Sri Juni Woro Astuti's Blog


Welcome to Sri Juni Woro Astuti's Blog

Kamis, 20 Februari 2014

The need to revise the policy of regional development planning mechanism :
  to synchronize the absorption of Community aspirations in Indonesia *)

Sri Juni Woro Astuti

Abstract

Regional development planning is a process of decision-making on regional development policies and programs, to improve the community welfare in the region. Therefore, in formulating local development plans should always be oriented to the public interests, especially to prevent the creation of wealth gap between regions, preserving local culture, and can prevent the community dissatisfaction.

There are five approaches that need to be considered in the formulation of local development planning, namely: (1) political approach, (2) technocratic approach, (3) Participatory Approach, (4) Bottom-up approach, and (5) Top Down Approach. But in practice, those five approaches can not be applied effectively and simultaneously, especially the participatory approach is still being rhetoric. This would result in development planning output generated is not in accordance with the aspirations and interests of the community. Therefore, this study aimed to analyze the weakness of planning mechanisms that lead to failure in the aspiration absorption process. And secondly to analyze what factors are causing the failure in synchronizing the community aspirations whether committed by the legislative or executive.

Results of this study identified several things; firstly, that the political approach is the most dominant among other approaches within local development planning process. Secondly, there is a weakness in the  local development planning mechanism.
therefore it becomes very necessary to revise
  the policy related to regional development planning cycle and mechanisms.

Keywords: Development,  planning, community aspirations

*) Paper presented on AAPA Annual Conference, 6-8 February 2014, Cebu, Philipina
Enhancing Trust, Transparency And Accountability 
in The Local Development Process

SRI JUNI WORO AND SUPRIYANTO
Public Administration, Faculty of Social and Political Sciences, 
Wijaya Putra University, Surabaya, Indonesia
yuni_woro@yahoo.com 

Abstract. 
Research indicates that accountability system has not been effectively implemented yet and the pattern is found out to be bureaucratic. In order to revitalize this system, we should emphasize and pay more attention on: (1) the improvement of capacity in strategic planning formulation process, and (2) the effectiveness of performance monitoring and evaluation. To accelerate both, the support of proper Information Communication Technologies (ICTs) and e-Government system is of  vital importance. This research result, that revitalization for accountability system that emphasizes the need to establish a new functional institutions, namely GAPURA KOTA model.

Keywords: 
information and communication technologies (ICTs), gapura kota model, accountability system

Abstrak.
Berdasarkan hasil penelitian, pelaksanaan sistem akuntabilitas belum efektif dan terdapat kecenderungan pola yang birokratis. Dalam rangka untuk merevitalisasi sistem ini, sebaiknya menekankan dan membayar perhatian lebih pada: (1) peningkatan kapasitas dalam proses perumusan perencanaan strategis, dan (2) efektivitas dari tindakan pengawasan dan evaluasi. Penelitian ini bertujuan untuk memperkenalkan model pembangunan institusi yang berdasarkan teknologi informasi dan komunikasi. Hasil penelitian ini, mengusulkan revitalisasi akuntabilitas yang menekankan kebutuhan untuk membangun lembaga-lembaga fungsional baru, yaitu model GAPURA KOTA

Kata kunci: teknologi informasi dan komunikasi (TIK), gapura kota model, sistem akuntabilitas

http://journal.ui.ac.id/index.php/jbb/article/view/1865/1461
Enhancing Trust, Transparency and Accountability in the Local Development Process: Case on Community 
Involvement Using ICTs in Surabaya Local Government
http://www.eropa.org.ph/uploads/8/0/4/8/8048512/eropa_daily_bulletin_2_oct_31_2012_final.pdf

Pelajaran Administrasi Publik Asia dari Forum AAPA

VISHNU JUWONO
Pada 6–8 Februari 2013 di Hotel Mandarin Plaza, Cebu, Filipina, akademisi untukbidangadministrasipublik di negara-negara Asia yang tergabung dalam Asian Association forPublicAdministration(AAPA) berkumpul dalam sebuah acara konferensi tahunan penting di Cebu, Filipina.

Acara ini bertemakan ”Studi dan Praktik dari Administrasi Publik di Asia dan Seluruh Dunia: Berbagai Tren, Nuansa, dan Tantangannya”. Dalam sambutan Ketua AAPA Profesor Pan Suk Kim mempunyai harapan bahwa kongres AAPA ini akan menjadi forumyangbermanfaatbagi para praktisi, akademisi, dan mahasiswa di bidang administrasi publik untuk belajar berbagai teori maupun isu-isu praktis terkini di bidang administrasi publik.

Selain itu, Prof Pan— yang berasal dari Universitas Yonsei di Korea Selatan—juga mempunyai harapan dengan mulainya tampil forum administrasi publik negara-negara Asia pada tingkat dunia, mereka harus membuktikan pada berbagai pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan bahwa administrasi publik negaranegara Asia memiliki kualitas tingkat dunia.

Tingkat partisipasi akademisi Indonesia dalam pertemuan tahunan AAPA ini cukup tinggi yang diwakili akademisi dari Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Padjadjaran, Universitas Jenderal Sudirman, Universitas Riau, dan Universitas Wijaya Karya. Akademisi Indonesia menghadiri forum APPA ini dipimpin oleh Dr Eko Prasojo, wakil menteri pemberdayaan aparatur negara (PAN) dan reformasi birokrasi yang juga guru besar administrasi negara di FISIP UI.

Pada hari pertama, 6 Februari 2014, Prof Eko Prasojo menyampaikan presentasi yang berjudul Public Administration, Public Governance, and International Cooperation among Asian Countries. Dia menjelaskan bahwa dalam berbagai indikator tata kelola yang diterbitkan di antaranya oleh Bank Dunia, Transparency International (TI), International Financial Cooperation (IFC), World Economic Forum (WEF), dan PERC menunjukkan bahwa hanya beberapa negara/negara bagian Asia (Singapura, Hong Kong, Jepang, dan Korea Selatan) yang menempati urutan papan atas tingkat dunia dari indeks negara-negara yang kompetitif.

Sedangkan kebanyakan negara-negara berkembang besar Asia seperti China, India, dan Indonesia tidak dalam posisi yang baik pada berbagi indeks tersebut. Jika tidak membenahi sektor publiknya, negara-negara Asia ini akan mempunyai potensi untuk terjebak dalam kondisi sebagai negara dengan pendapatan menengah dan tidak bisa bergerak menjadi negara maju.

Prof Eko juga berkesempatan untuk menceritakan kondisi dari sektor publik di Indonesia di mana menghadapi tiga tingkatan korupsi di Indonesia yakni tingkat jalanan (menyuap untuk KTP, SIM, dan IMB), tingkat menengah (pengadaan, rekrutmen, dan promosi), dan tingkatan kebijakan (korupsi melalui kebijakan, APBN). Untuk menghadapi tantangan tersebut, Prof Eko menjelaskan mengenai usaha yang dilakukan pemerintah dalam memperbaiki sektor publik Indonesia pada tingkat pusat.

Ini terkait pemberlakuan undang-undang mengenai pelayanan publik dan yang baru saja disahkan DPR pada 15 Januari 2014 yakni Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN). Selain itu juga dalam kebijakan pemerintah telah melakukan berbagai inisiatif reformasi administrasi di Indonesia seperti perampingan struktur organisasi, sistem rekrutmen dan promosi terbuka bagi PNS, perbaikan dalam sistem e-government,dan perbaikan remunerasi.

Pada sesi yang lain Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prijono Tjiptoherijanto—yang juga mantan kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN)— mencoba menjelaskan reformasi birokrasi di Indonesia dan Thailand dengan judul Between Two Cultures: Civil Service Reform in Thailand and Indonesia. Berdasarkan hasil penelitiannya ditemukan beberapa pola yang mirip di dua negara di mana beberapa faktor yang penting dihadapi adalah faktor pengaruh politik, pelaksanaan, dan implementasi dari kebijakan teknologi informasi dan komunikasi, serta pemimpin dengan gaya kepemimpinannya.

Untuk ke depan Prof Prijono mengidentifikasi beberapa formula untuk keberhasilan reformasi birokrasi berdasarkan hasil penelitiannya di Indonesia dan Thailand yakni seleksi kompetitif untuk rekrutmen, promosi berdasarkan kinerja serta kompetensi, proteksi terhadap netralitas PNS, dan tersedia kompensasi yang memadai. Penulis sendiri pada hari kedua konferensi AAPA pada 7 Februari 2014 berkesempatan untuk mempresentasikan makalah dengan judul Building Trojan Horse: Lessons Learn in Establishing an Effective Anti- Corruption Commission in Indonesia.

Melalui makalah ini, saya menjelaskan mengenai sejarah berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perumusan Undang-Undang KPK, tantangan yang dihadapi dalam proses pembangunan institusi KPK, dan proses seleksi dari pimpinan KPK 2003 dan 2007. Saya menyimpulkan bahwa kesuksesan dari pembentukan dan berfungsinya KPK karena ada kolaborasi dari para komponen reformis di dalam pemerintah serta DPR dengan dibantu masyarakat sipil dan para donor internasional.

Sementara para pemakalah asal Indonesia lain pada hari kedua konferensi AAPA membahas isu administrasi publik dihubungkan dengan kebijakan desentralisasi dan pemerintah daerah. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Mandala Manurung dalam makalahnya membahas dinamika dari sistem Pemerintah Indonesia terkait pengaruh kebijakan desentralisasi dengan kesejahteraan sosial serta peranan birokrat dalam peningkatan kualitas pemerintah.

Sedangkan Sri Juni Woro Astuti, dosen Universitas Wijaya Karya, Surabaya, melalui makalahnya mengusulkan perubahan mekanisme perencanaan pembangunan di daerah melalui lima pendekatan agar secara maksimal dapat menyerap aspirasi komunitas di daerah. Makalah dosen Universitas Riau Febri Yuliani melakukan evaluasi terhadap program sertifikasi tanah untuk masyarakat miskin di Kabupaten Rokan Hilir pada 2008.

Berdasarkan studinya ini Febri menjelaskan, agar program sertifikasi tanah sukses di Kabupaten Rokan Hilir, diperlukan sumber daya manusia aparatur pemerintah Kabupaten Rokan Hilir yang mumpuni serta regulasi yang dapat diandalkan. Ketua Panitia Penyelenggara Kongres AAPA 2014 Alex Brillantes—yang juga komisioner dari Komisi Pendidikan Tinggi Filipina—melaporkan pada hari terakhir, 8 Februari 2014, mengenai keberhasilan dari Kongres AAPA yang mampu mengundang 270 peserta dari berbagai negara Asia seperti Korea Selatan, Jepang, China, India, Thailand, dan Indonesia.

Namun, yang menarik bagi penulis, ada semacam konsensus setidaknya dari pimpinan AAPA mengenai agenda ke depan yang perlu dikerjakan. Ketua AAPA yang baru terpilih kembali, Prof Pan Suk Kim, menyampaikan bahwa kita perlu secara sistematis mendokumentasikan dan memformulasikan teori baru mengenai sistem administrasi publik Asia karena terbukti banyak berbagai inisiatif reformasi administrasi publik yang berhasil di negara-negara Asia.

Ini juga diamini Prof Prabhat Datta dari Universitas Calcutta, India, yang mengatakan bahwa terbukti selama ini pendekatan yang secara 100% meniru atau menggunakan teori administrasi publik dari negara Barat (Amerika Serikat atau Inggris) tanpa memperhitungkan konteks lokal, banyak yang tidak berhasil. ●

VISHNU JUWONO
Dosen Administrasi Publik FISIP
Universitas Indonesia dan
Kandidat Doktor di London School of Economics (LSE)