Jurnal Ilmu Komunikasi dan Ilmu Administrasi Negara, Vol.2 No.1, Maret, 2009
Abstract
In running commendation of public policy, the existence of bureaucratic discretion is needed especially for the service of public where bureaucracy government officer look out on direct with society as client, customer and also citizen which must serve better. Bureaucratic discretion conveys the idea of a public agency acting with considerable latitude in implementing broad policy mandates in certain situations. But in fact, bureaucrat often conducts the functionary abuse of their discretion. Besides influenced by political behavior or culture, this bureaucratic discretion also is oftentimes influenced by internal condition of bureaucracy itself, covering organizational culture and structure of bureaucracy. Therefore, to control the use of bureaucratic discretion requires to be conducted by developing accountability system.
Key words: Discretion, Bureaucratic Culture, Accountability
Pendahuluan
Momentum reformasi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintah orde baru, sebenarnya selain dipicu oleh masalah ekonomi juga merupakan refleksi ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Akibatnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi pemerintah makin rendah. Hal ini disinyalir antara lain karena rendahnya kualitas pelayanan birokrasi terhadap masyarakat yang sebagian besar dilakukan oleh pegawai negeri sipil (Kompas, 6 Juli 2003). Rendahnya kualitas pelayanan publik ini antara lain disebabkan rendahnya diskresi birokrasi terutama pada level pelaksana bawah (street-level bureaucracy) sehingga pelayanan yang dihasilkan kurang fleksibel, dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat secara riil.
Sejak digulirkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang merupakan tonggak reformasi di bidang pemerintahan khususnya pemerintahan daerah, banyak yang mensinyalir bahwa kinerja birokrasi dalam pemberian pelayanan publik belum banyak mengalami perubahan atau kemajuan. Padahal semangat otonomi yang diharapkan terwujud adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian pelayanan publik yang lebih berkualitas. Di beberapa daerah justru muncul fenomena beralihnya kekuasaan yang semula didominasi oleh pemerintah pusat kini kekuasaan berada ditangan pemerintahan daerah. Suatu bukti dimana komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat masih sebatas wacana, dapat dilihat dari kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang lebih mengutamakan belanja rutin daripada untuk pembangunan yang dapat dinikmati langsung oleh masyarakat. Komitmen pemerintah untuk mempriotitaskan pendidikan pun juga belum diwujudkan.
Pergeseran ‘pendulum’ kekuasaan
Peran birokrasi pemerintah daerah yang di masa sebelum reformasi berada di bawah kendali pemerintah pusat, kini kelihatan begitu “powerfull” membuat kebijakan di daerahnya walau kadang kebijakan itu tanpa didasari kajian-kajian akan dampak dan manfaatnya secara lebih matang. Dalam implementasi kebijakanpun seringkali pemerintah daerah justru mengusung praktik-praktik KKN yang semakin kental. Kasus-kasus seperti di Ciamis, yang tidak memberlakukan lelang terbuka untuk proyek-proyek APBD, di Situbondo yang marak dengan proyek titipan, dan masih banyak kasus lain sekitar penyimpangan yang dilakukan dalam penyelenggaran pemerintahan daerah membuktikan bahwa telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh ‘penguasa’ daerah.
Jika dilihat dari konteks kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah, kewenangan Pemerintah Daerah semakin besar, namun hal ini tidak menjadikan pemerintah daerah dapat menggunakan kewenangan yang besar tersebut seperti pola lama dimana pemerintah yang menentukan segala sesuatunya. Otonomi daerah berarti membangun demokrasi melalui pelibatan seluruh stakeholders daerah. Pola penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan structural-efficiency model telah digeser dengan local-democracy model. Pemerintah daerah harus dapat mengakomodir berbagai perbedaan aspirasi melalui forum-forum dialog antar stakeholders untuk dapat merumuskan kepentingan umum yang pada gilirannya digunakan untuk menentukan prioritas dalam proses kebijakan publik.
Namun dalam perjalannya, pelaksanaan demokrasi seringkali dinilai ‘kebablasan’. Suara dan aspirasi rakyat yang masih sekedar ‘komoditas’ politik ternyata banyak dimanfaatkan sebagian partai politik untuk mencapai kekuasaan. Bahkan lembaga DPRD yang merupakan representasi rakyat seringkali bersikap tidak menjadi wakil rakyat, melainkan hanya mewakili partai politiknya atau bahwa dirinya sendiri. Peran kontrol lembaga ini terhadap jalannya pemerintahan daerah terutama kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, justru sering melampaui batas kewenangannya. Sehingga terkesan lembaga legislative di daerah ini berusaha mendominasi kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kewenangan DPRD ini bahkan tidak hanya di wilayah domain pembuatan kebijakan namun juga tidak jarang memasuki domain administratif yang menjadi kewenangan birokrasi pemerintah. Dengan demikian telah terjadi pergeseran lokus dan fokus penggunaan kekuasaan dari eksekutif ke legislatif (Thoha, 2003). Kewenangan birokrasi Pemerintah Daerah dalam menjalankan kebijakan publik terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan politik. Hal ini tercermin dari proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik dimana kepentingan penguasa selalu menjadi kriteria yang dominan dan seringkali menggusur kepentingan masyarakat banyak manakala keduanya tidak berjalan bersama-sama (Kompas, 6 Juli 2003).
Fenomena di atas menggambarkan adanya tarik menarik kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bergerak antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Tarik menarik kekuasaan ini sebenarnya tidak perlu dilakukan, mengingat masing-masing telah memiliki domain kewenangan yang jelas. Dari kewenangan yang dimiliki baik legislatif maupun eksekutif, masing-masing dapat menggunakan dan menjalankan kewenangannya itu secara mandiri dan profesional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Derajat keleluasaan untuk menggunakan kewenangan oleh masing-masing lembaga dan pejabat dalam lembaga tersebut dimaknai sebagai diskresi atau keleluasaan untuk mengambil kebijaksanaan baik dalam proses pengambilan keputusan maupun pelaksanaan kebijakan sepanjang masih berada dalam domain kewenangannya dan tidak melanggar norma-norma etika dan hukum yang lebih luas. Polisi lalu lintas, misalnya, ketika sedang beroperasi di jalan raya mereka memiliki tingkat diskresi yang tinggi untuk mengambil keputusan atau tindakan guna mengatasi kemacetan lalu lintas walaupun harus melanggar rambu-rambu yang ada.
Namun penggunaan ruang diskresi ini seringkali disalahartikan dan akhirnya menjurus pada penyimpangan kekuasaan. Seperti yang terjadi di Sumatera Barat (Sumbar), dimana dalam APBD Sumbar Tahun 2002 terdapat pengeluaran untuk berbagai tunjangan kepada anggota Dewan, seperti pembelian spring bed sebesar Rp 14 juta, tunjangan meja rias sebesar Rp 1,5 juta, rak piring Rp 500.000, kursi tamu Rp 18 juta, lemari buku Rp 3, 25 juta, dan tunjangan asuransi Rp 2,5 juta per bulan selama 5 tahun. Akibatnya APBD menjadi defisit. Untuk menutupi defisit, diterbitkan perda mengenai pungutan. Di antaranya pungutan mengenai air tanah dan air permukaan, perda retribusi bahan bakar kendaraan bermotor dan retribusi kesehatan (Kompas, 26 Agustus 2003).
Penerbitan Peraturan Daerah yang marak di era otonomi banyak dipermasalahkan karena substansinya justru membebani masyarakat daerah. Di Lampung, melalui Perda No 6/2000, untuk komoditas yang keluar dari Provinsi Lampung diharuskan izin, lalu dikenakan retribusi. Kabupaten Pasaman, Sumbar, memiliki Perda No 14/2000 yang mengenakan retribusi kepada pasar, grosir, dan pertokoan sebesar Rp 5.000 per hari. Adapun di Kabupaten Pariaman melalui Perda No 2/2000 dikenakan retribusi bagi masyarakat yang menjual ternak. Bahkan, di Kabupaten Cirebon, ada perda yang memberlakukan pungutan kepada pengamen, di Bengkulu diberlakukan pungutan kepada masyarakat yang mengambil sayuran di hutan (Kompas, 26 Agustus 2003). Kebijakan pemerintah daerah dan DPRD untuk memproduksi Perda-perda tersebut tidak lain karena adanya persepsi keliru dalam memaknai kewenangan dan diskresi yang melekat pada kedua lembaga penyelenggara pemerintahan daerah tersebut.
Diskresi Birokrasi ‘Setengah hati’ atau ‘over discretion’ ?
Diskresi umumnya diartikan sebagai kemampuan administrator untuk memilih diantara alternatif dan memutuskan bagaimana suatu kebijakan (policy) pemerintah harus diimplementasikan dalam situasi-situasi tertentu (Rourke 1984). Sarana ini sangat penting untuk kesuksesan pembuatan kebijakan dan dirangkai ke dalam pembuatan konstitusi sebagai alat penyebaran baik power (kekuasaan) dan konflik antar berbagai kepentingan (Bryner, 1987). Dengan demikian diskresi jelas merupakan bagian dari proses administratif, dan diskresi yang memadai sangat diperlukan dalam menjalankan kegiatan masing-masing.
Dengan beberapa contoh di atas, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa dengan adanya diskresi Pemerintah Daerah yang semakin besar ini pelayanan kepada masyarakat justru terlalaikan dan lebih mementingkan kepentingan elite pemerintahan itu sendiri. Hasil penelitian tentang kualitas pelayanan publik di beberapa Pemerintah Kabupaten dan Kota yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto dkk (2003) menjelaskan bahwa kurang adanya diskresi birokrasi sehingga mengakibatkan pelayanan menjadi lamban. Namun di sisi lain, fenomena empiris yang dicontohkan di atas justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Bagaimana persepsi birokrat itu sendiri terhadap perlunya ruang diskresi, dan sejauhmana mereka merasa dapat menggunakan ruang diskresi tersebut dalam menjalankan tugas dan kewenangannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menarik untuk dicari penjelasannya agar dapat dicari solusinya sehingga tudingan-tudingan miring terhadap birokrasi ini segera dapat dieliminir.
Analisis tentang diskresi birokrasi ini masih sangat diperlukan mengingat dalam menjalankan amanat kebijakan publik selalu diperlukan adanya diskresi, terutama untuk pelayanan publik dimana aparat birokrasi berhadapan langsung dengan masyarakat baik sebagai client, customer maupun citizen yang harus dilayani dengan baik. Dalam proses pemberian pelayanan publik, aparat birokrasi di level bawah (street level bureaucracy) seringkali dituntut dapat mengambil keputusan secara cepat, dan fleksibel. Sebagaimana hasil jajak pendapat pada masyarakat Amerika Serikat yang mayoritas menilai puas terhadap pelayanan birokrasi pemerintahnya karena mereka lebih fleksibel, responsif, dan cepat. Hasil pooling ini paling tidak dapat mewakili suara dan harapan rakyat terhadap aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan.
Agar birokrasi dapat fleksibel, responsif, dan cepat diperlukan adanya ruang kebebasan (diskresi) bagi mereka untuk menjadi lebih kreatif tanpa takut dipersalahkan hanya karena tidak sesuai prosedur. Pemberian diskresi kepada para pelaksana ini akan mendorong kreativitas dan motivasi kerja baik secara individual maupun organisatoris dalam satuan kerja. Namun di sisi lain, pemberian diskresi tanpa kontrol yang memadai juga akan berakibat adanya penyalahgunaan wewenang yang pada gilirannya merugikan kepentingan masyarakat. Disinilah letak dilema atau kontroversi pentingnya diskresi di dalam birokrasi pemerintah. Terlebih lagi dalam pengambilan keputusan birokrasi sangat sulit untuk tidak memasukkan pertimbangan diluar pertimbangan profesional. Derajad intervensi politik sangat tinggi, sehingga membuat birokrasi tidak profesional dan justru menjadi mesin politik penguasa.
Adanya gejala supremasi legislatif terhadap eksekutif dan birokrasi jelas telah membatasi ruang diskresi birokrasi sehingga tidak dapat bertindak netral dan profesional. Besarnya intervensi legislatif terhadap domain kewenangan birokrasi dapat dilihat dalam penataan organisasi birokrasi, pengangkatan kepala dinas, dan pejabat-pejabat daerah lainnya di era reformasi ini yang tidak lepas dari pengaruh legislatif. Kecenderungan intervensi legislatif dalam manajemen birokrasi pemerintah sebenarnya dilandasi oleh adanya motif – motif pribadi dan golongan seperti perebutan kekuasaan maupun mengejar keuntungan materi baik secara langsung atau tidak langsung. Apalagi partai politik yang berhasil memenangkan calon Bupati atau Walikota di daerahnya, cenderung akan memanfaatkannya untuk kepentingan parpolnya itu. Pejabat baru yang didukung oleh partai politik tertentu sulit menjadi pemimpin yang tidak bias kepentingan, ia sulit melepaskan diri dari intervensi parpol atau kelompok yang memenangkannya. Hal ini akan berimbas pada tekanan-tekanan terhadap birokrasi pemerintah dalam membuat kebijakan di domain administrasi sebagai pelaksanaan dari kebijakan politik.
Pengaruh Struktur dan Kultur
Pengaruh politik ini bisa bervariasi kekuatannya hingga ke level bawah mempengaruhi perilaku pegawai birokrasi pemerintah (baca: PNS). Hal ini terjadi mengingat dalam struktur birokrasi kita masih bercorak hierarkhis dengan kultur yang patrimonial. Kuatnya peran pemimpin puncak yang tidak lain adalah pejabat politik seringkali mengaburkan profesionalisme birokrasi. Sebagaimana disebut di atas dalam pengangkatan pejabat-pejabat karir di birokrasi Pemerintah Daerah sering diintervensi oleh kekuatan politik yang mendukung pejabat puncak tadi. Bahkan dalam mutasi dan pengangkatan pejabat birokrasi seperti Kepala – Kepala Dinas ada campur tangan DPRD setempat. Hal ini jelas sudah mengurangi diskresi birokrasi dalam mengatur atau merestrukturisasi organisasinya untuk meningkatkan kinerja pelayanan kepada masyarakat daerahnya.
Selain faktor lingkungan yang mempengaruhi diskresi birokrasi, faktor internal birokrasi itu sendiri juga ikut mempengaruhi seberapa jauh pejabat birokrasi dapat menggunakan diskresinya sesuai dengan tuntutan profesionalitas dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan publik. Faktor internal itu adalah struktur dan budaya birokrasi. Sebagaimana diketahui, lembaga birokrasi merupakan suatu bentuk dan tatanan yang mengandung struktur dan kultur (budaya). Struktur mengetengahkan susunan dari suatu tatanan, dan budaya mengandung nilai (values), sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan perilaku dari sumberdaya manusianya (Thoha,2002).
Birokrasi sebagai organisasi besar dengan struktur hiararkhi panjang dimana kewenangan pejabat puncak lebih besar. Pejabat yang berada pada struktur lebih rendah akan menerima delegasi wewenang dari atasannya, dimikian hingga level yang paling bawah memiliki kewenangan operasional yang terbatas dan lebih banyak berperan hanya sebagai pelaksana. Akibatnya pejabat-pejabat pada level bawah apalagi staf yang justru sering berhadapan langsung dengan publik merasa tidak memiliki kewenangan apapun untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan tugas operasional sekalipun. Dengan kata lain diskresi yang dimiliki sangat kecil atau hampir-hampir tidak ada.
Kelemahan struktur birokrasi tersebut semakin diperparah dengan tumbuh berkembangnya budaya paternalistik. Pejabat pada hirarkhi atas merasa dengan kewenangan besar yang mereka miliki dapat membuat keputusan sesuai dengan kemauannya sendiri atau kepentingan pihak lain yang lebih tinggi atau lebih besar kekuasaannya, seperti pejabat-pejabat politik. Dengan struktur kewenangan dan budaya paternalistik yang masih kuat, maka birokrasi menjelma menjadi mesin kekuasaan yang selalu tunduk kepada pejabat di atasnya.
Penyimpangan Diskresi lebih banyak dilakukan : Kasus Situbondo dan Surabaya
Pengaruh budaya paternalistik dan feodalisme yang sangat mewarnai budaya politik telah merasuki budaya birokrasi di Indonesia. Hal itu mewujud dalam pola perumusan kebijakan pada beberapa dasawarsa pemerintahan sebelum era reformasi antara lain dalam sistem perencanaan yang sentralistis sehingga mengurangi ruang gerak para pegawai untuk berinisiatif dan melakukan inovasi-inovasi. Kriteria pengawasan yang mengandalkan ketaatan terhadap sistem dan prosedur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan penekanannya masih pada audit terhadap pertanggung jawaban keuangan telah memacu munculnya formalitas dalam pengawasan dan pertanggungjawaban pekerjaan (Kasim;1998). Alhasil, administrasi negara Indonesia sangat dipengaruhi oleh pendekatan birokratis yang menekankan pada pengaturan semua kegiatan berdasarkan prosedur dan peraturan perundangan-undangan (rules driven). Orientasi birokrasi yang berlebihan pada aspek formalitas, justru memunculkan praktik-praktik birokrasi yang tidak efisien, tidak produktif dan mengabaikan makna kinerja dalam pelaksaanaan tugas kesehariannya.
Bekerja dalam bingkai peraturan-peraturan formal bagi birokrasi sudah merupakan prakondisi yang sejak lama diyakini sebagai suatu cara yang paling efisien, efektif, dan profesional. Hal ini didasarkan pada teori birokrasi Weber yang mengisyaratkan bahwa pelaksanaan tugas diatur oleh suatu "sistem peraturan-peraturan abstrak yang konsisten dan mencakup juga penerapan aturan-aturan tersebut di dalam kasus-kasus tertentu. Artinya bahwa setiap keputusan dan tindakan birokrasi haruslah didasarkan pada peraturan yang berlaku, jika tidak maka dikhawatirkan akan terjadi tindakan sewenang-wenang pejabat mengingat tidak ada aturan formal yang jelas. Seorang pejabat yang ideal dituntut melaksanakan tugas-tugasnya dengan semangat Sine ira et studio (formal dan tidak bersifat pribadi), tanpa perasaan-perasaan dendam dan nafsu dan oleh karena itu tanpa perasaan kasih sayang atau antusiasme (Blau dan Meyer, 1987).
Demikian halnya dalam kondisi dimana seorang pejabat atau petugas yang terpaksa harus menggunakan diskresi dalam keputusan dan tindakannya tidak boleh lepas dari koridor hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Sejauh mana kesesuaian tindakan diskretif pejabat birokrasi dengan peraturan perundang-undangan akan dipaparkan berikut ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa birokrasi pemerintah daerah di era otonomi cenderung belum mampu mengedepankan aspek profesionalisme yang menjadi harapan masyarakat terutama dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Hal ini diketahui dari hasil penyebaran kuesioner kepada 100 responden masyarakat di Kabupaten Situbondo dan 100 responden masyarakat di Kota Surabaya.
Gambar 4.1. Tanggapan masyarakat terhadap peningkatan profesionalisme Birokrasi (th. 2003)
Sumber: Data Primer diolah, 2003.
Survey yang dilakukan terhadap masing-masing 100 responden baik di Surabaya maupun di Situbondo menunjukkan bahwa penilaian masyarakat terhadap profesionalisme birokrasi dalam pelayanan publik mayoritas masih rendah yakni 46 % untuk Surabaya dan 49 % untuk Situbondo. Responden yang menilai profesionalisme birokasi sama saja dari sebelum otonomi daerah dengan setelah otonomi daerah sebesar 45 % untuk Surabaya, 37 % untuk Situbondo. Sedangkan yang menilai lebih profesional hanya 9 % untuk Surabaya dan 14 % untuk Situbondo.
Namun tanggapan masyarakat tersebut ternyata mengalami perubahan ketika peneliti menyebarkan kembali angket yang sama pada tahun 2006. Perubahan pendapat ini tidak lepas dari semakin mantapnya penyelenggaraan otonomi daerah yang sudah berjalan selama lebih dari 5 tahun dan Undang-Undang penyelenggaraan pemerintahan daerah telah direvisi dari UU no. 22 dan 25 th. 1999 yang efektif diberlakukan tahun 2001 menjadi UU no. 32 dan 35 tahun 2004.
Gambar 4.2. Tanggapan masyarakat terhadap peningkatan profesionalisme Birokrasi (th. 2005)
Dari gambar di atas dapat diketahui pergeseran pandangan masyarakat terhadap profesionalisme birokrasi. Ada pergeseran pandangan yang cukup signifikan terhadap profesionalisme birokrasi. Responden yang menilai bahwa profesionalisme birokrasi masih rendah atau kurang profesional turun menjadi sebesar 22 % untuk Surabaya dan 28 % untuk Situbondo. Responden yang menilai sama saja sebesar 36 % untuk Surabaya dan dan 33 % untuk Situbondo. Sedangkan yang menilai sudah lebih baik sebesar 42 % untuk Surabaya dan 39 % untuk Situbondo. Pendapat responden mengenai profesionalisme birokrasi tersebut didasarkan pada penilaian mengenai kompetensi pejabat birokrasi pemerintah daerah semenjak reformasi dan otonomi daerah digulirkan.
Akibat masih rendahnya profesionalisme birokrasi, maka seringkali keputusan atau tindakan yang diambil seorang pejabat kurang dilandasi oleh kode etik dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Bupati / Walikota merupakan kekuatan paling besar di kalangan elite pemerintahan daerah (ketika masih mengacu pada UU.No.22/1999) yang hingga saat ini ternyata membawa dampak besar dalam arus politisasi birokrasi. Pengangkatan pejabat struktural pemerintah daerah yang seharusnya menganut merit sistem ternyata banyak yang diabaikan termasuk yang terjadi pada pemerintah kota Surabaya dan kabupaten Situbondo, khususnya pada awal-awal otonomi daerah.
Fenomena pengangkatan dan mutasi pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah daerah yang tidak sepenuhnya dilandasi penilaian prestasi atau kinerja menjadi salah satu kelemahan utama birokasi untuk menjadi profesional. Hal ini menunjukkan bahwa Baperjakat yang bertanggungjawab di bidang kepegawaian tidak mematuhi peraturan perundangan yang ada dan cenderung membiarkan diri terseret pada arus politisasi birokrasi. Padahal sesuai ketentuan perundang-undangan yakni PP. No. 100 tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural, penempatan pegawai didasarkan pada prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan tersebut serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan.
Tindakan diskretif dimungkinkan bagi seorang pejabat sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik serta ditujukan untuk kepentingan publik. Namun dalam prakteknya setiap pejabat mempunyai penafsiran yang berbeda dan kurang tepat mengenai makna diskresi itu sendiri. Contoh yang dapat dikemukakan antara lain: Keputusan Sekkota Surabaya yang lama (sebelum Alisyahbana) untuk mengangkat para lurah dan camat namun tidak sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Keputusan tersebut bukan diskresi tetapi merupakan pelanggaran dan tidak memenuhi kriteria prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Keputusan Mutasi dan Promosi Pegawai telah diatur dalam Undang-Undang dan harus dipatuhi oleh Pejabat yang berwenang, sehingga ruang diskresi yang dapat digunakan pejabat sangat terbatas.
Untuk diketahui bahwa keputusan yang diambil oleh seorang pejabat dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: (1) keputusan yang mutlak harus didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga tidak memungkinkan adanya diskresi, (2) keputusan yang bersifat diskretif bebas (freises ermessen) dimana batas hukumnya tidak dinyatakan secara jelas, namun masih harus melihat pada aspek lain yang lebih luas seperti HAM dan hukum lain yang lebih universal, dan (3) keputusan diskretif terbatas artinya seorang pejabat dapat dimungkinkan untuk memilih diantara alternatif yang ada tetapi masih dalam batasan-batasan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh ketentuan perundang-undangan yang ada (Wawancara dgn Prof. Eko Prasojo, UI, 2007).
Dengan demikian keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan pejabat birokrasi tersebut dapat dikategorikan berdasarkan kejelasan dan kelengkapan ketentuan perundang-undangan yang mendasarinya hingga sampai pada tataran operasional. Semakin rinci peraturan perundang-undangan yang dibuat maka semakin tidak dimungkinkan adanya tindakan atau keputusan diskretif. Namun yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa dalam segi kelengkapan peraturan saja tidak cukup memberikan petunjuk operasional yang jelas bagi para pejabat untuk mengambil tindakan, apalagi jika substansinya masih belum sinkron satu sama lain sehingga cenderung terjadi inkonsistensi hukum.
Selain penyalahgunaan diskresi yang dilakukan dengan jelas-jelas melanggar ketentuan yang berlaku, fenomena inkonsistensi dan ketidakjelasan hukum dan peraturan perundang-undangan juga menjadi penyebab penyimpangan diskresi. Pejabat di daerah sering merasa ’kewalahan’ mengikuti perkembangan peraturan yang seringkali mengalami perubahan. Dalam kondisi seperti itu maka sangat dimungkinkan terjadinya multi interpretasi yang akhirnya berdampak pada munculnya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin disengaja atau murni karena misunderstanding belaka.
Hasil penelitian di Pemerintah Kota Surabaya, jarang ditemui adanya tindakan yang benar-benar bersifat diskretif. Demikian juga di Kabupaten Situbondo. Hal ini antara lain disebabkan kultur birokrasi di Indonesia yang masih bernuansa paternalistis dan derajad formalisasinya masih tinggi. Derajad formalisasi tinggi tidak berarti menunjukkan tingkat kepatuhan pegawai terhadap hukum dan peraturan menjadi tinggi pula, namun bisa juga mereka cenderung memandang hukum dan peraturan hanya pada tataran formal saja. Dalam prakteknya banyak ditemui kasus-kasus yang menonjol yang umumnya dipersepsi sebagai diskresi ternyata sebenarnya justru merupakan pelanggaran. Demi memuaskan pihak-pihak tertentu, pejabat seringkali menggunakan kewenangannya untuk membuat keputusan yang (mungkin) dianggapnya sah-sah saja mengingat kedudukan dan kewenangan yang dimilikinya cukup tinggi. Sebaliknya dalam menyelesaikan permasalahan atau keluhan masyarakat yang seharusnya memerlukan tindakan yang tegas bahkan bilamana perlu mengambil tindakan yang bersifat diskretif justru jarang dilakukan.
Contoh kasus pelenggaran tempat usaha yang juga pelanggaran terhadap ijin gangguan yang sering terjadi di Surabaya, Pihak yang berwenang seharusnya melakukan tindakan tegas sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Daerah No. 01 Tahun 2004 tentang Ijin Gangguan khususnya Pasal 28 yang berbunyi:
a) Kepala daerah berwenang melakukan penutupan/ penyegelan dan menghentikan kegiatan pada tempat usaha yang tidak memiliki ijin gangguan;
b) Kepala Daerah berwenang melakukan pencabutan ijin, penutupan/ penyegelan dan penghentian kegiatan pada tempat usaha yang melangar ijin.
Kasus-kasus sejenis sebenarnya banyak sekali terjadi, antara lain yang banyak mendapat sorotan dari kalangan DPRD dan masyarakat luas di Surabaya adalah mengenai Reklame bermasalah yang mencuat sejak tahun 2005 hingga saat ini. Terhadap pelanggaran tersebut, pejabat yang berwenang tidak segera mengambil tindakan tegas bahkan cenderung ditutupi hingga menimbulkan kesan adanya ’permainan’ antara pejabat dengan pihak pengusaha. Dalam kasus ini memang benar telah terjadi kolusi antara pihak pemberi ijin, pihak yang berwenang menertibkan, dengan pengusaha atau pemilik perusahaan reklame. Namun fokus bahasan lebih diarahkan pada tidak adanya tindakan pejabat yang tegas dalam menjalankan peraturan yang ada, bahkan cenderung mencari ’celah’ atau mengulur-ulur waktu agar reklame yang bermasalah itu tetap masih terpasang. Tindakan membiarkan atau tidak melakukan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebenarnya dapat pula dikatakan sebagai diskresi pejabat yang mengarah pada maladministrasi publik, yang dengan kewenangannya mereka sengaja menunda kewajiban secara berlarut-larut yang dampaknya adalah menguntungkan satu pihak tetapi dapat merugikan lain yang lebih luas.
Berbeda dengan kasus-kasus yang lebih banyak bersifat penyimpangan diskresi pejabat birokrasi di atas, di kabupaten Situbondo justru pernah terjadi dimana keputusan yang bersifat diskretif yang sebenarnya sangat diperlukan demi kelancaran sebuah proyek yang sangat bermanfaat bagi nelayan ternyata justru tidak mendapat dukungan dari struktur birokrasi yang lebih tinggi. Tindakan diskretif dalam kasus pengadaan Kapal latih dan Cool storage yang diambil oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan untuk segera menyelesaikan proyek demi kemanfaatan masyarakat nelayan yang lebih luas, sebenarnya tidak bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pelaksanaan pemerintahan yang baik. Sebaliknya justru tindakan tersebut terpaksa diambil demi menyelamatkan anggaran yang sudah ada dan mempercepat tercapainya tujuan dari pengadaan proyek tersebut yakni meningkatkan kesejahteraan nelayan. Namun pada kenyataannya keputusan yang bersifat diskretif tersebut justru mendapat tekanan dari pihak internal birokrasi pada struktur yang lebih tinggi. Dengan kata lain, keputusan diskretif tersebut tidak dapat diterima dan dijalankan oleh karena adanya intervensi atau tekanan dari struktur birokrasi yang lebih tinggi.
Derajad kesesuaian atau ketidaksesuaian keputusan atau tindakan diskretif yang diambil oleh seorang pejabat juga dapat dikaji dari dinamika hukum dan peraturan perundang-undangan yang sampai saat ini masih diatur secara sentralis oleh Pemerintah Pusat. Di era reformasi dan otonomi daerah, peraturan formal dalam artian perundangan-undangan yang digariskan Pemerintah Pusat seringkali mengalami perubahan yang berakibat pada ketidakpastian dasar hukum bagi pengambil kebijakan dan pelaksana di tingkat daerah. Dalam kondisi dimana masih sering terdapat inkonsistensi kebijakan yang digariskan oleh Pusat, daerah cenderung mengambil sikap pasif karena dalam beberapa hal merasa otonomi yang diberikan tidak ’sepenuh hati’. Disisi lain, sikap pejabat-pejabat birokrasi di daerah tidak begitu saja bebas dari kecenderungan perilaku budget maximiser (akan dibahas pada bagian selanjutnya) dimana dengan otonomi yang diterima cenderung akan digunakan semaksimal mungkin untuk memperbesar peluang memperoleh keuntungan baik secara pribadi maupun untuk unit tugasnya masing-masing.
Perilaku yang berorientasi pada kepentingan pribadi dan golongan
Sejak otonomi daerah diberlakukan, Pemerintah Daerah dan DPRD telah diberi kewenangan atau mandat oleh Pemerintah Pusat untuk menyusun rencana anggaran dan pengelolaannya di lingkup pemerintahan masing-masing. Namun sebagaimana diketahui, bahwa besarnya kewenangan tersebut kurang diimbangi dengan kapasitas kontrol dari publik, sehingga telah terjadi kecenderungan Pemerintah Daerah bersama DPRDnya bersama-sama melakukan penyimpangan atau pelanggaran di dalam pengelolaan anggaran tersebut. Pola penyimpangan yang sering dilakukan pada awalnya oleh DPRD yang melibatkan pejabat birokrasi Pemerintah Daerah seperti yang terjadi antara lain di Kepulauan Riau (APBD 2001), Yogjakarta (APBD 2002), Makasar (APBD 2002 dan 2003), Padang (APBD 2001 dan 2002), Surabaya (APBD 2001 dan 2002) serta masih banyak kasus-kasus penyimpangan lainnya. Demikian juga yang terjadi di Kabupaten Situbondo, penyimpangan APBD yang melibatkan Mantan Sekretaris Kabupaten Drs. Soedirdjo yakni kasus ’asuransi-gate” merupakan bentuk penerapan diskresi Pemerintah daerah yang telah digunakan secara melanggar hukum.
Banyaknya pelanggaran atas dana APBD yang dilakukan DPRD baik secara sendiri maupun bersama dengan Pemerintah Daerah, banyak disebabkan karena ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang dijadikan acuan penyusunan anggaran Dewan. Sebagaimana diketahui PP No. 110 tahun 2000 yang menjadi acuan untuk menyusun anggaran rumah tangga dewan terkena judicial review karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi. Sebagai akibatnya, perencanaan anggaran rumah tangga DPRD menjadi semakin kacau dan DPRD merasa memiliki hak untuk membuat item-item kebutuhan tanpa mengacu pada PP No. 110 tahun 2000 tersebut. Selain disebabkan ketidak jelasan peraturan perundang-undangan yang berlaku, banyak motif-motif lain yang memang mengarah pada tindakan korupsi guna kepentingan pribadi atau golongan.
Dalam menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, birokrasi pemerintah sering menggunakan kewenangannya untuk mengalokasikan sejumlah anggaran yang sebenarnya tidak sesuai atau bukan merupakan kebutuhan masyarakat secara luas melainkan hanya atas dasar ’desakan’ pihak-pihak tertentu. Fenomena tersebut dikenal dengan perilaku budget maximiser, yang mana sangat terkait dengan adanya orientasi kepentingan pribadi dan golongan.
Diskresi birokrasi yang sebenarnya adalah salah satu sumber power bagi birokrasi agar dapat mengambil keputusan di domainnya dan mengimplementasikan kebijakan publik berdasarkan pertimbangan rasional dan profesional tanpa ada intervensi kepentingan pihak lain, seringkali dimaknai secara keliru. Banyak pejabat di birokrasi tidak bisa membedakan secara benar apa itu diskresi atau penyalahgunaan kewenangan.
Purna Wacana
Dari paparan diatas diketahui bagaimana para pejabat birokrasi banyak yang melakukan penyalahgunaan kewenangan diskresi, Selain dipengaruhi budaya atau perilaku politik, diskresi birokrasi ini juga seringkali dipengaruhi oleh kondisi internal birokrasi itu sendiri, yang meliputi struktur dan budaya organisasi birokrasi. Dahulu ketika orde baru dengan struktur yang cenderung sentralistik, mengakibatkan pelayanan publik terkesan lamban dan kurang responsive terhadap perkembangan tuntutan masyarakat di daerah. Kini dengan adanya otonomi luas maka struktur organisasi pemerintah juga mengalami perubahan, tetapi diskresi birokrasi pemerintah daerah yang makin besar tersebut ternyata belum digunakan secara efektif untuk penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih baik.
Faktor internal berikutnya setelah struktur adalah budaya atau kultur organisasi birokrasi yang mendasari pola perilaku setiap individu penyelenggara pelayanan publik, baik secara organisasional maupun perorangan. Budaya birokrasi ini dipengaruhi pula oleh budaya yang berkembang dalam masyarakat, dimana dalam masyarakat kita masih kuat budaya paternalistiknya. Hal ini mewujud dalam perilaku bawahan yang cenderung menggantungkan pada perintah atau petunjuk dari atasan, tidak memiliki keberanian atau kemauan untuk berinisiatif dalam menjalankan tugas dan fungsinya sehari-hari. Akibatnya pelayanan publik seringkali terkesan kaku, birokratis dan kurang adaptif terhadap kondisi di lapangan.
Untuk mengotrol penggunaan diskresi birokrasi dalam proses pembuatan kebijakan publik tersebut, Hunold (2001) mengusulkan sebuah konsep yang diilhami oleh teori deliberative democracy. Hunold ingin mengembangkan model akuntabilitas administratif berdasarkan pada keterlibatan masyarakat yang terkait secara langsung dalam proses pembuatan keputusan / peraturan, jadi tidak hanya mengandalkan peran legislatif. Melalui deliberative democracy ini masyarakat menggunakan pertimbangan publik untuk secara kolektif ikut memberikan masukan dalam proses pengambilan keputusan (Bohman,1996).
Pentingnya mengkaitkan diskresi birokrasi dengan akuntabilitas dan responsibilitas perlu mendapat perhatian. Sebagaimana kita rasakan di tahun-tahun terakhir ini, birokrasi publik dihadapkan pada tuntutan akan peningkatan akuntabilitas dan responsibilitas. Hal ini sebagai respon terhadap rendahnya kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik dan situasi ini dicatat sebagai era dimana telah terjadi krisis akuntabilitas di tubuh birokrasi. Krisis akuntabilitas tersebut antara lain diakibatkan oleh besarnya kekuasaan birokrasi (semenjak era orde baru), sehingga kesadaran untuk mempertanggungjawabkan kewenangan yang diberikan oleh rakyat melalui lembaga legislatif masih sangat berkurang. Birokrasi tidak saja menjadi mesin peguasa, melainkan telah menjelma menjadi penguasa itu sendiri. Dalam sistem demokrasi, kondisi seperti ini jelas menyimpang dari prinsip yang ingin ditegakkan, yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Referensi
Blau, Peter M. And Meyer, Marshall W.,1987, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Edisi kedua, terjemahan, UI-Press, Jakarta.
Bryner, G. 1987. Bureaucratic Discretion: Law and Policy in Federal Regulatory Agencies. New York: Pergamon Press
Corbett, D 1992, Australian Public sector management, Allen & Unwin, Sydney.
Dwiyanto, A.dkk . 2003. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Jogjakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM
Finn,P 1993, Public trust and public accountability, Australian Quarterly 65, Winter: 50-9.
Hunold, C. 2001. Corporatism, Pluralism, and Democracy: Toward a Deliberative Theory of Bureauratic Accountability. An International Journal of Policy an Administration, Vol. 14, No. 2, April, 151-167
Jackson, M 1995, Democratic Accountability, Canberra Bulletin of Public Administration 78, 86-8.
Mulgan, Richard, 1997, The Processes of Public accountability, Australian Journal of Public Administration, 56 (1): 25-36, March.
Parker, RS 1980, Responsible Government in Australia, Drummond, Richmond.
Klitgaard, Robert, 1988, Controlling Corupption, The Regent of the University of California
Klitgaard, R., Maclean-Abaroa, Parris, ,Corrupt Cities: A practical guide to cure and prevention, Institute for Contemporary Studies Press, Oakland-Cal
Rourke, Francis E., 1984, Bureaucracy, Politics and Public Policy, 3th edition, New York: Macmillan
Thoha, Miftah, 2003, Birokrasi dan politik di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Kompas, 6 Juli 2003
Kompas, 26 Agustus 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar