional menjadi berkualitas (Deming, 1986 dalam Bank, John, 1992). Deming menuntut pemahaman dan komitmen total dari semua jajaran dalam organisasi terhadap pelaksanaan dari 14 point sebagai berikut:
1. Ciptakan keajegan tujuan demi perbaikan jasa. Tujuan dan filosofi organisasi jasa harus ditetapkan dengan memenuhi persyaratan : (1) mencakup keyakinan dasar dan nilai-nilai organisasi dalam jangka pendek dan jangka panjang; (2) mempermudah pengambilan keputusan jangka panjang; dan (3) menyusun pernyataan misi dan filosofi operasional yang dapat dipahami dan dilaksanakan setiap orang dalam organisasi.
2. Adopsilah filosofi baru. Bagi Deming, perubahan merupakan suatu keharusan. akan tetapi, tidak semua jenis perubahan, melainkan perubahan yang berfokus pada kepuasan pelanggan. Hal ini mengarah pada upaya penyempurnaan kualitas secara terus-menerus sebagaimana yang dicetuskan Deming dalam siklus PDCA-nya yang merupakan proses tanpa akhir. Deming berkeyakinan bahwa kualitas yang disempurnakan akan memberikan hasil berupa meningkatnya produktivitas, semakin rendahnya biaya perpesanan, harga keseluruhan yang lebih murah, dan semangat kerja yang semakin tinggi.
3. Hentikanlah ketergantungan pada inspeki untuk mewujudkan kualitas. Deming menetang ketergantungan yang berlebihan pada inspeksi, karena inspeksi massal kerapkali sangat terlambat dilakukan (setelah terjadi kesalahan). Lagipula, inspeksi massal difokuskan pada penanganan kesalahan, sehingga tidak menawarkan penyempurnaan apapun. Oleh sebab itu, inspeksi harus digantikan dengan penyempurnaan proses secara berkesinambungan dan tanpa akhir. Hal ini akan lebih bersifat pencegahan terhadap terjadinya penyimpangan yang berakibat pada ketidak puasan pelanggan atau masyarakat.
4. Hentikan praktik menghargai bisnis semata-mata atas dasar harga atau keuntungan. Dalam urusan pelayanan publik jelas prinsip ini sangat penting mengingat dalam pelayanan publik tidak didasarkan pada pertimbangan untung-rugi. Pihak organisasi dalam hal ini harus dapat mengupayakan adanya hubungan yang saling percaya atau “win-win” relationship. Lebih jauh lagi pelayanan yang diberikan didasari oleh misi pengabdian kepada masyarakat dengan mengutamakan aspek keadilan dan pemerataan demi terciptanya kesejahteraan sosial.
5. Perbaikan secara konstan terhadap perencanaan, operasi, dan pelayanan. Fokus utama program adalah penyempurnaan proses. Dalam industri jasa, hal ini mengandung makna pengurangan pengerjaan ulang, peningkatan kualitas keseluruhan, peningkatan kepuasan pelanggan, berkurangnya keluhan pelanggan, peningkatan laba, peningkatan posisi persaingan, dan sebagainya. Dengan demikian, tanggung jawab penyempurnaan kualitas berada diatas pundak semua orang dalam organisasi.Dalam organisasi pemerintah, perbaikan proses ini hendaknya dilakukan secara menyeluruh disertai komitmen untuk melaksanakan penyempurnaan layanan publik secara konsekwen.
6. Lembagakan pelatihan dan pelatihan ulang di tempat kerja. Proses penyempurnaan merupakan proses yang dinamis dan tidak berkesudahan. Pelatihan menjadi kebutuhan mutlak, baik bagi eksekutif , implementor maupun operator. Pelatihan yang diperlukan tidak saja berkaitan dengan tujuan organisasi. Setiap perusahaan harus menentukan pelatihan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhannya. Pelatihan yang tepat adalah pelatihan yang bisa : (1) meningkatkan kesadaran atas pentingnya kualitas dan penyempurnaan secara terus menrus; (2) mengidentifikasikan apakah proses tertentu sudah kapabel atau belum; (3) menawarkan rasa aman kepada karyawan melalui eliminasi rasa takut, eliminasi gosip atau kabar angin dan mengamankan pekerjaan; (4) menghilangkan semua hambatan yang ada diantara para karyawan; (5) menanamkan rasa bangga terhadap hasil kerja; dan (6) mengurangi tingkat stres.
7. Melembagakan kepemimpinan bagi penyempurnaan system. Dalam TQS tanggung jawab manajemen tidak hanya terbatas pada menyusun sistem, menemukan variasi dalam proses, memperbaiki proses dan sebagainya. Lebih dari itu, manajemen juga bertanggung jawab melembagakan kepemimpinan yang dibagi (shared leadership) dan tidak hanya berpusat pada satu atau segelintir orang. Praktek shared leadership mencakup tiga aspek. Pertama, tanggung jawab bersama yang diemban oleh semua anggota untuk memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan tim dan meningkatkan kualitas hubungan antar anggota tim. Kedua, peran pemimpin dan para angota tim akan berubah bila dibutuhkan dan tugas tim mengalami perubahan. Modal Shared leadership menyebabkan perubahan dramatis bagi tugas penyelia dan atau pemimpin. Peran yang semua lebih ditekankan pada quality pushers berubah menjadi proses improvement pusher. Oleh sebab itu, pelatihan merupakan kebutuhan pokok, terutama yang mencakup filosofi organisasi secara keseluruhan, metode-metode statistik, teknik menjalin relasi, coaching, cara menciptakan lingkungan yang kondusif, komunikasi interpersonal dan penanganan konflik.
8. Menghilangkan rasa takut. Rasa takut bisa menimbulkan berbagai macam persoalan, misalnya gangguan fisik, gangguan psikologis, perubahan perilaku, menurunnya semangat kerja, produktivitas jauh dibawah harapan, menurunnya motivasi dan terhambatnya komunikasi. Semuanya ini menyebabkan para karyawan tidak dapat menyeimbangkan kapasitas dan kapabilitas optimal mereka bagi upaya peningkatan kualitas dan produktivitas. Rasa takut dapat di eliminasi dengan berbagai cara, misalnya: (1) menyingkirkan berbagai macam bahaya fisik; (2) menyelenggarakan pelatihan secara berkesinambungan menyangkut aspek tujuan dan misi organisasi; definisi operasional, metode statistik, karakteristik pekerjaan, dan spesifikasi yang dituntut ; serta pemahaman mengenai penyebab variasi sistem; (3) penyelia harus menekankan perbaikan berkesinambungan; dan (4) penyelia harus membantu para karyawan dan mendengarkan masalah-masalah mereka.
9. Menyingkirkan rintangan (dinding pemisah) antar departemen. Rintangan selalu ada dalam setiap organisasi, apapun bentuk organisasi tersebut. Misalnya dalam bentuk komunikasi yang mandeg/ macet, terabaikannya misi dan tujuan organisasi, kompetisi internal antar karyawan, rasa takut, dan sebagainya. Kondisi ini menyebabkan lingkungan organisasi menjadi tidak kondusif bagi upaya pencapaian kualitas prima. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan perubahan pola kerja dari yang semula bersifat individualis dan departemental beralih menjadi kerja sama tim, lintas fungsional dan integratif. Selain itu, dibutuhkan pula keterbukaan dalam komunikasi vertikal maupun horisontal. Yang tak kalah pentingnya pula adalah penyelenggaraan pelatihan bagi semua urusan dalam organisasi.
10. Meniadakan slogan, desakan dan target bagi tenaga kerja. Biasanya para karyawan dibebani dengan berbagai macam sasaran atau target kuantitatif. Kondisi seperti ini bisa menyebabkan para karyawan tertekan dan frustasi. Mereka lebih terfokus pada upaya pencapaian target kuantitatif ketimbang peningkatan kualitas dan produktivitas. Hal ini bisa menyebabkan penyimpangan perilaku, dimana bisa saja karyawan akan melakukan segala macam cara yang kuotanya tercapai. Oleh karena itu, model seperti ini perlu dihentikan. Sebagai gantinya oerganisasi perlu menekankan aspek kemajuan (progress) dalam rangka penyempurnaan terus menerus. Perencanaan finansial yang bersifat botttom-up dan didasarkan pada proses spesifik yang ditangani, perlu dikembangkan secara konsisten.
11. Mengeliminasi kuota-kuota numerik bagi karyawan dan sasaran numerik bagi manajemen. Kuota dan sasaran numerik kerapkali menimbulkan masalah seperti kurangnya perhatian terhadap kualitas, tingginya tingkat stres dan frustasi dan sebagainya. Menurut Deming, semua ini harus diganti dengan fokus pada kualitas. Bila fokus lebih ditekankan pada kualitas, para karyawan akan menanggapinya dengan produktivitas dan kualitas kerja yang lebih baik. Untuk itu dibutuhkan komitmen jangka panjang, pemahaman dan penguasaan metode-metode statistik dan penyusunan semacam ‘road map’ bagi penyempurnaan berkesinambungan.
12. Menghilangkan penghalang yang dapat “merampok” kebanggaan para karyawan atas keahliannya. Hilangnya kebanggaan atau harga diri seseorang bisa menjadi gejala bagi banyak masalah dalam organisasi. Beberapa penyebab hilangnya kebanggaan ini antara lain perlakuan atasan atau manajemen yang buruk terhadap karyawan, saluran komunikasi yang macet, pelatihan yang kurang memadai, dan kecenderungan membebankan kesalahan pada karyawan. Penyebab yang paling parah adalah bila organisasi menuntut karyawan bertindak seperti robot atau automation. Paling tidak ada empat cara yang dapat dilakukan untuk mengembalikan kebanggaan karyawan. Pertama. Manajemen harus menyadari dan mencermati berbagai macam masalah yang timbul dan bertindak sesuai dengan masalah tersebut. Cara yang bisa ditempuh adalah menumbuhkan kerelaan dan keberanian para karyawan untuk melaporkan setiap masalah yuang dijumpai (betapapun sukarnya masalah tersebut). Cara lainnya adalah dengan menyediakan berbagai macam alat, bahan, dan metode yang tepat bagi para karyawan untuk melaksanakan pekerjaan. Kedua, manajemen harus melibatkan semua karyawan yang bidang kerjanya bakal terkena pengaruh keputusan yang akan diambil. Ketiga. Manajemen harus memantau secara rutin apa yang sedang terjadi. Caranya adalah dengan melakukan survei reguler dan menindak lanjuti hasilnya. Keempat, manajemen perlu melaksanakan arti penting setiap individu/karyawan dan kontribusi mereka bagi proses operasi perusahaan. Bila para karyawan mendapatkan kembali kebanggaannya, maka akan ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh, diantaranya: tumbuhnya loyalitas, kepuasan kerja, dan semangat tim; pemberdayaan dapat lebih mudah diterapkan ; para karyawan bisa menjadi ‘duta’ organisasi; para karyawan akan ‘berkembang’ hingga bisa merealisasikan potensi maksimalnya; semangat dan moral kerja bisa meningkat, serta yang tidak kalah pentingnya stres bisa berkurang.
13. Giatkan program pendidikan dan perbaikan diri bagi setiap orang. Di dunia ini tidak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Hanyalah masalah waktu saja jika pengetahuan dan pengalaman seseorang belum mengalami keusangan. Suatau saat pasti akan ada perkembangan baru yang membuat apa yang saat ini dipandang ‘memadai’ menjadi suatu yang sangat ketinggalan jaman. Oleh sebab itu, Deming sangat menekankan pentingnya pendidikan dan pelatihan dalam membantu setiap individu dan organisasi untuk mempelajari proses dan perkembangan pekerjaan di masa datang. Selain itu, pendidikan dan pelatihan juga berfungsi untuk memotivasi karyawan, menghindari kejenuhan kerja, dan menyiapkan transisi menuju organisasi ‘baru’. Tuntutan akan pelatihan generik yang berlaku umum bagi manajer puncak, madya, dan manajer lini pertama. Tipe tersebut meliputi; (1) teknik-teknik statistik dasar, (2) ketrampilan dasar pekerjaan; (3) topik-topik yang berkaitan dengan pekerjaan; dan (4) pelatihan pengembangan pribadi (personal improvement).
14. Lakukan transformasi pekerjaan setiap orang dan siapkan mereka untuk mengerjakannya. Implementasi TQS menuntut perubahan fundamental dalam praktik pelayanan jasa tradisional. Hal ini membutuhkan komitmen total dan keterlibatan nyata dari manajemen puncak atau atasan dan semua karyawan yang ada dalam organisasi. Dengan demikian, proses transformasi (yang kerapkali butuh lama) bisa berlangsung dengan mulus.

Excellent services melalui penciptaan pengalaman pelanggan

Sebagaimana paparan di atas, dalam rangka memberikan excellent services, budaya service quality perlu terus dikembangkan pada setiap individu anggota organisasi. Langkah penting yang harus dilakukan adalah berusaha memahami bagaimana menciptakan pengalaman konsumen dan membuatnya sebagai suatu hal yang mengesankan. Pengalaman konsumen tersebut dapat diciptakan melalui 4P (Hopson & Scally, 1991) :
- Pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan bergaul (personal approach training)
- Produk yang di atas kualitas rata-rata
- Presentasi yang berkesan
- Proses yang berorientasi pada konsumen

“P” Pertama: Personal approach training
Personal approach training dimaksudkan untuk meningkatkan ketrampilan pelayanan dengan inti sebagai berikut:
- mengistimewakan orang lain
- menangani 4 menit pertama dan 2 menit terakhir
- menunjukkan sikap positif
- mengkomunikasikan pesan dengan jelas
- menunjukkan energi tinggi
- bekerja dengan baik dibawah tekanan
Dengan istilah lebih menarik dan mudah untuk diingat “the customer comes 1st” dimana comes 1st adalah kependekan dari:
C = clear massage
O = OK attitude
M = making people feel special
E = energic
S = service under pressure
1st = fisrt 4 minutes and last 2 minutes

“P” Kedua: Product quality
Perlu disadari pelayanan yang baik bukanlah pengganti produk yang jelek. Terlebih untuk perusahaan jasa, mengingat produk dari perusahaan jasa adalah penyampaian pelayanan itu sendiri. Untuk itu peningkatan mutu secara terus-menerus mutlak diperlukan. Hal ini sejalan dengan praktek manajemen di Jepang yang dikenal dengan istilah “Kaizen” yang berarti peningkatan terus-menerus dan melibatkan semua orang dalam organisasi. Peningkatan kualitas produk ini sebaiknya juga berorientasi kepada konsumen (customer oriented). Sebagaimana yang dilakukan orang Jepang, pendekatan yang dilakukan adalah dengan menanyakan apa yang kita inginkan, berapa yang sanggup kita bayar dan kemudian baru memproduksi barang tersebut.

“P” Ketiga: Presentation
Faktor ketiga yang terpenting adalah presentasi atau penampilan secara fisik. Presentasi ini dalam model service quality yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zitham, dan Berry (1985) termasuk dalam kriteria tangibles (berwujud) yakni penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik(gedung, transportasi, telekomunikasi, alat-alat pemasaran dan promosi, dll), keadaan lingkungan serta penampilan staff.
Semua itu berperan dalam menciptakan pengalaman konsumen dan pelanggan. Oerganisasi dalam hal ini hendaknya memposisikan dirinya sebagai konsumen itu sendiri, sehingga dapat memprediksikan harapan-harapan konsumen secara lebih mendetail dan berusaha mengkonseptualisasikannya serta merealisirnya. Untuk itu peranan desain dalam mengkonseptualisasi produk dan jasa menjadi semakin meningkat dan memiliki fungsi strategis.

“P” keempat: Process
Sebagai pelengkap dari ketiga “P” lainnya, pelayanan berkualitas berarti membuat semua proses untuk kepentingan konsumen, mengatur segalanya sedemikian rupa sehingga konsumen dapat memperoleh apa yang mereka inginkan pada saat yang tepat. Hal ini perlu lebih disadari mengingat tidak jarang organisasi terlalu terfokus pada ketrampilan pelayanan, namun melupakan unsur pelayanan yang lebih besar lagi yakni proses. Staff yang ramah dan mengesankan tidak cukup memuaskan konsumen apabila harus menunggu berjam-jam untuk memperoleh sesuatu yang dibutuhkannya. Sehingga dalam hal ini organisasi harus memperhatikan sarana administrasi, atau prosedur yang merupakan policy organisasi sedemikian rupa guna memberikan kelincahan / flexibilitas kepada setiap staff untuk memberikan pelayanan dengan cepat dan dapat diandalkan.

Penutup
Di era yang makin kompetitif akibat globalisasi ini, aspek pelayanan atau jasa menjadi “credo” universal dan merupakan faktor dominan terhadap kesuksesan perusahaan. Service quality menjadi tuntutan sekaligus tantangan bagi setiap organisasi pemerintah maupun swasta dan perusahaan baik yang bergerak di bidang manufacturing terlebih lagi perusahaan jasa murni. Tantangan untuk memberikan yang terbaik atau excellent services telah diakui dan berlomba-lomba diperjuangkan sebagai kunci sustained competitive advantage bagi setiap organisasi.
Kualitas jasa itu sendiri sangat ditentukan oleh pelanggan atau konsumen, oleh karenanya suara konsumen harus menjadi salah satu sumber inspirasi perusahaan guna mengembangkan excellent services dan mencegah terjadinya kesenjangan (gap) yang menjadi penyebab kegagalan pelayanan. Karena kualitas pelayanan (jasa) itu sangat relatif dan subyektif, maka tugas utama organisasi adalah membentuk pengalaman konsumen atau masyarakat selalu menjadi pengalaman yang memuaskan. Hal ini akan dapat terwujud melalui penerapan konsep Total Quality service dimana keterlibatan dan komitmen seluruh anggota organisasi menjadi kunci suksesnya. Dari sinilah keberhasilan dan citra organisasi akan terbentuk secara positif dengan selalu menjaga kepuasan konsumennya yang dalam hal ini masyarakat luas (customer satisfaction).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar