Sri Juni Woro Astuti's Blog


Welcome to Sri Juni Woro Astuti's Blog

Minggu, 06 Maret 2011

Pengukuran keberhasilan Manajemen Sumber Daya Manusia

Jurnal Administrasi Publik. Vol. I, No. 2, April 2004
Abstract
This article highlights the measurement of human resource management practices. Critics characterize civil service and personnel systems as rigid, regressive, rule bound, and cumbersome. Public managers complain that existing systems impede their ability to manage and make critical personnel decisions.
In response to the litany of concerns raised by stakeholders in the name of performance and efficiency, various personnel reforms have swept through government. Public managers have been encouraged to look to the private sector for examples of good human resource management and to close the gap between the rigidity of civil service systems and the flexibility of human resource practices in private industry.
Key Words: Pengukuran, Manajemen Sumber Daya Manusia, Kinerja


Pendahuluan
Sebagaimana kita sadari bahwa lingkungan bisnis saat ini semakin menuntut kita agar lebih memperhatikan aspek kualitas, mengingat dalam era perdagangan bebas faktor harga saja tidak cukup untuk bersaing. Dengan demikian tidak ragu-ragu lagi bahwa upaya peningkatan kualitas sangat diperlukan guna pencapaian tujuan organisasi. Peningkatan kualitas tersebut hendaknya dipandang sebagai bagian dari proses yang terus berlanjut yang diupayakan oleh semua unsure dan anggota organisasi. Upaya tersebut sesungguhnya berkait erat dengan masalah-masalah sumber daya manusia, sehingga dengan demikian peranan manajemen sumberdaya manusia menjadi sangat vital dalam menentukan kesuksesan sebuah perusahaan atau organisasi manapun juga. Lebih-lebih kenyataan menunjukan bahwa sumberdaya manusia saja tidak cukup otomatis dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas tanpa adanya manajemen SDM yang efektif.
Die era yang makin kompetitif ini telah banyak yang menyadari pentingnya menerapkan konsep Total Quality Management (TQM) pada perusahaan masing-masing. Hal ini tidak lain adalah upaya peningkatan kualitas secara terprogram, sistematis, dan berkesinambungan. Sebagaimana dikutip dari pendapat Evans dan Lindsay (1993), TQM adalah suatu pendekatan yang integrative guna peningkatan kualitas barang dan jasa secara terus-menerus melalui partisipasi dari semua pihak dan organisasi. Untuk menggalang partisipasi ini nampaknya tidak begitu mudah. Hal ini merupakan salah satu tantangan bagi manajemen SDM dalam menjalankan fungsinya, khususnya dalam tiga hal, yakni to attract (menarik), to retain (mempertahankan), dan to develop (mengembangkan) SDM yang potensial.
Adalah suatu tugas berat bagi manajemen SDM, sehingga fungsi tersebut tidak cukup dibebankan kepada satu divisi atau manajer dalam organisasi melainkan fungsi manajemen SDM adalah tanggung jawab dari setiap manajer operasi atau manajer bagian dan semua anggota organisasi tersebut. Dengan demikian maka telah terjadi pergeseran pandangan tentang manajemen SDM dari personnel management yang bersifat teknis prosedural tentang pengelolaan kepegawaian menuju manajemen SDM yang mempunyai peran strategis bagi organisasi.
Adalah suatu kebutuhan bagi perusahaan atau organisasi yang telah mencoba mengimplementasikan TQM dalam strategi perusahaannya, untuk mulai melakukan evaluasi atau pengukuran keberhasilan kegiatan-kegiatan manajemen SDM-nya. Sebab keberhasilan manajemen SDM merupakan ujung tombak bagi kesuksesan implementasi TQM. Semakin kita menyadari pentingnya mengukur keberhasilan manajemen SDM, semakin kita terbentur pada kondisi dimana pengukurannya tidak semudah yang dibayangkan. Hal ini dikarenakan banyak kegiatan manajemen SDM yang tidak dapat diukur secara kuantitatif, melainkan kualitatif. Sehingga dalam hal ini sangat rawan akan munculnya subyektivitas yang sangat tinggi. Selain itu upaya pengukuran manajemen SDM juga terpuruk pada lemahnya standar atau kurang jelasnya kriteria-kriteria yang dapat ditampilkan untuk mengevaluasi sejauh mana keberhasilan manajemen SDM.
Pentingnya Pendekatan Quality Improvement Dalam Kegiatan Manajemen SDM
Program peningkatan kualitas, yang kini telah menjadi perhatian utama bagi organisasi bisnis dan manufaktur, sudah saatnya diadopsi oleh semua jenis organisasi baik it organisasi non proit. Apapun itu organisasi tentunya semuanya menginginkan adanya peningkatan atau eberhasilan, oleh arenanya makna darri kualitas itu sendiri hendaknya dipersepsi berdasarkan misi, visi dan tujuan dai masing-masing organisasi.
Untuk memulai dan menjaga kesinambungan program peningkatan kualitas ini sesungguhnya merupakan masalah hubungan kemanusiaan atau masalah sumberdaya manusia dalam organisasi. Keberhasilan program tersebut bergantung pada bagaimana pengetahuan, kemampuan teknis, perilaku, sikap, motivasi dan kerjasama dalam suatu teamwork. Tanpa dukungan semua maka mustahil suatu perusahaan dapat meningkatkan kualitasnya.
Khususnya untuk organisasi yang bergerak di bidang jasa seperti pendidikan, rumah sakit, perhotelan, dan lain sebagainya, TQM dapat diimplementasikan untuk meraih kinerja yang lebih baik melalui penekanan pada manajemen SDM sebagai input yang esensial baginya. Untuk itu manajemen SDM hendaknya didesain berdasarkan orientasi pada peningkatan kualitas melalui: pertama, transformasi budaya organisasi menuju pada quality vision. Menciptakan budaya kualitas inilah yang dirasa paling sulit dan harus dilakukan secara bertahap dalam kurun waktu yang relatif lama. Pertama yang perlu dilakukan untuk itu adalah mencari faktor-faktor penghambat masuknya budaya kualitas dan berusaha menghilangkan faktor penghambat tersebut, baru dapat diciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya budaya baru yang dikehendaki. Budaya kualitas ini dapat diupayakkan melalui training bagi tingkatan manajemen, dukungan dari top manajemen, sosialisasi melalui media organisasi, bulletin, jargon-jargon, pengarahan lisan dari pimpinan, dan perilaku konsekuen sehari-hari dari top manajer.
Kedua, perubahan gaya manajemen dari birokrasi menuju partisipatif yang pada gilirannya akan memunculkan teamwork dynamic dalam organisasi. Gaya birokrasi ini diakui atau tidak masih tetap eksis dalam tubuh beberapa perusahaan atau oraganisasi sebagai imbas dari budaya yang lebih luas selama kurun waktu yang lama. Sehingga sifat birokrasi itu masih sulit dihilangkan sama sekali. Perubahan yang perlu segera muncul adalah fleksibilitas manajemen dengan tidak meninggalkan tujuan utama organisasi. Proses penyelesaian suatu masalah yang terlalu lama, kesulitan komunikasi darri bawah ke atas, dan lain sebagainya adalah salah satu refleksi sifat birokrasi yang masih hadir dalam oganisasi. Dalam rangka pengembangan teamwork dynamic itu tidak hanya diperlukan training dalam hal kemampuan teknis tetapi yang lebih penting adalah emampuan interpersonal seperti komunikaso, motivasi dan koordinasi.
Ketiga, menciptakan peers komitmen merupakan suatu langkah yang mutlak dalam mendorong lingkungan yang partisipatif antar anggota. Hendaknya, hal ini ditindaklanjuti dengan sistem sumbang saran dan konsultasi (consultancy dan suggestion systems) yang efekktif baik dari lingkungan organisasi internal maupun eksternal.
Keempat, melakukan restrukturisasi reward system merpakan hal penting yang perlu dililakukan guna melengkapi dan sebagai konsekuensi logis dari langkah-langkah terdahulu. Reward system dimaksud bukan hanya dalam artian yang ekstrinsik tetapi juga intrinsic. Banyak manajer yang kurang memperhatikan imbalan intrinsic ini padahal efek yang ditimbulkannya bisa jadi melebihi imbalan ekstrinsik.
Kelima, setelah semua hal diatas dapat dilakukan maka hal terpenting selanjutnya adalah menciptakan dan menjalankan sistem evaluasi yang efetif. Sistem evaluasi ini sangat dibutuhkan guna memberikan informasi selengkapnya tentang pencapaian dan kemajuan hasil karya kelompok, individu dan organisasi. Evaluasi dan pengukuran hasil karya ini hendaknya tidak hanya dari output yang dihasilkan tetapi juga mulai dengan input kemudian bagaimana proses yang dijalankan untuk mencapai hasil tertentu. Yang penting lagi evaluasi harus didasarkan pada kepuasan pelanggan atau pengguna baik internal maupun eksternal users. Hal ini berarti bahwa setiap fungsi dan kegiatan pada satu bagian dievaluasi untuk menjamin elancaran kegiatan pada bagian yang lain. Sebagaimana pendapat Williams (1994) keberhasilan implementasi TQM hendaknya dimulai dengan penilaian terhadap situasi secara jujur dan terbuka.
Pengukuran Keberhasilan Fungsi HRD dalam Konteks TQM
Berangkat dari pentingnya evaluasi dan pengukuran keberhasilan setiap fungsi dan kegiatan dari masing-masing bagian organisasi, maka fungsi manajemen SDM menjadi mendesak untuk mendapat perhatian. Dengan pengukuran keberhasilan manajemen SDM, perusahaan atau organisasi akan banya memperoleh manfaat antara lain:
a. Bermanfaat dalam menjustifikasi keberadaan HRD serta anggaran yang telah digunakan selama ini, dapat meningatkan fungsi HRD dengan jalan menghilangkan kegiatan yang dirasa urang bermanfaat dan meningkatkan kegiatan yang lebih bermanfaat,
b. Memberikan umpan balik kepada seluruh karyawan dan manajer tentang apa yang masih perlu ditingkatkan,
c. Menjaga konsistensi setiap kegiatan dengan tujuan organisasi secara umum.
Selain keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh organisasi dengan pengukuran fungsi manajemen SDM tersebut ternyata dalam pelakksanaannya tidak terlepas dari banyaknya hambatan dan kesulitan, antara lain karena banyak kegiatan manajemen SDM yang sulit untuk dikuantifikasikan sehingga penilaian cenderung bersifat subyektif. Sifat subyektivitas inilah yang oleh sebagian pengamat dirasa sebagai kendala utama dalam upaya pengukuran fungsi manajemen SDM. Namun bagaimanapun setiap fungsi sesungguhnya mutlak mendapatkan evaluasi apakah telah berjalan dengan maksimal atauah sebaliknya. Beberapa bentuk/kriteria pengukuran yang biasa digunakan adalah : ukuran hasil (output), lost time, turnover, absensi, permintaan pindah, dan rating of individual performance. Selain itu sesungguhnya masih banyak hal yang perlu dilakukan jajak pendapat guna mengukur keberhasilan fungsi manajemen SDM, antara lain :
a. Sifat kooperatif HRD dengan bidang-bidang lain dalam organisasi,
b. Opini manajer lini atau operasi terhadap efektivitas peran HRD,
c. Tingkat keterbukaan HRD terhadap setiap kayawan sehubungan masalah-masalah kebijakan organisasi,
d. Tingkat kepercayaan karyawan terhadap petugas-petugas dalam lingkungan HRD,
e. Kemampuan merespon dengan cepat dan efektif terhadap setiap pertanyaan yang disodorkan kepada HRD,
f. Tingkat kepuasan dari seluruh anggota yang memanfaatkan jasa HRD.
Kriteria pengukuran di atas akan dapat dijalankan seobyektif mungkin apabila standar atau tolak ukurnya sudah ditentukan dengan jelas walaupun tidak bersifat kuantitatif. Salah satu upaya yang dapat membantu mengurangi subyektiitas penilaian adalah dengan melakukan bechmaking, yakni mencari pembanding bentuk penilaian yang lebih baik pada situasi dan kondisi dan relatif sama dengan organisasi yang bersangkutan.
Akhirnya, walaupun upaya pengukuran atau evaluasi terhadap kegiatan/fungsi manajemen SDM ini belum begitu membudaya di lingkungan organisasi-organisasi di Indonesia, namun sesungguhnya kita telah berada pada era transisional. Meninggalkan manajemen konservatif menuju manajemen yang berorientasi pada kualitas secara total dengan menerapkan konsep Manajemen Mutu Terpadu (TQM). Dalam era transisi inilah peran manajemen SDM semakin penting dan startegis bagi perusahaan, sehingga sudah waktunya perhatian kita curahkan untuk lebih mengefektifkan fungsi mereka. Untuk itu pengukuran keberhasilan fungsi HRD/HRM menjadi sesuatu yang mutlak dilaksanakan dengan terlebih dahulu melakukan benchmark guna menentukan standar dan kriteria seobyektif mungkin. Keberhasilan atau kegagalan dalam rencana, startegi, dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan manajemen SDM mempengaruhi keseluruhan keberhasilan dan kemajuan organisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar