Sri Juni Woro Astuti's Blog


Welcome to Sri Juni Woro Astuti's Blog

Minggu, 01 Mei 2011

Meluruskan demokrasi lokal, Menggagas kepemimpinan daerah yang ideal.

Tulisan ini diterbitkan dalam Pramusinto dan Agus Purwanto (Editor), Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik, Gava Media-JIAN UGM-MAP UGM, Yogyakarta, 2009.

S.J. Woro Astuti dalam tulisannya “Meluruskan Demokrasi Lokal, Menggagas Kepemimpinan Daerah yang Ideal di Era Pilkada Langsung” mengungkapkan pernyataan Weber bahwa ada dua syarat yang harus dipenuhi agar demokrasi berjalan efektif. Pertama, adanya partai yang memiliki kepentingan dan pandangan berbeda. Jika partai-partai yang bersaing itu mirip satu sama lain maka masyarakat tidak akan bisa menggunakan hak pilihnya secara efektif. Kedua, harus ada pemimpin politis yang memiliki imajinasi dan semangat untuk mengatasi birokrasi yang menjemukan Itulah peran penting kepemimpinan dalam demokrasi. Namun kepemimpinan ini bukanlah pemimpin model orde lama dan orde baru yang sama-sama otoritarian dan menggunakan birokrasi sebagai alat mempertahankan kekuasaan. Kalaupun ada pelaksanaan fungsi kepemimpinan, tidak lebih dari tipe kepemimpinan transaksional, yang mana kepemimpinan ini dijalankan hanya melalui reward and punishment, sangat pragmatis, dan tidak memikirkan kepentingan rakyat yang lebih besar.
Namun pada kenyataannya, nilai-nilai kedua orde itu masih banyak mewarnai upaya penegakan demokrasi di era reformasi ini. Kuatnya dimensi patronase dapat dilihat dari pemilihan menteri-menteri kabinet yang bukan karena keahlian atau kecapakannya tetapi karena dia memiliki patron politik. Demikian juga di daerah, pemilihan sekretaris daerah, kepala-kepala dinas dan pejabat struktural lainnya lebih banyak didasarkan pada pertimbangan politik. Begitu pula DPRD, tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat melainkan mengabdi pada kepentingan politik yang ada.
Untuk itu diperlukan tipe kepemimpinan transformasional dimana relasi yang dijalin antara pemimpin dan pengikut tidak semata-mata didasarkan pada reward and punishment melainkan lebih menekankan kepada peningkatan hubungan pemimpin dan pengikut, baik secara moral maupun motivasi timbal balik. Pemimpin model ini selalu berupaya mendorong pengikutnya untuk melepaskan kepentingan pribadinya, untuk kemudian secara bersama-sama menuju pencapaian visi kelompok yang lebih besar. Pemimpin ini selalu berusaha memperhatikan kebutuhan rakyatnya, selalu dekat dengan rakyat dan memberi pengaruh idealisme sebagai teladan dalam menjalankan tugas kepemimpinannya.
Prasyarat pertama untuk menjadi pemimpin transformasional adalah mengakui kebutuhan untuk melakukan perubahan, kemudian diikuti dengan penciptaan sebuah visi dan pelembagaan perubahan secara konsisten. Untuk itu pula pemimpin transformasional adalah seseorang yang memiliki keberanian menerima resiko dengan memulai perubahan bahkan perubahan yang paling fundamental sekalipun. Pemimpin yang memiliki dimensi transformasional ini dapat mengembangkan kreativitas dan inovasinya, jika kepadanya tidak diletakkan ‘beban’ berupa ‘hutang budi’ yang besar terhadap para konstitiuen dan para pendukungnya.
Syarat berikutnya untuk menjadi pemimpin transformasional ini adalah masalah efektifitas. Menjadi pemimpin yang efektif tidak tergantung pada gendernya, tetapi ada faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain: (1) pemilihan dan penempatan pemimpin; yaitu disesuaikan dengan gaya kepemimpinan yang dimilikinya, (2) pendidikan kepemimpinan; dengan menekankan agar pemimpin menampilkan sifat-sifat yang dikehendaki daam kadar yang lebih tinggi, (3) pemberian imbalan pada prestasi pemimpin dan bawahan, (4) teknik pengelolaan organisasi untuk menghadapi perubahan lingkungan, (5) membangun kolaborasi, dan (5) pemanfaatan teknologi.

Tulisan ini diterbitkan dalam Pramusinto dan Agus Purwanto (Editor), Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik, Gava Media-JIAN UGM-MAP UGM, Yogyakarta, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar