Jurnal Administrasi Publik. Vol. I, No. 1, April 2004
Abstract
Considering the so wide and progressively its complex problems which must be handle by the government institutions, demands strong effoerts in improving public productivity. Step or programs on public productivity improvements also become evidence and answers to society demands that public organizations must give the solution for public problems professionally and effectively. Resources allocation and distribution which becoming rare progressively claims the governmental role to manage them, for the public interests as awide.
Key Words: public, productivity, interests
Pendahuluan
Sebagaimana diketahui bersama, dewasa ini telah terjadi perkembangan dan perubahan faktor demografis yang begitu cepat dan banyak mempengaruhi peningkatan kebutuhan masyarakat dalam hal public service utamanya yang disediakan atau dicover oleh pemerintah. Pada saat bersamaan pula muncul ke permukaan, kesan bahwasanya pemerintah telah banyak mengalami “kegagalan” dalam hal memfasilitasi segala kebutuhan dan tuntutan warga atau masyarakatnya yang kian kompleks tersebut. Kegagalan demi kegagalan tersebut semakin memperpuruk kinerja organisasi pemerintah yang dihadapkan pada semakin terbatasnya dan langkanya sumber-sumber daya yang dibutuhkan guna memecahkan masalah-masalah sosial atau masalah publik tersebut. Selain itu juga ditunjang dengan faktor-faktor ekonomi seperti terjadinya inflasi, resesi dan sebagainya yang sangat mempengaruhi kinerja pemerintah dan negara pada umumnya. Sehingga tidak terlalu berlebihan jika banyak kalangan, terutama masyarakat, mempertanyakan dapatkah kinerja atau produktivitas organisasi publik ditingkatkan.
Di tengah berkecamuknya situasi politik dan perekonomian yang tidak menentu dan kecenderungan tuntutan masyarakat yang semakin kompleks tersebut, maka kebutuhan untuk segera keluar dari kubangan permasalahan yang multidimensional ini tidak dapat ditunda lagi. Salah satu langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan melakukan serangkaian proses menuju revitalisasi peran birokrasi pemerintah atau organisasi publik dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan publik. Revitalisasi yang dimaksud adalah salah satunya untuk mengubah image yang sudah terlanjur melekat pada organisasi (birokrasi) pemerintahan yang lamban, tidak produktif dan tidak efisien. Salah satu dari rangkaian proses tersebut antara lain adalah dalam rangka meningkatkan produktivitas organisasi pemerintah – baik Pemerintah Pusat, Daerah, Departemen-Departemen Teknis, maupun Perusahaan-Perusahaan Negara/Daerah.
Public Productivity: Sebuah Pemahaman
Dalam bahasa yang umum, produktivitas digunakan sebagai salah satu ukuran dari efisiensi. Konsep produktivitas dapat dipakai untuk menjelaskan bagaimana sumber-sumber daya digunakan secara optimal, sehingga dapat menghasilkan keluaran atau output yang maksimal (Rosen, 1993:4). Dalam organisasi publik, konsep produktivitas hendaknya didefinisikan secara luas yang menjangkau seluruh permasalahan publik termasuk di dalamnya aspek kuantitas dan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Hal ini senada dengan batasan yang diberikan oleh Denhardt (1991:268) yang menyatakan bahwa public productivity berkaitan dengan bagaimana organisasi publik dapat mencapai tujuannya seefisien dan seefektif mungkin. Dengan demikian public productivity mengacu pada konsep efisiensi dan efektivitas – efisiensi bagi organisasi publik/pemerintah. Dalam hal ini organisasi pemerintah hendaknya mencari solusi dalam menjalankan misinya dengan mendayagunakan sumberdaya dan dana seefektif dan seefisien mungkin.
Khusus berkaitan dengan konsep efektivitas dan efisiensi, dalam organisasi publik lebih cenderung menekankan efektivitas, namun hal ini tidak berarti mengecilkan arti pentingnya efisiensi (Berman,1998:7). Pentingnya efektivitas ini terkait dengan karakteristik atau jenis layanan yang diperlukan oleh masyarakat, misalnya untuk pelayanan emergency, masyarakat tidak mementingkan efisiensi biaya tetapi lebih mengutamakan ketepatan waktu atau tindakan yang diambil untuk menjaga keamanan mereka.
Sedangkan konsep efisiensi dalam sektor publik tentu saja berbeda dengan konsep efisiensi di sektor privat, mengingat organisasi-organisasi publik dijalankan dalam kondisi dan lingkungan yang memberikan penekanan yang berbeda dengan organisasi privat. Contoh penekanan yang berbeda tersebut antara lain bahwa organisasi publik sangat dibatasi oleh peraturan perundang-undangan (formal), kegiatannya terbuka dan diawasi oleh masyarakat umum, fokus pada pelayanan publik dan keterbatasan anggaran tidak dapat serta merta melakukan reditribusi atau pengaturan ulang karyawan dan sumber-sumber keuangan. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi di perusahaan-perusahaan privat yang jauh lebih fleksibel, tidak terlalu ketat dibatasi oleh peraturan dan prosedur, tidak harus diawasi oleh publik dan dapat melakukan redistribusi sumber-sumber manakala diperlukan.
Selain itu perbedaan yang mendasar adalah pada pengukurannya. Jika pada organisasi privat, barang dan jasa yang dihasilkan selalu diukur dengan berapa banyak yang terjual di pasaran dan berapa rupiah dapat dihasilkan, tidak demikian halnya di sektor publik, mengingat barang dan jasa yang dihasilkan tidak selalu untuk dijual dan mencari keuntungan.
Dalam pengertian yang lebih spesifik, produktivitas selalu dikaitkan dengan input dan output dengan batasan sebagai berikut (Rosen, 1993: 5-6) :
1. Jumlah dan kualitas output meningkat dengan input yang sama/tetap;
2. Jumlah meningkat dengan kualitas yang sama dan penggunaan input yang berkurang;
3. Jumlah output yang sama dengan kualitas yang lebih baik dan menggunakan input yang lebih sedikit;
4. Tingkat penggunaan sumber-sumber daya (input) yang bertambah sedikit tetapi menghasilkan peningkatan jumlah dan kualitas output yang sangat besar.
Adapun yang dimaksud dengan output dalam sektor publik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelayanan publik dan didistribusikan melalui organisasi-organisasi publik kepada seluruh masyarakat atau clients yang dihasilkan dalam jangka pendek. Sedangkan input yang dimaksud adalah seluruh sumberdaya yang digunakan dalam memproduksi atau menghasilkan serangkaian produk barang maupun jasa, antara lain meliputi jumlah tenaga kerja, peralatan, dan sumber-sumber lain yang digunakan untuk menghasilkan suatu pelayanan publik tertentu. Produktivitas kemudian dapat ditentukan dengan mengukur masing-masing (input dan output) dan selanjutnya mencari rasio antara keduanya. Semakin besar perbandingan output dengan input maka produktivitas semakin tinggi.
Namun, memaknai produktivitas di sektor publik tidak cukup hanya dengan batasan-batasan di atas. Peningkatan produktivitas sektor publik melibatkan banyak kelompok kepentingan atau stakeholders dan hal itu berlangsung dalam konteks politik yang sangat kompleks. Produktivitas, tidak hanya bagi organisasi bisnis, sangat perlu mendapat perhatian bagi setiap organisasi agar dapat menjaga keberadaan atau eksistensi organisasi tersebut untuk selalu relevan dan bermakna dalam menjawab atau memenuhi kebutuhan masyarakat yang dilayaninya.
Bagaimana Meningkatkan Produktivitas Sektor Publik?
Telah ditemukan banyak cara untuk meningkatkan produktivitas, terutama yang dikembangkan dan diterapkan di organisasi-organisasi privat, antara lain melalui: quality circle, job redesign, contracting out, alternative work schedules, demand analysis, dan sebagainya. Semua cara atau langkah-langkah yang dilakukan tersebut pada dasarnya dapat dikategorikan ke dalam 3 kelompok, yakni: (1) perubahan pada proses pekerjaan; (2) perubahan pada pekerjanya; dan (3) perubahan pada pilihan atau keputusan manajemen (Rosen, 1993:6).
Pendekatan pertama lebih menekankan pada bagaimana pekerjaan diorganisasikan dan kemudian diproses, atau dengan kata lain pendekatan ini lebih memfokuskan pada kegiatan operasional. Melalui perbaikan sistem atau mekanisme penyelesaian tugas, diharapkan pelaksanaan pekerjaan menjadi lebih simpel, cepat, dan sistematis. Dengan demikian pembenahan di bidang ini akan membawa dampak langsung berupa penyelesaian pekerjaan dengan lebih cepat dan praktis.
Sedangkan pada pendekatan kedua, peningkatan produktivitas lebih ditekankan pada bagaimana meningkatkan kontribusi para pegawai. Kegiatan-kegiatan yang biasa dilaksanakan antara lain training, penyempurnaan sistem insentif, pengembangan karir, Quality Circle, dan lain-lain. Dengan pendekatan pada aspek manusianya ini diharapkan akan menumbuhkan motivasi kerja yang lebih tinggi di kalangan petugas (baik yang di belakang meja maupun yang di lapangan) dan pada gilirannya akan menghasilkan perilaku pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Dari aspek yang kedua ini ditengarai banyak memberikan kontribusi secara langsung terhadap kinerja atau produktivitas layanan birokrasi pemerintah.
Dan pendekatan yang ketiga (terakhir) fokus pada pengembangan pilihan-pilihan manajerial dalam rangka memenuhi keinginan pelanggan dalam lingkungan yang selalu berubah, tidak pasti dan penuh tantangan ini. Dalam hal ini dituntut adanya daya tanggap atau responsiveness yang tinggi dari para manajer publik terhadap setiap permasalahan atau kebutuhan yang berkembang di masyarakat baik yang sudah tereksplisitkan maupun yang masih bersifat latent.
Menyimak langkah-langkah yang dikemukan di atas, maka esensi peningkatan produktivitas sektor publik adalah melakukan perubahan dalam situasi dimana nuansa politik sangat ‘kental’. Hal ini melibatkan sangat banyak aktivitas dan pemikiran mulai dari langkah-langkah motivasional sampai dengan perhitungan-perhitungan matematis guna menghasilkan strategi-strategi pengembangan yang tepat. Untuk semua itu jelas dibutuhkan kapasitas pengumpulan data yang sangat cermat dan kemampuan analisis yang tinggi serta pada saat yang sama diperlukan pula kemampuan imaginative dan keberanian mengambil resiko atas dampak dari perubahan yang dilaksanakan.
Sementara Jarrett (1982) dalam buku yang ditulis Robert Denhardt (1991:268) menyatakan bahwa upaya peningkatan produktivitas di sektor publik hendaknya difokuskan pada 3 hal sebagai berikut:
1. Meningkatkan level of service dengan tetap mempertahankan biaya pada level yang konstan;
2. Menjaga level service seperti saat ini dengan mengupayakan penurunan biaya;
3. Meningkatkan performance dan tingkat service sementara secara simultan berusaha untuk menurunkan biaya.
Pernyataan tersebut tidak terlalu bertentangan dengan pengertian produktivitas dalam artian umum (yang biasa diterapkan di sektor privat) seperti yang telah disinggung di atas, hanya saja dalam sektor publik, konsep produktivitas lebih ditekankan pada pemberian pelayanan publik yang optimal dengan tingkat biaya yang minimal.
Dalam upaya peningkatan produktivitas, berikut dijelaskan beberapa langkah yang dapat ditempuh, menurut Robert Denhardt (1991: 268) sebagai berikut:
1. Identifikasi area yang sudah siap untuk segera ditingkatkan produktivitasnya. Program apapun juga, hendaknya dimulai dari yang kecil. Hal ini sangat memungkinkan untuk memulai dari hal-hal yang secara langsung memberikan hasil, mengingat dari sektor inilah kita dapat secepatnya melakukan saving dan juga keberhasilan yang diperoleh dalam lingkup kecil tersebut akan mendorong semangat bagi bidang-bidang lainnya. Untuk dapat mengidentifikasi area-area tersebut, seorang manajer harus memperhatikan beberapa bidang sebagai berikut (Holzer dkk., 1986:10 dalam Denhardt, 1991:270):
a. Fungsi-fungsi yang secara terus menerus berhadapan dengan penumpukan pekerjaan atau pekerjaan yang tidak ada hentinya;
b. Kegiatan yang menghadapi problem-problem nyata seperti adanya komplain masyarakat, atau tingginya turn over karyawan;
c. Kegiatan-kegiatan yang membutuhkan sumber-sumber daya yang sangat besar (yang tidak seperti biasanya/tidak wajar);
d. Kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak karyawan untuk melaksanakan pekerjaan yang berulang-ulang;
e. Ketersediaan teknologi baru atau teknik-teknik yang sudah terbukti keberhasilannya;
f. Kemampuan manajer dalam menjangkau ide-ide baru sekaligus kemampuan untuk menjalankannya.
2. Penempatan model dalam wilayah yurisdiksi yang berbeda. Apapun organisasinya, akan sangat membantu apabila kita mengetahui apa yang telah dialami dan dijalankan oleh organisasi lain berkaitan dengan masalah-masalah yang serupa. Untuk mengetahui hal ini tidaklah sulit, dapat diakses dengan mudah misalnya melalui publikasi di berbagai media maupun melalui organisasi-organisasi professional yang menangani masalah-masalah publik. Melalui sumber-sumber tersebut akan dapat diketemukan pendekatan-pendekatan baru dalam peningkatan produktivitas dan dapat diketahui pula pendekatan-pendekatan mana yang telah terbukti berhasil dan yang gagal;
3. Mendefinisikan peran dari masing-masing pihak yang terlibat dalam perencanaan dan implementasi program. Beberapa program diorientasikan hanya pada departemen tertentu, sementara program-program lain bersifat lintas departemental. Untuk kasus-kasus tersebut maka fungsi staffing sangat diperlukan guna memfasilitas kebutuhan tenaga ahli bagi bidang-bidang tertentu khususnya yang bersifat teknikal;
4. Merumuskan tujuan dan sasaran secara realistis. Sebagai catatan, bahwa program peningkatan produktivitas di sektor publik berangkat dari tuntutan untuk mengerjakan yang lebih banyak dengan lebih sedikit (doing more with less). Untuk itu, merumuskan tujuan dan sasaran dengan jelas dan berusaha untuk dapat merealisasikannya akan lebih baik daripada merumuskan tujuan yang terlalu tinggi tetapi tidak/sulit untuk merealisasikannya;
5. Memilih di antara alternatif program yang ada. Dalam mengimplementasikan program produktivitas disarankan untuk menyesuaikan solusi dengan permasalahan yang dihadapi;
6. Mengantisipasi permasalahan. Banyak permasalahan yang dapat muncul dalam melaksanakan program peningkatan produktivitas. Sebagian besar permasalahan muncul sebagai akibat adanya misconception mengenai apa dan untuk apa program itu dijalanan dan apa saja yang dapat dilakukan.
7. Mengimplementasikan program. Setelah secara cermat menganalisis kebutuhan akan program peningkatan produktivitas dan memutuskan kegiatan apa saja yang akan dilakukan, masalah sulit berikutnya adalah bagaimana mengimplementasikannya. Memulainya dari sasaran yang spesifik dan dalam ruang lingkup yang terbatas, akan memudahkan mencapai target yang ditentukan. Masalah sulit dalam mengimplementasikan program ini adalah berkaitan dengan menginstitusionalkan kegiatan tersebut, mengingat hal ini bukanlah sekadar jangka pendek. Yang harus dicermati sejak awal adalah berapa lama program ini harus dijalankan, dan biasanya hal ini sangat tergantung pada pimpinan yang berkuasa saat itu -- sangat sulit untuk dapat dijalankan secara berkelanjutan – (Bailey,1987 dalam Denhardt, 1991:271).
8. Mengevaluasi program. Sebagian besar program peningkatan produktivitas memerlukan investasi dalam bentuk finansial dan waktu. Jenis informasi yang perlu dikumpulkan sejak awal adalah berapa penurunan biaya yang dapat dicapai, berapa peningkatan output yang dapat dihasilkan, atau adakah peningkatan kepuasan masyarakat terhadap suatu pelayanan publik. Informasi-informasi tersebut dapat dilaporkan secara periodik kepada legislator atau pengambil keputusan yang lain.
Peningkatan produktivitas, paling tidak sangat tergantung pada adanya pergeseran dari pendekatan manajemen yang bersifat otoritarian tradisional menuju pendekatan manajemen yang lebih terbuka dan partisipatoris. Pergeseran pandangan tersebut telah nampak jelas dalam implementasi program peningkatan produktivitas tersebut pada semua level dalam organisasi pemerintah. Dalam beberapa kasus dimana pemerintah memilih mengimplementasikan Total Quality Management misalnya, telah terjadi pergeseran gaya manajerial yang mana pemerintah kini lebih menekankan pada peningkatan keterlibatan karyawan.
Beberapa teknik peningkatan produktivitas telah dikembangkan terutama yang berhubungan dengan inovasi teknologi seperti penggunaan computer-based systems, information systems, dan lain-lain. Selain itu teknik-teknik yang berhubungan dengan sumberdaya manusia antara lain adalah penerapan management by objectives (MBO), quality of work life atau job enrichment, quality circle dan incentive programs (Denhardt, 1991:272-284). Keseluruhan teknik yang berbasis human resources tersebut adalah dalam rangka meningkatkan motivasi, komitmen, dan kreativitas dari para karyawan sebagai ujung tombak pelayanan publik.
MBO, misalnya, merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menstimulasi tingkat partisipasi bawahan guna turut serta dalam perumusan tujuan atau sasaran secara jelas dan terukur. Sehingga output dapat secara jelas dirumuskan dan diukur apakah dapat dicapai atau belum. Kriteria yang dapat digunakan antara lain clear, realictic, measurable, dan priorities.
Sedangkan Quality of work life adalah dalam rangka menciptakan lingkungan atau kondisi kerja yang berkualitas melalui pemberian kompensasi yang menarik, kondisi kerja yang aman dan sehat, adanya kesempatan untuk berkembang, integrasi sosial, dan lain-lain. Hal itu semua ditujukan guna memenuhi kebutuhan karyawan sebagai human beings yang patut diperlakukan secara manusiawi bukan sekedar sebagai mesin produksi semata.
Quality circle, di satu sisi, juga dipandang sebagai satu strategi atau teknik yang efektif dapat meningkatkan produktivitas. Melalui pembentukan kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari orang-orang yang bekerja pada unit kerja yang sama, atau yang saling berhubungan untuk selalu mengadakan pertemuan secara reguler guna mengidentifikasi, menganalisis, dan mencari solusi atau pemecahan terhadap permasalahan yang mereka hadapi seputar pekerjaannya. Dengan demikian diharapkan setiap permasalahan yang timbul dapat secara cepat teratasi sehingga tidak sampai menghambat proses pekerjaan yang berikutnya. Adapun program incentive diberikan adalah dalam rangka mengintroduksikan merit system di kalangan organisasi publik dengan memberikan reward sesuai dengan prestasi yang dicapai karyawan yang bersangkutan.
Terlepas dari dapat tidaknya teknik-teknik tersebut diterapkan di setiap negara, namun pada dasarnya masing-masing teknik perlu dikaji sesuai dengan konteks, situasi politik atau lingkungan budaya setempat. Dengan kata lain tidak cukup hanya mengadopsi melainkan harus mampu mengadaptasi.
Salah satu contoh keberhasilan program peningkatan produktivitas di sektor pemerintahan adalah Pemerintahan Canada. Hasil studi mengidentifikasi paling tidak ada lima faktor yang mempengaruhi kesuksesan organisasi pemerintah, yakni (Government productivity News, Desember, 1989, dalam Denhardt 1991: 292-293):
1. Penekanan pada karyawan/masyarakat. Mereka ditantang, didorong dan dikembangkan dan diberi power untuk berbuat dan membuat penilaian;
2. Kepemimpinan Partisipatif. Dalam hal ini pemimpin merancang organisasi yang ideal, mendefinisikan tujuan dan sasaran, kemudian mengartikulasikan hal tersebut dan mendorong komitmen diantara anggotanya. Dalam struktur seperti ini tidak dirasakan lagi adanya hambatan struktural dalam berkomunikasi sehingga kolaborasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi menjadi lebih mudah;
3. Jenis atau gaya pekerjaan yang inovatif. Karyawan belajar dari efek-efek yang ditimbulkan oleh perilaku mereka. Mereka cenderung mencari pemecahan masalah secara kreatif, menjaga monitoring secara ketat, serta menggunakan feedback dan system control sebagai sarana yang bermanfaat. Mereka juga cenderung independen dan tidak tergantung pada kontrol dari kewenangan di luar organisasinya;
4. Orientasi terhadap clients yang kuat. Organisasi lebih fokus pada client mereka, mendapatkan kepuasan dari pelayanan kepada client ketimbang dari birokrasi pemerintah. Ada keselarasan nilai dan tujuan yang kuat antara organisasi pelaksana dengan pembuat keputusan atau organisasi tingkat atasnya;
5. Pola pikir yang selalu mengarah pada kinerja yang optimal. Setiap orang memegang nilai yang selalu mendorong mereka untuk selalu mengupayakan adanya peningkatan pada kinerja organisasi. Ketika terjadi perubahan, mereka menyesuaikan metode yang mereka gunakan, bukan mengubah sistem nilainya. Oleh karena orientasi yang tinggi terhadap kinerja dan adaptability, organisasi tersebut dapat selalu menghasilkan kinerja yang tinggi meskipun dalam situasi dan lingkungan yang berubah. Pola pikir dan perilaku seperti inilah kemungkinan yang terpenting dari segalanya.
Kendala di Indonesia: Suatu Analisis Situasi
Mencermati langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka peningkatan produktivitas sektor publik sebagaimana diuraikan di atas, tentunya tidak lepas dari antisipasi dan penanganan terhadap hambatan-hambatan ataupun kendala yang dihadapi di setiap setting negara yang bersangkutan. Dalam hal ini faktor yang patut untuk diperhatikan salah satunya adalah faktor budaya dan kondisi mental profesionalisme di kalangan birokrat atau organisasi-organisasi penyelenggara pelayanan publik tersebut. Dimulai dari gaya kepemimpinan (style of leadership), partisipasi dan komitmen anggota (employee involvement and commitment) terhadap kualitas pelayanan, perancangan mekanisme pekerjaan yang sederhana dan tidak costly, serta lain-lain atribut yang cenderung merugikan birokrasi karena dapat menimbulkan opini publik yang negatif ketimbang positif. Hal itu semua apabila kita cermati selalu berpulang pada struktur mental birokrasi dan budaya yang berkembang di dalamnya.
Beberapa hal yang dapat menjadi hambatan atau kendala dalam rangka peningkatan produktivitas di sektor publik ini antara lain adalah (dalam Berman, 1998:20-22):
a. Adanya kesalahan dalam memahami permasalahan. Upaya-upaya seperti Reinventing Government melalui Total Quality Management, reengeenering, dan lain-lain nampaknya tidak sungguh-sungguh dijalankan mengingat akar permasalahan yang sebenarnya lebih bersifat politis bukannya masalah administratif atau manajerial (Frederickson, 1994 dalam Berman, 1998:19). Seringkali keputusan politis yang diambil diluar konteks implementasi TQM ataupun upaya-upaya peningkatan produktivitas yang lain. Misalnya untuk peningkatan produktivitas di bidang pelayanan kesehatan, yang lebih mengedepan justru besarnya alokasi anggaran yang disediakan untuk bidang kesehatan tanpa memperhatikan efektivitas program itu sendiri (ketepatan kelompok sasaran, pemerataan, dan lain-lain). Menurut Frederickson pula, apa yang sesungguhnya lebih dibutuhkan adalah bagaimana meningkatkan orientasi masyarakat (warga negara) terhadap pemerintah. Dengan kata lain bagaimana memberdayakan masyarakat untuk lebih responsif atau kritis terhadap kinerja pemerintah di bidang pelayanan itu sendiri. Dengan demikian, kontrol sosial akan terpelihara dan berperan secara fungsional dalam upaya peningkatan kinerja pemerintah tersebut.
b. Masalah Kepemimpinan. Hampir semua strategi peningkatan produktivitas memerlukan support atau dorongan dari manajemen puncak, tanpa itu semua keputusan-keputusan penting tidak dapat dirumuskan dan upaya peningkatan produktivitas hanya tinggal slogan tanpa kenyataan. Di Indonesia, khususnya di era reformasi ini, stabilitas atau kemantapan kepemimpinan sangat diperlukan guna membangun visi, misi, dan strategi pembaharuan di bidang produktivitas pemerintah yang sangat memerlukan konsistensi kebijakan dan keberlanjutan program. Dengan tingkat pergantian pimpinan yang relatif tinggi (tidak stabil) jelas mengganggu seluruh upaya atau agenda pembaharuan dan peningkatan produktivitas (Berman, 1998:20). Selain itu, masih dalam masalah kepemimpinan, seringkali kita jumpai pemimpin yang kurang bersungguh-sungguh dalam upaya peningkatan produktivitas. Hal ini bisa jadi dikarenakan keterbatasan kemampuan dalam mengimplementasikan produktivitas atau pengaruh budaya yang cenderung resistance terhadap pola pikir baru (masih feodal dan konservatif).
c. Masalah yang berkaitan dengan Manajemen Sumber Daya Manusia. Sebagaimana kita sadari bersama bahwa sulit bagi organisasi pemerintah di Indonesia untuk menerapkan reward system yang menghargai prestasi dan memberikan punishment kepada yang tidak berprestasi. Kondisi semacam ini jelas kurang motivasional dan tidak membawa iklim kerja yang kompetitif di kalangan pegawai atau aparat birokrasi pemerintah untuk meningkatkan kinerjanya.
d. Keterbatasan sumberdaya. Ini termasuk masalah klise atau konvensional, namun fakta masih menunjukkan faktor inilah yang paling dominan melatarbelakangi kurang produktifnya organisasi sektor publik. Khususnya dalam hal kebutuhan akan training karyawan, recruiting karyawan yang professional dan pemenuhan perlengkapan kerja seperti komputerisasi dan lain-lain yang semuanya itu menuntut konsekuensi pembiayaan yang cukup tinggi.
e. Hambatan Personal. Hal ini terkait dengan adanya daya tolak setiap orang khususnya pimpinan yang akan menghadapi perubahan. Ia selalu cenderung merasa was-was atau cemas dan sebagai kompensasinya mereka cenderung bersikap defend atau mempertahankan status quo. Hal ini sangat manusiawi dan alamiah dan dapat terjadi pada siapa saja yang mengalaminya. Sikap defend yang berlebihan jelas akan menghambat upaya perubahan atau peningkatan produktivitas.
Kelima permasalahan yang menjadi penghambat dalam upaya peningkatan public productivity di Indonesia, pada dasarnya bersumber pada aspek manusianya. Selaku aktor politik maupun sebagai pelaksana kebijakan sekaligus perumus kebijakan di bidang pelayanan publik ternyata tidak banyak berubah. Pergantian rezim pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang pada awalnya adalah untuk melakukan pembenahan terhadap kinerja birokrasi pemerintah, ternyata tidak kunjung membuahkan hasil. Walaupun dapat dimaklumi bahwasanya perubahan tersebut tidak dapat dilakukan serta merta, namun tanda-tanda ke arah perbaikan masih belum nampak. Hal ini tentunya perlu mendapat atensi dan kontribusi yang besar dari seluruh komponen bangsa, untuk bersama-sama mencari upaya pemecahannya. Komitmen untuk membangun dan meningkatkan produktivitas sektor publik tidak cukup dari pucuk pimpinan (pusat) namun juga pimpinan di setiap level dan lini, khususnya jajaran pemerintah lokal (Kabupaten dan Kota).
Beberapa hal yang patut menjadi pegangan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik antara lain (Barbour dkk., 1984) sebagaimana dikutip oleh Downes (1984) adalah sebagai berikut:
a. Action orientation. Pemerintah hendaknya dapat mengidentifikasi permasalahan dan segera mengatasinya;
b. Closeness to citizens. Pemerintah yang baik adalah yang mau mendengar, sensitive dan responsive terhadap input dari masyarakatnya;
c. Autonomy and entrepreneurship. Pemerintah diharapkan juga dapat membangun suasana yang kondusif dimana gagasan dan ide baru dapat dikembangkan guna pemecahan masalah secara kreatif dalam situasi dimana sumber daya semakin langka;
d. Employee orientation. Prinsip ini tidak cukup hanya diucapkan atau menjadi wacana publik, namun secara nyata hendaknya diimplementasikan dengan jalan menempatkan karyawan sebagai human beings dan berusaha memahami apa saja keluhan dan kebutuhannya;
e. Values. Pemerintah yang baik juga harus dapat merumuskan nilai-nilai secara jelas yakni fokus pada pemberian pelayanan publik secara excellent (service quality) dan mengkomunikasikan nilai-nilai tersebut dengan jelas kepada seluruh karyawan publik.
f. Mission, goals and competence. Misi hendaknya selalu dievaluasi dan disesuaikan dengan perubahan lingkungan dan keterbatasan sumberdaya serta perubahan tuntutan masyarakat. Berdasarkan misi tersebut pelayanan yang diberikan diupayakan memenuhi standar minimal dan dilaksanakan secara konsisten;
g. Structure. Pemerintah lokal akan lebih produktif dengan struktur birokrasi yang lebih sederhana dan terdesentralisasi dengan memberikan maksimum otonomi kepada karyawan sementara arahan dari pusat tetap diperhatikan;
h. Political relationships. Manajer dan policy makers hendaknya dapat membaur dalam lingkungan politik yang dibangun atas dasar pemikiran positif, terbuka, saling menghormati, dan sama-sama menjaga stabilitas politik, sehingga antara kedua pihak benar-benar dapat saling sinergi.
Purna Wacana
Adalah tanggung jawab seorang public service manager dalam meningkatkan produktivitas organisasi publik yang dikelolanya. Namun demikian mengingat luasnya cakupan atau jangkauan organisasi publik tersebut, maka peran dari para stakeholders yang dalam hal ini adalah seluruh komponen publik termasuk NGO dan kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) sangat menentukan kinerja birokrasi pemerintah atau organisasi publik dalam arti luas. Public productivity itu sendiri mempunyai batasan yang cukup luas pula, yakni sejauh mana organisasi publik dapat mendayagunakan sumber-sumber seefisien dan seefektif mungkin guna menghasilkan output seoptimal mungkin. Output dalam hal ini adalah utamanya public service yang jangkauannya juga sangat luas mulai dari pelayanan sosial dasar seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, pangan dan lain-lain sampai dengan pelayanan untuk specific public seperti transportasi, rekreasi atau hiburan, serta social service lainnya.
Mengingat jangkauan yang begitu luas dan semakin kompleksnya permasalahan yang harus di handle (bukan berarti dilaksanakan sendiri) oleh pemerintah, maka kebutuhan akan peningkatan public productivity menjadi prominent. Langkah atau program-program peningkatan produktivitas ini sekaligus juga sebagai bukti dan jawaban atas tuntutan terhadap organisasi publik untuk memberikan solusi bagi permasalahan publik secara professional dan efektif. Alokasi dan distribusi sumberdaya yang semakin langka jelas menuntut peran pemerintah untuk mengelolanya untuk sebesar-besarnya kepentingan publik (bukan menguasainya). Seperti penyediaan air bersih, lahan untuk pemukinan penduduk, kecukupan pangan, hingga masalah pelayanan sosial yang wajib diselenggarakan oleh negara seperti kesehatan, pendidikan, keamanan dan pengelolaan lingkungan, serta lain sebagainya.
Sementara berusaha untuk mengeliminasi hambatan atau kendala yang secara struktural atau cultural exist dalam tubuh birokrasi pemerintah, serangkaian langkah dan strategi perlu terus-menerus diupayakan guna peningkatan public productivity ini. Teknik-teknik tersebut antara lain management by objectives (MBO), quality of work life programs, quality circle dan incentive programs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar