Sri Juni Woro Astuti's Blog


Welcome to Sri Juni Woro Astuti's Blog

Rabu, 12 Januari 2011

Penggunaan ruang diskresi birokratik dalam konteks politik lokal dan sistem akuntabilitas publik di era otonomi daerah

Studi tentang diskresi birokratik ini sesungguhnya merupakan bagian dari upaya untuk melakukan pengamatan dalam lensa-lensa lebar terkait dengan penyelenggaraan administrasi publik yang seharusnya sudah memasuki paradigma baru dalam tatanan pemerintahan dan pelayanan publik. Konsepsi reformasi birokrasi yang diharapkan dapat mengubah kinerja birokrasi menjadi lebih profesional dan akuntabel perlu dikawal dengan berbagai cara atau sarana. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu 'jendela' yang memungkinkan untuk melihat secara lebih jernih kompleksitas permasalahan yang menghambat pencapaian tujuan reformasi birokrasi.
Berdasarkan analisis hasil penelitian, thesis yang dibangun dari penelitian ini adalah bahwa "penggunaan ruang diskresi pada birokrasi pemerintah daerah lebih ditentukan oleh preferensi elit daerah daripada oleh DPRD (legislatif's choice) ataupun preferensi birokrasi (agency's choice)". Meskipun berdasarkan ketentuan perundang-undangan, birokrasi pemerintah daerah telah diberi keleluasaan (diskresi) yang lebih besar, namun ternyata kewenangan yang besar itu tidak dapat dijalankan dengan baik (berdasarkan prinsip etika, profesional, keilmuan dan kepentingan publik). Penggunaan ruang diskresi birokratik tidak dapat lepas dari adanya intervensi berbagai pihak seperti partai politik, kalangan swasta (pengusaha), dan para superiornya (individu-individu kepala daerah dan pejabat di atasnya).
Sistem birokrasi belum menunjukkan adanya perubahan (reformasi) menuju sistem birokrasi yang netral dan profesional. Kemampuan pejabat birokrasi dalam menggunakan ruang diskresi sesuai dengan parameter normatif yang acceptable yakni: legal, ethical, profesional, knowledge, dan public interest masih rendah. Ruang diskresi yang dimiliki l ebih banyak digunakan untuk "memberi" peluang masuknya pertimbangan-pertimbangan lain di luar yang normatif tersebut, sehingga hasilnya juga kurang acceptable. Keputusan-keputusan dan tindakan yang diambil dalam domain birokrasi tidak selalu dijaga agar tetap berpijak pada parameter legal dan normatif. Sebagian dari keputusan-keputusan yang diambil pada domain kewenangan birokrasi justru dibuat atas dasar kepentingan atau pertimbangan-pertimbangan diluar parameter yang acceptable tersebut antara lain kepentingan pejabat politik dan kepentingan individu birokrat seperti kedudukan atau jabatan, keuntungan ekonomi, dan nepotism.
Hal ini dikarenakan sistem akuntabilitas publik yang belum berjalan dengan efektif dan seimbang antara akuntabilitas internal (responsibility) dan akuntabilitas eksternal (responsiveness). Orientasi pertanggungjawaban yang perlu dibangun tidak hanya secara vertikal (birokratik - internal), tetapi juga perlu dibangun self-controll (kontrol profesional) dimana birokrasi secara internal dapat mengontrol dirinya sendiri sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika administrasi publik dan lebih penting lagi adalah berjalannya kontrol politik yang berasal dari elemen masyarakat dan penegakan hukum (law enforcement).
Walaupun disadari bahwa fenomena politisasi birokrasi memang tidak mungkin dihilangkan dari sistem pemerintahan negara dimanapun juga, namun yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana membuat birokrasi menjadi lembaga profesional dimana fokus utama dari tanggungjawabnya adalah pada pelayanan publik.
Adapun pokok-pokok pemikiran yang dapat disumbangkan sebagai rekomendasi hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Dalam paradigma governance, pemerintah (eksekutif) tidak identik dengan negara dan negara pun tidak semata dikelola oleh pemerintah (eksekutif). Perlu ditekankan bahwa peran masyarakat dalam penyelenggaraan fungsi negara--yang meliputi eksekutif, legislatif dan yudikatif-- sangat penting, selain peran pemerintah (eksekutif) dan kalangan swasta (privat). Dengan pemisahan yang tegas tersebut, maka dapat dipetakan kedudukan birokrasi yang sesungguhnya berada dimana. Selama ini birokrasi diidentikan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang disebut juga sebagai birokrasi pemerintah. Demikian juga dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (RUU-AP) saat ini, kedudukan birokrasi berada di bawah eksekutif. Selama Kepala Eksekutif -- yang merupakan pejabat politik -- lebih mementingkan kepentingan politis yang hanya berorientasi pada kekuasaan, maka sulit diharapkan birokrasi untuk menjaga netralitas dan meningkatkan profesionalismenya.
2. Tanpa berniat untuk sekedar meniru sistem pemerintahan di negara-negara maju seperti Jerman, Belanda, dan Amerika-kejelasan hukum tentang sistem administrasi negara sangat diperlukan sebagai pijakan dalam mengatur kedudukan dan fungsi dari lembaga-lembaga negara secara tegas dan komprehensif, tidak rancu dan tumpang tindih. Pemikiran ini ingin menegaskan dukungan terhadap konsepsi tentang netralitas birokrasi yang hanya bisa diwujudkan dalam sistem administrasi negara yang jelas dasar hukumnya dimana kedudukan birokrasi menjadi lebih independen dan harus tunduk terhadap amanah Undang-Undang.
3. Sebagaimana diketahui bahwa kendala utama adalah terletak pada kekhawatiran birokrat (bureaucratic anxiety) terhadap masa depan jenjang karir dan jabatannya. Akibatnya pejabat birokrasi banyak yang melakukan upaya-upaya di luar standar etika dan profesional demi mendapatkan posisi jabatan yang tinggi dalam birokrasi. Hal ini dapat ditanggulangi dengan diterapkannya prinsip meritokrasi birokrasi secara konsekwen, pembinaan dan manajemen kepegawaian dengan standar kinerja PNS yang jelas, transparan, proporsional, dan kompetitif.
4. Lebih spesifik diperlukan juga amandemen terhadap Undang-Undang yang mengatur tentang Pegawai Negeri Sipil khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kewenangan pengelolaan di bidang kepegawaian (rekruitment, placement, promotions, dan lain-lain) idealnya dilakukan oleh suatu lembaga profesional dan independen dengan proses yang transparan sehingga netralitas dan profesionalisme PNS dapat lebih dijamin. Salah satu yang perlu diatur secara lebih tegas adalah tentang masa jabatan pejabat struktural dalam jangka waktu yang tetap sehingga dapat menghindarkan perasaan 'tidak aman' bagi seorang pejabat birokrasi yang bekerja dalam konteks dinamika politik lokal yang sangat intens.
5. Langkah selanjutnya yang diperlukan adalah melakukan penguatan internal (internal capacity building) yang meliputi peningkatan kapasitas kelembagaan, profesionalisme aparatur birokrasi, khususnya dengan menanamkan pemahaman akan semangat "democratic responsibility" sebagai bagian dari tugas administrator dalam sistem pemerintahan dan negara demokrasi.
6. Adapun untuk membangun sistem akuntabilitas politik yang benar-benar efektif, diperlukan usaha pembangunan kapasitas masyarakat di tingkat lokal (local capacity building) melalui program-program akselerasi pemberdayaan institusi lokal--dengan mekanisme bottom up-- sehingga mampu menjadi instrumen demokrasi dan kontrol sosial yang lebih arif. Namun, mengingat struktur masyarakat lokal yang heterogen dengan tingkat diferensiasi status sosial ekonomi masyarakat yang relatif tinggi, maka dalam tahap ini, masih diperlukan peran (intervensi) birokrasi sebagai fasilitator dan katalisator sesuai bidang tugasnya secara profesional dan mandiri. Bilamana perlu di daerah-daerah dengan tingkat sosial ekonomi yang relatif rendah seperti di Kabupaten Bima diperlukan inisiasi dari atas (Top down strategy). Peran ini hanya bisa dilakukan manakala pemahaman dan semangat democratic responsibility sudah terbangun dan menjadi bagian inheren dari moral dan etika administrasi publik.


Dari sejumlah rekomendasi di atas, diharapkan akan terbentuk sistem akuntabilitas birokrasi yang berjalan seimbang, yakni akuntabilitas internal melalui kontrol birokratik dan profesional dengan akuntabilitas eksternal melalui kontrol legal dan politik. Dengan bekerjanya sistem akuntabilitas internal dan eksternal yang seimbang, maka birokrasi akan semakin bijak dalam menggunakan ruang diskresi sesuai parameter-parameter yang memenuhi nilai-nilai normatif dan dapat diterima (acceptable).

(Disertasi, Universitas Gajah Mada, 2009) Selengkapnya...
Diposkan oleh SJW Astuti di 05.43 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar