Sri Juni Woro Astuti's Blog


Welcome to Sri Juni Woro Astuti's Blog

Minggu, 06 Maret 2011

Diskresi Birokrasi

dalam Wibawa, Samodra (Editor), Administrasi Negara: Isu-Isu Kontemporer, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009

ABSTRAK

Kajian tentang diskresi birokrasi sangat perlu dilakukan mengingat keterkaitannya dengan upaya peningkatan efektivitas implementasi kebijakan dan pelayanan publik, sebagai salah satu isu sentral dalam kajian administrasi negara. Dengan adanya ruang diskresi, birokrasi dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara mandiri dan profesional terutama dalam menjalankan fungsi pelayanan publik dimana ia berhadapan langsung dengan masyarakat yang tingkat pluralitasnya tinggi.
Diskresi dalam hal ini diartikan sebagai kemampuan administrator untuk memilih diantara alternatif dan memutuskan bagaimana suatu kebijakan (policy) pemerintah harus diimplementasikan dalam situasi-situasi tertentu. Diskresi ini sangat diperlukan, mengingat azas legalitas saja dianggap tidak cukup bagi birokrasi pemerintah untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani berbagai kepentingan masyarakat yang berkembang semakin luas dan kompleks.
Asumsi yang berkembang, diskresi itu berbahaya sehingga harus dibatasi atau bahkan tidak perlu ada. Namun penulis berpendapat lain, diskresi birokrasi itu justru perlu dilindungi sehingga siapapun yang akan memanfaatkan birokrasi untuk kepentingan dirinya atau kelompok akan mendapat sanksi yang tegas. Pejabat birokrasi dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya perlu mendapat perlindungan ketika mengambil keputusan diskresi demi mengatasi masalah yang lebih urgen. Garis batas kewenangan antara pejabat politik dan birokrasi perlu dipertegas agar tidak ada yang saling mengintervensi dan mendominasi diantara mereka yang pada gilirannya justru merugikan kepentingan publik.

Kata Kunci: Diskresi, Birokrasi, Profesional.



Pendahuluan

Sejak digulirkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang merupakan tonggak reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya pemerintahan daerah, banyak yang mensinyalir bahwa kinerja birokrasi dalam pelayanan publik belum banyak mengalami kemajuan yang signifikan. Padahal tujuan utama diterapkannya otonomi daerah antara lain adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah (Mardiasmo, 2000) dan secara luas adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa daerah memang dapat menunjukkan inovasi pelayanan publik yang sangat baik, namun tidak sedikit pula pemerintahan daerah yang belum memprioritaskan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakatnya .
Fenomena yang muncul adalah beralihnya kekuasaan yang semula didominasi oleh pemerintah pusat kini kekuasaan berada ditangan penyelenggara pemerintahan daerah. Suatu bukti dimana komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat masih sebatas wacana, dapat dilihat dari kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang lebih mengutamakan belanja rutin daripada untuk pembangunan yang dapat dinikmati langsung oleh masyarakat. Komitmen pemerintah untuk mempriotitaskan pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatanpun juga belum nampak secara tegas. Banyaknya penyimpangan yang dilakukan elit pemerintahan baik yang berada di domain legislatif maupun eksekutif, semakin menurunkan citra pemerintah dan lembaga legislatif di mata publik. Demikian pula kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi pemerintah makin rendah.
Rendahnya kualitas pelayanan publik ini antara lain disebabkan masih rendahnya profesionalisme birokrasi sehingga birokrasi tidak mampu memanfaatkan ruang diskresi yang seharusnya dapat digunakan demi meningkatan responsivitas terhadap tuntutan masyarakat. Diskresi birokrasi pemerintah daerah sebagai katup pengaman adanya kesenjangan kebijakan (terutama yang ditetapkan Pusat) dengan kebutuhan riil masyarakat di daerah yang lebih dinamis, ternyata belum digunakan sebagaimana mestinya. Masih banyak ditemukan adanya kebijakan dan peraturan yang dioperasionalkan di daerah yang ternyata kurang sesuai dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat secara riil. Faktor penyebab ketidak sesuaian itu bukan saja karena kebijakan lebih banyak ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan juga karena pejabat penyelenggara pemerintahan daerah belum sepenuhnya mempunyai visi dan komitmen untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan otonomi daerah masih sekedar sebagai wacana yang perlu terus diupayakan realisasinya. Penggunaan ruang diskresi oleh pejabat birokrasi pemerintah daerah ternyata masih banyak yang menyimpang karena tingginya intervensi politik lokal. Tulisan ini oleh karenanya ditujuan untuk mengupas sejauhmana otonomi daerah telah mendorong peningkatan profesionalisme birokrasi yang ditandai dengan pemanfaatan ruang diskresi secara akuntabel demi kepentingan publik.

Meluruskan Diskresi Birokrasi

Profesionalisme birokrasi telah menjadi harapan berkepanjangan dalam sistem pemerintahan di banyak negara. Bukti-bukti yang menunjukkan masih rendahnya profesionalisme birokrasi pemerintah, membentang mulai dari belum tertibnya administrasi dan data base kependudukan, rendahnya kualitas pelayanan publik terutama untuk pelayanan sosial dasar seperti kesehatan dan pendidikan, hingga buruknya manajemen pembangunan baik di level nasional maupun daerah. Semua keburukan kinerja birokrasi ini justru terjadi sebagai akumulasi kekuasaan yang didominasi oleh chief executive dan birokrasi dalam kurun waktu yang relatif lama.
Dominasi birokrasi ini disebabkan keterbatasan yang ada pada para politisi, kebanyakan politisi kurang memiliki peran atau pengaruh dalam proses pembuatan kebijakan publik. Sebagaimana pendapat Dror dalam Caiden (1982:55) bahwa kebanyakan politisi kurang berkualitas sehingga kevacuman dalam pembuatan kebijakan pada level politis diambil alih prakarsanya oleh para birokrat. Meskipun kebijakan publik dibuat di arena politik, namun perencanaan dan implementasi dari kebijakan tersebut berada pada arena birokrasi (Caiden,1982:55). Sehingga birokrasilah yang sebenarnya lebih banyak memegang peranan dalam pembuatan maupun pelaksanaan kebijakan.
Namun kekuasaan yang besar ditangan birokrasi pemerintah dengan birokrat yang umumnya memiliki kemampuan ’lebih’ dibanding mitranya yang duduk di legislatif, ternyata justru menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan wewenang yang semakin tinggi pula intensitasnya. Tuntutan terhadap peran birokrasi sebagai sarana administrasi rasional yang netral dalam skala yang besar (Blau dan Myer, 1987:5), ternyata dalam prakteknya, birokrasi justru berkembang sebagai lembaga negara yang inefisiensi dan tidak profesional. Meskipun telah terjadi pergeseran paradigma dari perspektif administrasi publik yang tradisional menuju ke paradigma administrasi publik modern (new public administration), ternyata tidak sertamerta mendorong terjadinya perubahan perilaku birokrasi. Kesenjangan antara harapan masyarakat dengan kinerja birokrasi yang makin lebar akhirnya makin menguatkan stigma “red-tape” birokrasi, inefisiensi, dan lain sebagainya.
Besarnya kekuasaan di tangan birokrasi ternyata tidak identik dengan tingginya diskresi birokrasi. Adalah John Lock yang telah menegaskan bahwa diskresi merupakan persyaratan untuk menjalankan pemerintahan yang efektif dan efisien. Ia menegaskan bahwa untuk pelayanan publik kadangkala diperlukan kewenangan diskresi yang tidak diatur dalam undang-undang atau kebijakan tertentu bahkan bisa jadi bertentangan dengan undang-undang yang sudah ada. Hal itulah yang biasa disebut sebagai hak prerogatif eksekutif. Kewenangan diskresi tersebut diperlukan karena tidak ada undang-undang yang mampu mengantisipasi setiap kejadian dan konsekwensi-konsekwensi yang tidak diinginkan. Oleh karenanya eksekutif perlu mendapat ruang dimana mereka dapat mengambil keputusan atau melakukan tindakan diantara alternatif-alternatif yang bisa dilakukannya (Jonh Lock, 1965). Davis menegaskan pula bahwa hukum tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya diskresi (1969). Bryner (1997) juga sependapat dengan John Lock dan Davis, intinya adalah bahwa undang-undang tidak mungkin mengcover seluruh permasalahan publik dan pemerintahan secara riil. Sehingga para birokrat perlu mengambil tindakan diskretif untuk memecahkan permasalahan yang timbul. Jadi orientasi diskresi adalah ’problem solving’, bukan yang lainnya. Namun sejauh ini hukum administrasi negara belum dapat memberi jaminan bagi penerapan diskresi birokrasi sebagai fungsi informal dari administrasi.
Ketiadaan atau terbatasnya ruang diskresi berarti menghambat fleksibilitas dan mengekang profesionalisme birokrat yang berdampak pada rendahnya kualitas pelayanan publik (Aiken dan Hage, 1966; Miller, 1967; Handler, 1996; Scott, 1997). Namun disisi lain, diskresi perlu dibatasi agar keputusan yang diambil oleh seorang pejabat (birokrat) tidak bertentangan dengan hukum dan kepentingan publik yang lebih luas (Scott, 1997). Dengan demikian kewenangan diskresi sebenarnya merupakan respon terhadap situasi ketidak-menentuan seiring dengan dinamika perkembangan tuntutan publik yang semakin pesat (beragam) yang kurang diimbangi dengan kecepatan perkembangan di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan. Sehingga sangat dimungkinkan bagi seorang pejabat (birokrat) menempuh kebijakan diskretif sepanjang tetap berada pada koridor tugas dan tanggungjawabnya demi menjawab problem yang berkembang dalam masyarakat.
Namun benarkah bahwa birokrasi dengan diskresi yang dimiliki tersebut secara signifikan mendorong peningkatan profesionalisme dan kualitas pelayanan publik? Seperti konsep reinventing government yang tengah banyak diadopsi di Indonesia, yang menekankan pentingnya otonomi dan diskresi ternyata tidak serta merta menghasilkan perubahan yang signifikan dalam hal peningkatan kualitas pelayanan publik. Hal ini tidak lain karena upaya reinventing government melalui otonomi masih memerlukan serangkaian prasyarat pendukung yang perlu terlebih dahulu dikembangkan melalui program-program pembangunan kapasitas (capacity building) yang tentunya memerlukan waktu dan proses yang relatif panjang.

Pemanfaatan Ruang Diskresi di Era Otonomi Daerah

Peran pemerintah daerah di masa sebelum reformasi berada di bawah kendali pemerintah pusat, kini begitu “powerfull” dengan besarnya kewenangan otonom yang dimilikinya. Alih-alih dengan kewenangan yang besar itu digunakan untuk memperbaiki kinerja pemerintah dan pelayanan publik, justru dalam prakteknya seringkali pemerintah daerah mengusung praktik-praktik KKN. Kasus-kasus di daerah seperti maraknya proyek titipan, meyimpangan pengelolaan keuangan daerah dan masih banyak kasus lain dalam penyelenggaran pemerintahan daerah membuktikan bahwa telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh ‘penguasa’ daerah.
Dengan Otonomi Daerah sebenarnya diharapkan dapat mendekatkan pemerintah dengan rakyat sehingga kepentingan rakyat daerah semakin mudah terakomodir yang pada gilirannya mempercepat peningkataan kesejahteraan rakyat. Paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan structural-efficiency model telah harus digeser dengan paradigma local-democracy model. Pemerintah daerah harus dapat mengakomodir berbagai perbedaan aspirasi melalui forum-forum stakeholders untuk dapat merumuskan kepentingan umum dan menentukan prioritas dalam proses kebijakan publik di tingkat daerah maupun pusat. Namun dalam perjalanannya, pelaksanaan demokrasi rakyat belum berjalan sebagaimana seharusnya. Suara dan aspirasi rakyat masih sekedar ‘komoditas’ politik yang dimanfaatkan oleh sebagian partai politik dan politisi untuk mencapai kekuasaan. Bahkan lembaga DPRD yang merupakan representasi rakyat seringkali bersikap tidak menjadi wakil rakyat, melainkan hanya mewakili partai politiknya atau bahkan dirinya sendiri.
Peran kontrol lembaga ini terhadap jalannya pemerintahan daerah terutama dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dinilai juga sering melampaui batas kewenangan yang menjadi domain birokrasi. Sehingga terkesan lembaga legislative berusaha mendominasi kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kewenangan DPRD ini bahkan tidak hanya di wilayah domain pembuatan kebijakan namun juga tidak jarang memasuki domain teknis administratif. Banyak kewenangan yang menjadi domain birokrasi Pemerintah Daerah ternyata terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan politik. Dengan demikian jika dibandingkan dengan era sebelumnya, telah terjadi pergeseran lokus dan fokus penggunaan kekuasaan dari eksekutif ke legislatif (Thoha, 2003). Hal ini tercermin dari proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik dimana kepentingan penguasa selalu menjadi kriteria yang dominan dan seringkali menggusur kepentingan masyarakat banyak manakala keduanya tidak berjalan bersama-sama.
Keinginan untuk mendominasi kekuasaan ini sebenarnya tidak perlu dilakukan, mengingat masing-masing telah memiliki domain kewenangan yang jelas. Dari kewenangan yang dimiliki baik legislatif maupun eksekutif, masing-masing dapat menggunakan dan menjalankan kewenangannya itu secara mandiri dan profesional, dapat dipertanggungjawabkan namun tetap membangun kolaborasi dan selalu menegakkan prinsip ’check and balances’ .
Derajat keleluasaan untuk menggunakan kewenangan oleh masing-masing lembaga dan pejabat dalam lembaga tersebut dimaknai sebagai diskresi atau keleluasaan untuk mengambil kebijaksanaan baik dalam proses pengambilan keputusan maupun pelaksanaan kebijakan sepanjang masih berada dalam domain kewenangannya dan tidak melanggar norma-norma etika dan hukum yang lebih luas. Polisi lalu lintas, misalnya, ketika sedang beroperasi di jalan raya mereka memiliki tingkat diskresi yang tinggi untuk mengambil keputusan atau tindakan walaupun harus melanggar rambu-rambu yang ada demi mengatasi masalah kemacetan lalu lintas.
Namun penggunaan ruang diskresi ini seringkali disalah-artikan dan akhirnya menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan. Terutama sejak diberlakukannya Undang-Undang No.22 tahun 1999, banyak kewenangan formal yang mengandung ruang diskresi cukup besar, terutama untuk lembaga legislatif daerah. Kasus penyimpangan diskresi oleh DPRD seperti yang terjadi di Sumatera Barat, dimana pos keuangan DPRD dalam APBD Sumbar Tahun 2002 terdapat pengeluaran untuk berbagai tunjangan kepada anggota Dewan yang melebihi plafon yang ditentukan berdasarkan PP No. 110 tahun 2000. Akibatnya APBD menjadi defisit. Untuk menutupi defisit, diterbitkan perda mengenai pungutan. Diantaranya pungutan mengenai air tanah dan air permukaan, perda retribusi bahan bakar kendaraan bermotor dan retribusi kesehatan (Kompas, 26 Agustus 2003). Contoh seperti itu menunjukkan pemanfaatan ruang diskresi yang tidak tepat. Sebagaimana kita ketahui, Pemerintah Daerah dan DPRD melalui Otonomi Daerah telah diberi mandat oleh Pemerintah Pusat untuk menyusun rencana anggaran dan pengelolaannya di lingkup pemerintahan masing-masing. Kewenangan penuh itu telah diatur dalam UU Susduk DPR/DPRD No 4 tahun 1999 yang dikenal sebagai fungsi budgeting. Dengan mandat yang demikian, DPRD dan Pemerintah Daerah secara lebih leluasa dapat menentukan tata alokasi anggaran sesuai dengan kebutuhan prioritas yang akan disediakan /dibangun/ dikembangkan dalam kurun waktu satu tahun kedepan.
Untuk mencoba mengendalikan penggunaan anggaran yang berlebihan, upaya pemerintah pusat antara lain dengan mengeluarkan PP No 110 Tahun 2000 yang diharapkan menjadi acuan bagi DPRD untuk menyusun anggaran bagi rumah tangganya, namun dikemudian hari dianulir oleh Mahkamah Agung yang mengabulkan judicial review atas PP tersebut. Sehingga kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan baik legislatif maupun eksekutif di daerah terkait dengan basarnya kewenangan daerah otonom pada saat itu masih banyak terjadi. Masing-masing DPRD merasa memiliki hak untuk menentukan item-item kebutuhan yang akan dibiayai oleh APBD tanpa mengacu pada PP 110 Tahun 2000. Padahal Pemerintah melalui Mendagri telah menegaskan bahwa PP 110 masih berlaku sambil menanti adanya revisi atas PP tersebut.
Jika lembaga legislatif menggunakan ruang diskresinya secara ’berlebihan’, kondisi sebaliknya dialami oleh lembaga eksekutif (birokrasi). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak keputusan birokrasi yang dibuat tidak didasarkan pada pertimbangan profesionalisme namun lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan pejabat politik. Domain kewenangan birokrasi pemerintah hampir-hampir tidak menyisakan ruang diskresi bagi pejabat birokrasi untuk mengambil keputusan secara mandiri dan profesional, baik dalam bidang perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan di daerah, maupun dalam persoalan kepegawaian.
Dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah baik pada domain politis yang di sahkan dalam Peraturan Daerah hingga proses perencanaan kerja tahunan pada tataran teknis, ternyata banyak diwarnai adanya intervensi oleh “kepentingan-kepetingan lain” yang datang dari oknum-oknum anggota DPRD maupun tokoh partai politik. Terdapat dua alasan yang dapat menjelaskan fenomena ini adalah: (1) rendahnya kemampuan aparat birokrasi pemerintah daerah sehingga tidak memiliki cukup keahlian dalam menyusun TOR; (2) apatisme aparat birokrasi karena bagaimanapun juga tetap akan ada intervensi dari pihak-pihak tertentu. Atas kedua alasan inilah akibatnya birokrasi pemerintah terkesan tidak bekerja secara profesional sesuai tugas dan fungsinya.
Demikian pula dalam pelaksanaan program pembangunan, birokrasi pemerintah daerah sering mendapat ’tekanan’ dari pejabat politik. Kebijakan di bidang teknis operasional yang merupakan kewenangan birokrasi ternyata masih diintervensi oleh pejabat politik – terutama dari para bupati dan walikota--. Ambil sebuah contoh di kabupaten Bima, program bantuan ternak sapi yang seharusnya diberikan kepada para peternak dan bantuan bibit padi kepada para petani untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, tetapi dalam pendistribusiannya diberikan secara merata kepada seluruh penduduk desa tanpa memperhatikan kriteria teknis yang ada. Diskresi tersebut dilakukan bukan atas dasar kebutuhan riil di masyarakat namun karena kepentingan politik ’balas jasa’ bupati dan untuk mendapat simpati rakyat. Meskipun resiko ketidak efektifan kebijakan bantuan tersebut jelas lebih besar namun birokrasi terpaksa melaksanakan ’perintah’ bupati tersebut.
Intervensi politik terhadap domain kewenangan birokrasi lebih besar lagi terjadi dalam penataan kepegawaian di jajaran birokrasi. Penempatan dan pengangkatan pejabat di era otonomi ini tidak lagi mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku, persyaratan administratif dan kompetensi hampir-hampir tidak lagi menjadi pedoman. Sebagai pengganti persyaratan yang terpenting adalah dukungan pejabat yang bersangkutan terhadap partai politik yang sedang berkuasa. Akibatnya semakin banyak pejabat birokrasi pemerintah daerah yang kurang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi terhadap tugas dan tanggungjawabnya secara profesional. Kepentingan politik sudah menjelma menjadi ’panglima’ dalam setiap gerak langkah pejabat demi menjaga ’mulusnya’ hubungan dengan pemimpin politik agar jabatan yang sudah di tangan tidak melayang. Contoh menarik yang dapat diangkat dalam hal ini adalah kasus mutasi di Dinas Pendidikan, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bima yang terjadi hampir setiap 4-6 bulan sekali tanpa didukung alasan profesional yang jelas. Seorang Kepala Cabang Dinas yang baru diangkat 6 bulan tiba-tiba diberhentikan hanya karena sang istri tidak bersedia mundur dari kepengurusannya di sebuah partai politik lain, dan masih banyak contoh kasus lainnya.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa di era otonomi daerah ini, diskresi (keleluasaan membuat keputusan pada domain kewenangannya) birokrasi semakin sempit karena terjadinya politisasi birokrasi secara besar-besaran. Jika dibandingkan dengan era sebelum reformasi dimana kekuatan politik yang berkuasa hanya satu yakni Golkar, masih lebih kondusif daripada banyak partai politik yang saling memperebutkan dukungan birokrat. Dalam birokrasi akhirnya terjadi ’pengelompokan’ pendukung dan selalu diliputi rasa saling curiga dan was-was yang pada gilirannya justru mengganggu tugas dan tanggungjawab utamanya menyelenggarakan pelayanan publik dengan sebaik-baiknya.

Purna wacana
Permasalahan klise yang sulit diatasi adalah rendahnya profesionalisme birokrasi. Padahal dari segi kompetensi sumberdaya manusianya, birokrasi dapat dikatakan lebih unggul karena bagaimanapun juga rekrutmennya masih menggunakan kriteria dan mekanisme seleksi yang jelas (walaupun sering dilanggar). Berbeda dengan counterpartnya di lembaga legislatif yang pola rekrutmennya hanya mengandalkan suara terbanyak. Sumber dari permasalahan itu adalah ’ketidakberdayaan’ birokrasi dalam menangkal intervensi ’kepentingan’ baik politik maupun finansial. Sebagaimana konsepsi Weber dan pengikutnya, karena lingkungan birokrasi yang sarat kepentingan itulah maka perlunya prinsip ideal birokrasi agar selalu sadar dan berusaha menegakkan prinsip tersebut.
Berangkat dari pandangan tersebut birokrasi sudah seharusnya memiliki ruang diskresi yang memungkinkan pengambilan keputusan secara mandiri, responsif dan semata-mata ditujukan untuk mengatasi masalah riil di lapangan. Asumsi yang berkembang, diskresi itu berbahaya sehingga harus dibatasi atau bahkan tidak perlu ada. Namun dalam hal ini penulis berpendapat lain, yakni diskresi birokrasi itu justru perlu dilindungi sehingga siapapun yang akan memanfaatkan birokrasi untuk kepentingan dirinya atau kelompok akan mendapat sanksi yang tegas., Pejabat setingkat Sekretaris Daerah dan Kepala Dinas perlu mendapat perlindungan ketika mengambil keputusan diskresi namun masih dalam batas kewenangannya dan demi mengatasi masalah yang lebih urgen. Garis batas kewenangan antara pejabat politik dan birokrasi perlu dipertegas agar tidak ada yang saling mengintervensi dan mendominasi diantara mereka yang pada gilirannya justru merugikan kepentingan publik.

Referensi:
Albrow, M. 1996. Birokrasi (Terjemahan). Yogjakarta: PT.Tiara Wacana.
Bardach, E., dan R.A. Kagan. 1982. Goin by the book: The Problem of Regulatory Unreasonableness. Philadelphia: Temple University Press
Bohman, J. 1996. Public deliberation: Pluralism, complexity and democracy. Cmbridge. MA: MIT Press
Bryner, G. 1987. Bureaucratic Discretion: Law and Policy in Federal Regulatory Agencies. New York: Pergamon Press
Downs, A. 1976. Inside bureaucracy. Boston: Little, Brown and Company.
Dwiyanto, A.dkk . 2003. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Jogjakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM
Fanany, C. 1993. Diskresi-Implementatif sebagai Salah Satu Upaya Membumikan Perencanaan Strategis. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.
Ferlie, E. et al. 1996. The New Public Management In Action. Oxford. Oxford University Press
Fiorina, M. P. 1986. Legislator uncertainty, legislative control and the delegation of legislative power. Journal of law, Economics and Organization, 2:33-51
Frederickson, H.C.1980. The New Public Administration. Tuscaloosa.University of Alabama Press.
Gailmard, S. 2002. Expertise, Subversition and Bureaucratic Discretion. Journal of Law, Economic and Organization, Vol. 18, 2: 536-555
Hadiz, V.R. 1989. Politik, budaya dan perubahan sosial: Sebuah rekonstruksi dan kritik terhadap pemikiran Ben Anderson. Prisma, 2:29-44
Handler, J.F. 1996. Down from bureaucracy. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Harris, S. 2000. Paradigma Baru Otonomi Daerah. Kompas. 28 April.
Hidayat, S. 2002. Refleksi realitas otonomi daerah dan tantangan ke depan. Jakarta. Pustaka Quantum,
Hossein, B. 2001. Implementasi kebijakan desentralisasi dan idealisasi kebijakan desentralisasi. Bisnis dan birokrasi: Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. IX/2/Mei/2001
Huges, O. E.1994. Public management and Administration: An Introduction. New York: Martin’s Press
Hunold, C. 2001. Corporatism, Pluralism, and Democracy: Toward a Deliberative Theory of Bureauratic Accountability. An International Journal of Policy an Administration, Vol. 14, No. 2, April, 151-167
Kelly, R.M. 1994. Theories of justice and street-level discretion. Journal of public administration research and theory, 4: 119-140
Madlenka, K. 1980. The Urban Bureaucracy and The Chicago Political Machine: Who Get What and Limits of Political Control. The American Political Science Review. Vol. 74, P.991
McNollgast. 1987. Administative procedures as instruments of political control.3.
Meier, K.J. 1993. Politics and bureaucracy: Alienation among industrial scientists and engineers. American sociological revie. 32: 755-768
Miller, G.A. 1967. Professional in Bureaucracy: Alienation among Industrial Scientists and Engineers. American Siciological Review, 32: 755-768
Robbins, Stephen, 1996, Organizational behavior: concept, controversies, applications, 7th edition, Prentice hall, Inc., Engglewood Cliffs, New Jersey
Rourke, Francis E., 1984, Bureaucracy, Politics and Public Policy, 3th edition, New York: Macmillan
Schein, Edgar, 1985, Organizational culture and leadership, Jossey-Bass, San Francisco
Scott, Patrick G., 1997, Assesing Determinants of Bureacratic Discretion: An Experiment in Street-level Decision Making, Journal of Public Administration Research and Theory, January, 7:35-57
Shapiro, Martin, 1988, Who guard the guardian? Judicial control of administration, Athens, GA: University of Giorgia Press
Thoha, Miftah, 2003, Birokrasi dan politik di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Usman,Syaiku dan Mawardi,Sulton, 2003, Realitas Otonomi Daerah:Tantangan bagi Capacity Building, dalam Warsito dan Yuwono,Teguh,2003, Otonomi Daerah: Capacity Building dan Penguatan Demokrasi Lokal, Puskodak-Undip,Semarang.
Wilson, James Q., 1989, Bureaucracy: What government agencies do and why they do it, New York: Basic Books
Yuwono, Teguh, 2002, Otonomi Daerah berjalan di tempat, Harian Umum Suara Merdeka, 28 Desember
Kompas, 6 Juli 2003
Kompas, 26 Agustus 2003


2 komentar:

  1. birokrat.
    Diperlukan adanya garis batas kewenangan antara pejabat politik dan birokrasi perlu dipertegas agar tidaj ada yang saling mengintervensi & mendominasi diantara keduanya, agar tidak merugikan kepentingan publik.

    Komentar dari MOHAMAD NURWAHIB PERUM GKM 22 JOMBANG

    BalasHapus
  2. Seorang administrator dituntut memiliki kemampuan untuk memilih diantara alternatif dan memutuskan bagaimana suatu kebijakan pemerintah harus diimplementasikan dalam situasi situasi tertentu, untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani berbagai kepentingan masyarakat yang berkembang semaikin luas dan kompleks.
    Pemerintah menerapkan otonomi daerah mempunyai tujuan untuk meningkatkan pelayanan public dan memajukan perekonomian daerah dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada kenyataan yang ada dilapangan kualitas pelayanan public masih rendah dikarenakan masih rendahnya professionalisme birokrasi.
    Keburukan kinerja birokrasi didominasi oleh chief eksekutif disebabkan keterbatasan yang ada pada politisi, kebanyakan politisi kurang berkualitas sehingga terjadi kevakuman dalam pembuatan suatu kebijkan.
    Hukum administrasi Negara saat ini belum dapat memberi jaminan bagi penerapan diskresi birokrasi sebagai fungsi informal dari administrasi.
    Dengan terbatasnya ruang diskresi berarti menghambat fleksibilitas dan mengekang profesionalisme birokrat yang berdampak pada rendahnya kualitas pelayanan public.
    Seorang birokrat dimungkinkan menempuh kebijakan diskretif sepanjang tetap berada pada koridor tugas dan tanggungjawabnya demi menjawab problem yang berkembang dalam masyarakat. Diera otonomi daerah saat ini diskresi birokrasi semakin sempit karena terjadinya politisasi birokrasi secara besar-besaran, berbeda dengan era sebelum reformasi dimana kekuatan politik yang berkuasa hanya satu masih lebih kondusif, berbeda dari pada saat ini, banyak partai politik yang saling memperebutkan dukungan birokrat.
    Diperlukan adanya garis batas kewenangan antara pejabat politik dan birokrasi perlu dipertegas agar tidaj ada yang saling mengintervensi & mendominasi diantara keduanya, agar tidak merugikan kepentingan publik.

    Komentar dari MOHAMAD NURWAHIB PERUM GKM 22 JOMBANG

    BalasHapus