Sri Juni Woro Astuti's Blog


Welcome to Sri Juni Woro Astuti's Blog

Rabu, 12 Januari 2011

Membangun Kembali Social Capital Dalam Rangka Reformasi Administrasi di Indonesia

Oleh Sri Juni Woro Astuti

Pendahuluan
Reformasi birokrasi sebenarnya adalah merupakan bagian dari reformasi administrasi. Adapun pengertian reformasi administrasi itu sendiri masih banyak dimaknai secara berbeda. Disatu sisi, konsep reformasi administrasi (administrative reform) diidentikkan dengan konsep perubahan administrasi (administrative change). Perubahan administrasi mengandung pengertian sebagai suatu proses penyempurnaan (revisi) yang dilakukan secara terus menerus terhadap praktek-praktek administrasi, organisasi, prosedur, dan seluruh proses dimana administrasi terlibat di dalamnya (Leemans dalam Mutahaba, 1989:25). Hal ini menekankan perlunya perubahan administrasi secara berkesinambungan dan kontekstual.
Reformasi administrasi sesungguhnya tidak hanya sekedar perubahan yang bernuansa internal manajerial, tetapi lebih merupakan perubahan di sektor publik dan pemerintah yang bersifat terencana, instrumental dan organisasional dalam rangka memenuhi atau menyesuaikan diri dengan perubahan tuntutan lingkungannya (Caiden dan Siedentopf, 1982). Reformasi administrasi ini diperlukan tidak saja untuk meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah, tetapi juga untuk menunjukkan seberapa besar kemampuan pemerintah dalam memenuhi harapan-harapan dan keinginan masyarakat.
Untuk itu nilai-nilai yang merupakan esensi administrasi negara (publik) dalam artian yang lebih luas seperti kewarganegaan (citizenship), keadilan sosial (social equity), etika, tanggung jawab, keterbukaan (Frederickson,1997) merupakan prinsip fundamental dalam reformasi administrasi-- selain nilai-nilai manajerial seperti efisiensi dan ekonomi--. Nilai-nilai esensial administrasi negara (publik) seperti kewarganegaan (citizenship), keadilan sosial (social equity), etika, tanggung jawab, keterbukaan tersebut di atas tidak lain merupakan social capital (modal sosial) yang bersumber dari hubungan sosial, yang meliputi trust (kepercayaan), norms (norma/kaidah), dan networks (jaringan) antar berbagai assosiasi yang mewakili beberapa kelompok yang secara konsisten berupaya mencapai tujuan bersama. Social capital merupakan public goods yang diciptakan oleh masyarakat dan dimiliki oleh masyarakat pula, tidak oleh individu atau pemerintah, tidak juga oleh kelompok-kelompok yang memiliki sumberdaya melimpah.
Kapital sosial ini terbentuk dengan sendirinya dalam kurun waktu yang relatif lama, seperti halnya proses pembentukan sistem nilai atau budaya pada umumnya. Oleh karenanya ketika kapital sosial ini telah terbentuk, maka akan sulit dihilangkan begitu saja (berbeda dengan kapital finansial). Namun ketika nilai-nilai social capital itu telah terkikis, jauh lebih sulit untuk membangunnya kembali.

Konsep Social Capital
L.J. Hanifan's 1916 dalam artikelnya tentang dukungan daerah terhadap sekolah di pedesaan, merupakan salah satu yang mencantumkan konsep social capital sebagai konsep yang mengacu pada kohesivitas sosial dan investasi personal dalam suatu komunitas sosial. Hanifan mendefinisikan konsep social capital dengan memperbandingkannya dengan banda-benda material sebagai berikut:
"...that in life which tends to make these tangible substances count for most in the daily lives of people: namely good will, fellowship, sympathy, and social intercourse among the individuals and families who make up a social unit… The individual is helpless socially, if left to himself… If he comes into contact with his neighbor, and they with other neighbors, there will be accumulation of social capital, which may immediately satisfy his social needs and which may bear a social potentiality sufficient to the substantial improvement of living conditions in the whole community. The community as a whole will benefit by the cooperation of all its parts, while the individual will find in his associations the advantages of the help, the sympathy, and the fellowship of his neighbors" (p. 130).
Berbagai aspek dari konsep tersebut juga telah banyak digunakan oleh banyak ilmuwan sosial, namun tidak banyak yang mendefinisikannya secara eksplisit melainkan lebih benyak mengkaitkannya dengan nilai-nilai hubungan sosial (social networks). Demikian pula para ilmuwan di bidang ilmu politik seperti Robert salisbury mengembangkan konsep social capital sebagai komponen penting dari pembentukan dan keberadaan kelompok kepentingan dalam tilisannya pada tahun 1969 yang berjudul "An Exchange Theory of Interest Groups" yang dimuat dalam Midwest Journal of Political Science.
Selanjutnya Pierre Bourdieu, sosiolog, juga menggunakan konsep social capital dalam tulisannya Outline of Theory of Practice pada tahun 1972 dan beberapa tahun kemudian mengklarifikasinya kembali dengan membedakan konsep social capital dengan kultur serta simbol-simbol kapital dan ekonomi. Baru beberapa tahun kemudian konsep social capital ini lebih dipopulerkan lagi oleh James Coleman, Barry Wellman dan Scot Wortley yang mengadopsi definisi yang dikembangkan oleh Glenn Loury (1977). Pada akhir 90-an konsep ini sangat populer, dan menjadi salah satu fokus program kajian World Bank dan menjadi topik bahasan utama dalam berbagai buku, salah satunya buku yang ditulis oleh Robert Putnam: Bowling Alone, dan Lewis Feldstein: Better Together.
Meskipun Bourdieu sependapat dengan Coleman bahwa social capital merupakan sumber daya yang netral, namun Bourdieu cenderung menunjukkan bahwa dalam prakteknya konsep social capital juga dapat digunakan untuk menghasilkan dan atau menghasilkan kembali ketidak seimbangan (inequality) dengan menunjukkan bagaimana orang-orang dapat mengakses posisi-posisi kekuasaan melalui hubungan sosial baik secara langsung maupun tidak langsung. Sementara itu, Robert Putnam menggunakan konsep tersebut dalam perspektif yang lebih positif. Meskipun pada mulanya ia mempertanyakan apakah benar social capital suatu konsep yang netral, ia membingkai konsep social capital sebagai suatu konsep yang menghasilkan civic engagement dan juga sebagai indikator sosial dari kesehatan kelompok atau komunitas. Putnam juga yang mentransformasi konsep social capital dari kepemilikan individual menjadi atribut kelompok (kolektif), yang menitik beratkan pada nilai-nilai kepercayaan (trust). Senada dengan Putnam, Mahyar Arefi (2003) juga mengidentifikasi bahwa konsensus merupakan salah satu indikator positif dari social capital. Konsensus mencerminkan adanya kepentingan yang sama dan kesepakatan diantara beberapa aktor atau individu dan stakeholders untuk mendorong gerakan kolektif. Gerakan kolektif inilah yang kemudian merupakan indikator dari meningkatnya social capital. Social Capital sering pula dikaitkan dengan keberhasilan demokrasi dan partisipasi politik. Putnam dalam bukunya Bowling Alone membuat argumen bahwa social capital berhubungan dengan kemunduruan partisipasi politik masyarakat Amerika yang terjadi saat itu.
Menurut Putnam, social capital mengacu pada nilai-nilai kolektif dari semua jaringan atau hubungan sosial dan kecenderungan yang muncul dari hubungan sosial tersebut. Social capital, oleh karenya merupakan komponen vital untuk membangun dan merawat demokrasi. Apa yang dikatakannya terjadinya penurunan social capital di Amerika serikat dlihatnya dari rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat. Putnam meyakini bahwa social capital dapat diukur dari tingkat kepercayaan (trust) dan hubungan imbal balik dalam suatu komunitas atau antara individu. Sementara itu Coleman mendefiniskan social capital sebagai berikut:
“a variety of entities with two elements in common: they all consist of some aspect of social structure, and they facilitate certain actions of actors...within the structure”
Social capital adalah segala sesuatu yang memfasilitasi tindakan individu atau kelompok yang didasari oleh adanya hubungan timbal balik, kepercayaan, dan norma-norma sosial. Dalam pandangan Coleman, social capital adalah sumber daya ang netral dan tergantung pada penggunaannya . Sementara itu dalam bentuk capital, Pierre Bourdieu membedakan toga macam kapital, yakni : economic capital, cultural capital and social capital. Ia mendefinisikan social capital sebagai "the aggregate of the actual or potential resources which are linked to possession of a durable network of more or less institutionalised relationships of mutual acquaintance and recognition".
Kapital Sosial dan Reformasi Administrasi Publik
Sebagaimana dipaparkan di atas, teori social capital dipopulerkan oleh Putnam, berdasarkan hasil riset di berbagai wilayah di Amerika serikat, kapital sosial ternyata memegang peran kunci dalam menunjang keberhasilan pemerintahan. Beberapa daerah dimana masyarakatnya sangat commited terhadap pemerintah dan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, patuh terhadap hukum, saling mempercayai satu sama lain, disanalah pemerintah dapat menjalankan perannya dengan baik, memberikan pelayanan publik yang memuaskan, serta mencapai pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan. Hal ini dikarenakan antara aktivitas sosial dan politik dapat saling menunjang satu sama lain, dalam hubungan yang horisontal bukan vertikal, antara masyarakat dan pemerintah begitu terintegrasi dalam suasana demokrasi yang sangat baik. Sebaliknya, kasus kegagalan pemerintah di beberapa wilayah lainnya, disebabkan karena kurang berkembangnya masyarakat civil (civic community) dan kehidupan berdemokrasi yang masih terbelakang. Masyarakat merasa sangat tidak berdaya, tidak dapat berpartisipasi, dan banyak terjadi pelanggaran hukum sehingga pemerintahan tidak berjalan dengan efektif (Putnam,1993).
Pelajaran yang dapat dipetik dari riset Putnam tersebut jelas membuktikan bahwa social capital merupakan prasyarat (prakondisi) bagi keberhasilan reformasi administrasi publik, dimana pada umumnya ide untuk melakukan reformasi akan muncul ketika terjadi penyimpangan, ketidak wajaran, ketidakpuasan atau kekecewaan, ketidaksenangan, keterasingan, penderitaan dan lain sebagainya dan tujuannya adalah untuk menuntut perbaikan kinerja (Caiden, 1991:45).
Mengingat reformasi administrasi melibatkan perubahan yang berskala besar dalam hal struktur dan proses organisasi dalam konteks politik (Montgomery, 1969 dalam Mutahaba, 1989:26), maka tidak ada reformasi jika perubahan yang terjadi tidak berdimensi politis atau hanya sedikit dimensi politiknya. Dalam konteks ini, administrative reform sulit dibedakan dengan reformasi sistem politik (political system reform). Berdasarkan pemahaman tersebut, Mutahaba (1989) mengaku sulit untuk memahami tujuan reformasi selain untuk pengaturan ulang hubungan-hubungan kekuasaan dalam organisasi atau dalam suatu masyarakat, yang mana hal ini tidak akan dapat dicapai jika nilai-nilai yang merupakan kapital sosial tersebut telah memudar.
Pudarnya kapital sosial terlihat dari perilaku dan orientasi tindakan yang secara riil dilaksanakan oleh para pejabat dan staf di lingkungan birokrasi pemerintah yang seringkali tidak sesuai dengan nilai-nilai etika pemerintahan yang seharusnya dipegang teguh. Padahal nilai-nilai etika merupakan ‘jiwa’ atau ‘ruh’ yang melandasi administrasi publik (Cooper, 1990). Pentingnya dimensi etika bahkan dapat dianalogikan dengan sistem sensor pada administrasi publik dan dapat mempengaruhi dimensi-dimensi lain dalam sistem administrasi publik (Keban, 2008). Namun nilai-nilai normatif tersebut semakin memudar sehingga semakin banyak penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang birokrasi dan pejabat-pejabat politik sebagai pengambil kebijakan yang hanya berorientasi pada kepentingan pribadi dan golongan serta mengabaikan kepentingan rakyat.
Selain itu kondisi dilematis yang selalu dihadapi birokrasi pemerintah terkait dengan konteks politik yang tidak dapat mereka dihindari semakin meniadakan nilai-nilai kapital sosial tersebut. Menanggapai kondisi tersebut Putnam (1993) menyatakan bahwa “keberhasilan untuk menyelesaikan dilema-dilema dari aksi kolektif dan oportunisme untuk mengalahkan diri sendiri yang mereka kembangkan tergantung pada konteks sosial yang lebih luas dimana permainan itu terjadi. Sedangkan Coleman (1990), menyatakan bahwa fitur-fitur organisasi yang sudah lama ada seperti adanya kepercayaan, norma-norma, dan jaringan kerja, semua itu membentuk capital social yang mendorong kerjasama secara spontan / langsung dan untuk kepentingan umum. Kapital sosial membangun kepercayaan, dimana kepercayaan merupakan kunci pokok yang menunjang dinamisme ekonomi dan kinerja pemerintah. Dalam hal ini dibedakan antara kepercayaan sosial dengan kepercayaan personal, dimana tingkat kepercayaan sosial meningkat sebagai konsekwensi dari penggunaan hak kewarganegaraan dan adanya norma-norma lainnya. Hak untuk pengontrolan aksi-aksi individu telah ditransformasikan dari hak perorangan menjadi hak kelompok, karena aksi-aksi individu tersebut bisa mempengaruhi eksternalitas kelompok yang tidak dapat dijelaskan dalam pertukaran pasar. Dalam hal ini penggunaan hak kewarganegaraan yang tertuang dalam jaringan-jaringan kerja atau sejenisnya, secara horisontal memotong pengelompokan-pengelompokan sosial (seperti asosiasi lingkungan, komunitas masyarakat, klub olah raga, dst.). Jaringan kerja vertikal tidak dapat meningkatkan kepercayaan yang dibangun oleh tipikal jaringan kerja horisontal dari hirarki yang lebih rendah.
Putnam berpendapat bahwa adanya norma-norma dan jaringan-jaringan kerja sebagai akibat dari penggunaan hak kewarganegaraan lebih dapat membantu daripada menekan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan keefektifan institusi-institusi publik. Lebih jauh lagi, pada masyarakat kompleks yang berkembang secara ekonomis, akan lebih besar terjadinya peluang untuk melakukan kelalaian dan kecurangan. Untuk itu, kekuatan kapital sosial dibutuhkan untuk mencegah hal tersebut menjadi suatu budaya.

Menakar Kepemilikan Social Capital
Hasil studi Putman tersebut, jika kita tarik dan direfleksikan pada kondisi di Indonesia sebelum reformasi, maka dapat digambarkan pada kondisi belum atau kurang berkembangnya civil society dan kehidupan berdemokrasi yang sangat terbatas. Masyarakat tidak berdaya, tidak dapat berpartisipasi dengan baik, sehingga pelanggaran hukum justru banyak dilakukan para penyelenggara pemerintahan dan akibtanya banyak program pemerintahan dan pembangunan yang tidak berjalan dengan efektif dan efisien.
Kondisi tersebut yang kemudian mendorong timbulnya gerakan reformasi karena kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah telah mengalami degradasi secara drastis. Reformasi yang ditandai dengan lengsernya pemerintah orde baru merupakan klimak dari ketidak efektifan pemerintah dalam mengatasi berbagai krisis yang dipacu oleh krisis ekonomi hingga meluas ke krisis multi dimensi. Pada saat itu dapat dikatakan kondisi negara dan pemerintahan ’chaos’ dengan maraknya demontrasi anarkis dimana-mana. Para elit dan kelompok-kelompok masyarakat tidak lagi bisa saling percaya satu sama lain, integritas dan solidaritas terkikis, dan pelanggaran hukum terjadi di berbagai pemerintahan daerah. Dengan melihat kondisi demikian dapat dikatakan bahwa capital social di Indonesia sudah sangat rendah.
Selanjutnya pada era reformasi ini, para elit politik mencoba memperbaiki sistem antara lain sistem politik, sistem pemerintahan daerah, dan juga penegakan hukum. Di bidang pemerintahan, dapat dikatakan telah dilakukan reformasi dengan diberlakukannya otonomi daerah secara riil, luas dan bertanggung jawab. Demikian pula di bidang politik telah dilaksanakan sistem demokrasi langsung. Demikian juga di bidang penegakan hukum telah diupayakan untuk secara tegas menindak setiap orang dan pejabat yang melakukan tindakan melanggar hukum tanpa tebang pilih.
Namun reformasi birokrasi yang merupakan bagian dari sistem administrasi negara nampaknya belum secara serius dilaksanakan. Hal ini terbukti hingga saat ini peraturan perundang-undangan tentang sistem administrasi pemerintah belum juga resmi disahkan. Peran birokrasi yang profesional, yang mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan mendukung terpenuhinya kebutuhan masyarakat agar masyarakat mampu melakukan kegiatan lainnya secara mandiri belumlah nampak. Salah satu penyebab ketidak profesionalan tersebut adalah adanya ketidakseimbangan antara kewenangan, hak dan tanggung jawab. Ketidakseimbangan ini pada akhirnya mengakibatkan kecenderungan yang tinggi di kalangan pegawai pemerintah untuk menyalahgunakan kewenangan dan bersikap apatis atau tidak termotivasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Sekedar mengingatkan bahwa Indeks Prestasi Korupsi di Indonesia pada tahun 2008 masih mencapai 2,8 bahkan lebih tinggi daripada tahun 2007 yang mencapai 2,0. hal ini juga merupakan salah satu bukti bahwa reformasi birokrasi belum berhasil.
Demikian pula dilihat dari capaian kinerja pemerintah saat ini yang sesungguhnya belum dapat dikatakan berhasil. Hal itu dilihat dari indikator kinerja pemerintah yang antara lain berdasarkan indikator ekonomi utama yang dicanangkan pada Rencana Pembangunan Jangka Mengengah (RPJM). Jika pada RPJM ditargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,6 % selama kurun waktu tahun 2005-2009, realisasinya hingga tahun 2008 baru tercapai 5,9%. Target angka pengangguran tahun 2008 sebesar 6,6% ternyata realisasinya masih sebesar 8,4%. Demikian pula target penduduk miskin dalam RPJM sebesar 8,2 % untuk tahun 2009, namun realisasinya hingga tahun 2008 masih sebesar 15,4%. Kondisi capaian kinerja pemerintah Indonesia ini jauh tertinggal dibandingkan dengan kinerja pemerintah di negara-negara tetangga seperti Laos, Kamboja, Vietnam dan China. Sebagai contoh, untuk pengurangan tingkat penduduk miskin periode tahun 2004-2008 di Laos sebesar 10,6 % , Kamboja turun 11,3%, Vietnam 4,8%, China 4,2%, sadangkan Indonesia hanya 1,5 %. (Kompas, 27 April 2009).
Dengan capaian kinerja pemerintah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa reformasi birokrasi pemerintah belum berjalan dengan baik. Padahal dalam situasi keterpurukan negara dan masyarakat Indonesia yang dialami sejak ’pecahnya’ krisis multi dimensi sekitar 10 tahun silam, agenda reformasi birokrasi tidak dapat ditawar lagi. Namun sejauh ini nampaknya pemerintah belum menunjukkan sence of crisis dengan segera melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Grand design reformasi birokrasi pasca Orde Baru belum dirumuskan dengan tujuan dan strategi yang jelas. Salah satu pakar birokrasi, Miftah Toha menyatakan bahwa hingga saat ini kelembagaan dan sistem administrasi belum berubah, susunan dan struktur organisasi birokrasi pemerintah masih seperti yang dulu pada era Presiden Suharto (2008). Demikian pula sistem nilai atau kultur yang kemudian mempengaruhi perilaku dan kinerja birokrasi secara individu maupun kelembagaan belum mengalami perubahan yang berarti.
Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya yang serius dan tegas dalam mencoba memperbaiki birokrasi kita. Kondisi ini hanya dapat diatasi dengan membangun kembali social capital yang sudah terlanjur terkikis ini. Hal ini memang sangat sulit untuk membangun rasa saling kepercayaan, kejujuran dan kerjasama yang murni sangat sulit untuk dilakukan. Menurut analisis yang dilakukan oleh Indonesia corruption watch (2000), masyarakat kita justru semakin menuhankan materi. Status sosial pejabat yang kaya raya dengan gaya hidup yang mewah, meskipun semua itu tidak mungkin dapat diperoleh dari pendapatan resminya, kedudukannya di masyarakat begitu tinggi, diidolakan dan dirubung, siapa tahu dapat kebagian limpahan rezeki. Pejabat yang royal berderma, dianggap seorang yang tinggi ahlaknya dan karenanya senantiasa didoakan masyarakat, tanpa pernah dipertanyakan dari mana sumber dananya. Di dalam masyarakat yang demikian tentu semua orang menginginkan untuk memperkaya diri karena akan mendapat posisi terhormat dimata masyarakat.

Memudarnya Social Capital : Fenomena Urban Politics
Dalam realisasinya, reformasi birokrasi dan administrasi yang sesungguhnya jarang tersentuh, melainkan lebih banyak terkooptasi dan mungkin telah dilegimitasikan oleh janji-janji simbolis untuk meningkatkan produktivitas dalam sektor publik namun sejatinya yang dilakukan tersebut adalah untuk mencapai tujuan politis. Keseriusan untuk membenahi sistem kelembagan birokrasi pemerintahan, peningkatan kualitas dan kompetensi sumber daya aparatur melalui evaluasi kinerja PNS, sistem insentif yang kompetitif dan rekruitment berbasis profesionalisme dan lain sebagainya hingga saat ini masih merupakan konsep yang belum konkrit melainkan masih abstrak atau sekedar sketsa (rencana).
Reformasi sistem politik dengan melaksanakan demokrasi secara langsung terlalu jauh melangkah meninggalkan reformasi birokrasi yang masih saja jalan di tempat. Padahal birokrasi merupakan muara dari reformasi-reformasi dalam sistem politik, sistem administrasi negara, dan sistem hukum. Seberapa bagusnya reformasi atau perubahan yang sudah dibuat pada ketiga sistem tersebut, apabila tidak diimbangi dengan reformasi birokrasi maka kinerja pemerintah di bidang pembangunan dan pelayanan publik tetap tidak akan lebih baik.
Fenomena yang justru berkembang di lingkungan pemerintahan daerah adalah politisasi birokrasi secara terang-terangan. Kepentingan politik mengkooptasi kepentingan pelayanan kepada masyarakat daerah secara murni. Demikian pula politisi daerah cenderung mendominasi dan mengintervensi domain tugas dan kewenangan birokrasi di era reformasi. Fakta tersebut menunjukkan adanya anomali dari mainstream otonomi dan demokratisasi dalam sistem pemerintahan. Mainstream terkait dengan otonomi adalah bahwa dengan otonomi diyakini akan memberi peluang bagi berkembangnya local wisdom yang selama pemerintah orde baru terkikis oleh politik penyeragaman (uniformity) yang dipaksakan oleh pemerintah pusat (Purwanto, 2006). Demikian pula mainstream tentang demokrasi, dimana dalam sistem pemerintahan yang demokratis akan meningkatkan akuntabilitas pemerintah, dan memberikan landasan bagi partisipasi warga dan kepemimpinan politik baik di tingkat lokal maupun nasional (Smith, 1985).
Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah (pusat) belum berhasil membangun prakondisi yang diperlukan guna mendukung pelaksanaan sistem demokrasi dalam pemerintahan daerah otonom. Hal ini tidak terlepas dari bangunan struktur dan kultur birokrasi pemerintah yang sangat kuat mengakar semenjak era Orde Baru. Kepentingan politik mendominasi kebijakan publik hingga keputusan – keputusan pada ranah operasional sekalipun.
Birokrasi pada dasarnya hanya ‘alat’ untuk menjalankan kebijakan dan kehendak para atasan politiknya yang mana seringkali kehendak politik tersebut tidak selalu sesuai dengan kepentingan masyarakat luas. Pejabat birokrasi lebih banyak mengakomodir kepentingan – kepentingan politik penguasa. Meski diakui bahwa peran birokrasi saat ini masih sangat kuat dalam memobilisasi sumber daya pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan, namun perlu dilihat bahwa semua itu dijalankan dalam koridor sistem birokrasi yang masih lemah (tidak mandiri dan profesional). Pada era otonomi, birokrasi pemerintah semakin terkooptasi oleh kepentingan politik dan digunakan sebagai alat untuk dapat memenangkan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Kedudukan birokrasi sebagai alat negara yang perlu memiliki aturan main sendiri dan didukung oleh perundang-undangan tersendiri hingga kini belum terealisasi. Birokrasi, sebagai organ negara yang diberi tugas menjalankan semua kebijakan pemerintah yang terkait dengan kepentingan rakyat, seharusnya dijalankan dalam suatu sistem yang netral dan profesional bebas dari kepentingan politik. Konsep Weber tentang birokrasi yang rasional dan profesional mengedepankan prinsip meritokrasi dalam pelaksanaan tugasnya ternyata belum ditemui dalam sistem birokrasi pemerintah daerah yang berlangsung selama ini.
Dengan demikian, opini terhadap birokrasi yang selalu diilustrasikan sebagai “bureaucratic kingdom”, yang cenderung menjadikan birokrasi sebagai kekuatan yang sakral, sesungguhnya dari perspektif diskresi justru menunjukkan sisi sebaliknya. Ketidakmampuan birokrasi dalam menolak kehendak politik sempit dari para superior politiknya merupakan fenomena yang perlu dipandang dari sisi sistem birokrasi (bukan hanya dari sisi personal birokrat). Pandangan dari sisi personal, memang menunjukkan bahwa kekuasaan dalam birokrasi yang melekat dalam jabatan seorang ‘pejabat’, bisa menjadi sesuatu yang sangat menakutkan dan sangat sulit ditembus oleh warga masyarakat (Thoha, 2003). Namun situasi yang sama juga dihadapi pejabat birokrasi ketika berhadapan dengan pejabat politik, dimana mereka merasa ‘nasibnya’ diujung tanduk jika tidak mau mematuhi kehendak politik walaupun bertolak belakang dengan nilai-nilai etika, profesionalisme serta kepentingan rakyat.
Analisis ini berusaha merefleksikan pemikiran Weber dimana dalam tulisannya membahas mengenai kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat --merupakan sesuatu yang benar-benar harus dibedakan dengan birokrasi—(dalam Albrow,1989). Kenyataan tidak terlepasnya birokrasi dari pengaruh politik sebenarnya juga sudah diperhitungkan oleh Weber dengan mengatakan bahwa kemungkinan penyimpangan birokrat yang tidak mampu memisahkan perilaku mereka dari kepentingannya sebagai individu dan anggota kelompok masyarakat yang oleh karenanya bisa memiliki kepentingan politik tertentu. Untuk itu perlu dibangun sistem birokrasi yang kuat sehingga mampu menolak tekanan politik dengan pondasi profesionalisme sumber daya aparatur yang tinggi. Dengan dasar profesionalisme (self-controll) diharapkan birokrasi dapat bekerja secara proporsional dan lepas dari ketergantungan terhadap pejabat politik.
Benang merah analisis di atas diharapkan dapat menjelaskan bahwa meskipun secara teoritis dan normatif, birokrasi pemerintah daerah telah memiliki domain kewenangan yang jelas, namun ternyata dalam prakteknya birokrasi sulit untuk melepaskan diri dari pressure pejabat politik yang menginginkan birokrat untuk selalu memihak dan memberikan keuntungan secara politis. Terutama dalam kebijakan pelayanan publik yang bersifat distributif, seringkali fakta yang ada dimanipulasikan untuk mempengaruhi keputusan birokrasi demi kepentingan politik praktis yang tidak benar-benar merepresentasikan kepentingan publik. Sebagaimana hipotesis Mladenka (1980) tentang politik perkotaan (urban politics) sebagai berikut:
"... urban services are political sources that can be manipulated, redistributed, and withdrawn in the scramble for electoral advantage. Loyal wards are rewarded with superior services. Major service decisions are made by the machines, handed down to the bureaucracy, and implemented in accordance with the scheme that seeks to wring maximum political advantage from the distribution of finite service resource".
Dalam perspektif urban politics, kebijakan distribusi pelayanan (services) seringkali didesain untuk memperoleh keuntungan politik semaksimal mungkin dengan hanya memberikan pelayanan yang sangat terbatas kepada wilayah-wilayah tertentu yang loyal secara politik. Penelitian Mladenka (1980) menunjukkan bahwa sulit bagi birokrasi untuk mampu mengontrol distribusi pelayanan yang sebenarnya merupakan tanggungjawabnya, dan bahwa birokrat seharusnya menggunakan kriteria teknis dan rasional dalam menyelesaikan permasalahan distribusi pelayanan. Yang terjadi adalah maipulasi atau pengalihan kepentingan Namun pembelokan atau manipulasi kepentingan tersebut sebenarnya dapat diminimalisir dengan profesionalisme birokrasi. Sebagaimana pendapat Miranda (1994) sebagai berikut: “…that bureaucratic rules best explain the distribution of urban services where professionalism dominates so that systematic bias is unlikely and that distributive decisions are made by impartial administrators who rely upon technical rational rather than political criteria”.
Fakta yang terjadi adalah bahwa birokrat secara konsisten cenderung melakukan manipulasi demi memperoleh keuntungan atas dukungan suara yang diberikan kepada para politisi. Kondisi ini dapat dijelaskan dengan social exchange theory dimana seseorang yang memberikan pada orang lain akan meminta imbalan atas pemberiannya itu, dan orang yang menerima banyak hal dari orang lain akan berada pada posisi tergantung dan di bawah tekanan pihak yang memberinya tersebut. Dengan demikian, kekuasaan atau kepemilikan sumber daya merupakan penentu hubungan pertukaran yang terjadi antara kedua belah pihak, apakah dalam posisi seimbang atau tidak (Emerson, 1962 and Blau, 1964). Dalam hubungan tersebut, terjadi pertukaran antara dukungan politik birokrat yang berupa kewenangan distribusi pelayanan publik dengan keuntungan yang diperoleh birokrat atas dukungan politis tersebut.
Hal ini menggambarkan betapa social capital yang dimiliki jajaran birokrasi dan elit politik telah memudar, dan tidak lagi menjunjung tinggi standar nilai etika administrasi publik yang harus selalu dikedepankan (Frederickson, 1997). Permasalahan yang kita hadapi saat ini adalah bagaimana menentukan prioritas antara mengedepankan pelaksanaan sistem demokrasi atau mendahulukan pembangunan social capital. Sebab membangun kedua pondasi itu tidak dapat atau sulit untuk dilakukan secara bersama-sama melainkan perlu ada prioritas pertama dan kedua. Jika sejak awal reformasi lebih memprioritaskan pembangunan demokratisasi, maka untuk saat ini upaya melakukan reformasi birokrasi dengan grand design yang jelas, sudah tidak dapat ditunda lagi dan harus menjadi prioritas utama bagi pemerintahan baru yang akan datang.

Membangun Kembali Kapital Sosial: Sintesis Sektor Publik dan Privat
James Wilson (1989) mengemukakan pendapatnya tentang empat tipologi cara sederhana organisasi publik yang bisa dipakai untuk menjelaskan masalah utama dari reformasi administrasi publik, khususnya yang terjadi di New Zaeland, adalah terjadinya kecenderungan untuk menganggap organisasi yang berhasil adalah mereka yang berubah menjadi, apa yang disebut oleh wilson sebagai organisasi produksi. Dalam hal ini organisasi produksi dinobatkan sebagai tipe organisasi yang paling didambakan sebagai solusi, khususnya bagi agensi-agensi birokratik tradisional (yang digambarkan sebagai tipe prosedural yang ada karena paksaan).
Manajemen yang efektif akan berperan banyak dalam organisasi produksi karena kinerja aktual dan hasilnya sudah siap untuk diobservasi, dimana hal ini juga merupakan sesuatu yang terkontrol atau bisa dihitung. Pandangan ini disejajarkan dengan asumsi-asumsi orientasi bisnis dalam ekonomi, yang telah menjadi motor reformasi. Schick (1996) menyatakan bahwa kontrol-kontrol eksternal pada input telah ditiadakan, tapi ada kontrol eksternal baru pada output (misalnya dalam bentuk kesepakatan akan form kinerja dan pembelanjaan-nya, laporan keuangan dan pengauditan, dan sebagainya), dan New Zealand bukanlah negara yang segala sesuatunya di jalankan oleh manajemen publik.
Bagaimanapun, usaha mereka untuk membuat pusat produksi dalam pelayanan publik yang berdasar pada imej bisnis korporasi, dipaksakan untuk digabungkan dengan beberapa faktor, yaitu konteks politik organisasi publik. Masalah yang dihadapi adalah adanya kesulitan teknologi yang digunakan untuk pencapaian outcome yang diharapkan, interdependensi, dan beberapa model tugas-tugas yang berbeda yang harus diselesaikan.
Jika efisiensi dan pertanggungjawaban bisa diterapkan paling tidak dalam kurun waktu yang singkat, maka dengan cara emulasi model produksi, standar etika dalam pelayanan publik bisa bertahan dalam waktu yang lama. Akan tetapi, tidak semua tugas yang diemban oleh organisasi publik bisa menggunakan model produksi, dan model produksi ini bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai jaminan standar. Sesuai dengan pendapat Wilson mengenai organisasi "asli" dan organisasi "tiruan”, karena secara definisi kinerja orang-orang dalam organisasi tersebut sukar untuk di observasi (dalam hal ini, pada organisasi tiruan outcomenya juga tidak bisa di observasi, dan untuk itu akan sulit bagi mereka untuk mengaturnya secara efektif. Jika pada organisasi bisnis sektor privat merupakan organisasi tiruan, maka ia tidak akan bertahan lama). Maka dari itu, dua tipe organisasi yang memiliki etika kejujuran harus di dasarkan pada tingkat kepercayaan yang tinggi, dan didukung oleh komitmen yang kohesif dalam norma-norma dan standar-standar profesional. Meskipun sebuah komitmen bisa dijadikan penopang dalam organisasi-organisasi produksi dan prosedural, sebagaimana telah diterangkan di atas mengenai pengutamaan kontrol supervisi yang cepat, ini merupakan sebuah sine qua non dari etika kejujuran dalam organisasi-organisasi asli dan tiruan.
Dalam pengertian yang lebih lanjut, disiplin ini merupakan orientasi misi institusi yang kuat dan dibedakan dari organisasi yang kompeten secara teknis, untuk itu ancaman pada etika kejujuran bisa diminimalisasikan. Observasi yang dilakukan oleh Ostrom mempunyai hubungan yang mendasar dengan konteks yang disebut "sebagai kesuksesan” dimana hal ini berarti, institusi-institusi privat mampu untuk menghasilkan outcome yang produktif dalam situasi yang penuh dengan godaan dan tindakan-tindakan ceroboh yang sering terjadi (1990). Atau seperti pendapat Wilson dimana ia menyatakan bahwa, arti dari sebuah misi, kemurnian sebuah komitmen, atau kepercayaan dalam norma-norma profesional, dimana para pekerja yang tidak selalu diperiksa tidak akan melakukan kelalaian (1989). Oleh sebab itu mereka harus terus beroperasi atas dasar tingkat kepercayaan yang tinggi dan jika mereka diatur dengan baik, maka pengembangan kapital sosial dalam tubuh mereka akan ada pada tingkat mikrokosmik mereka sendiri.
Sama halnya dengan pertanggung jawaban, kontrol keorganisasian secara langsung dilakukan oleh supervisi, hal ini merupakan karakteristik tipe produksi dan prosedural dari organisasi, baik itu bagi organisasi asli maupun tiruan, pada dasarnya bisa dioperasikan dengan efektif. Karena model-model produksi bisa berjalan dalam kondisi yang krisis akan unsur. Maka dengan demikian penyalahgunaan jabatan akan meningkat jika peraturan yang ada bisa diubah-ubah dan kesalahan yang dilakukan bisa disamarkan. Orang-orang dalam organisasi produksi bisa disebut sebagai jenis orang yang bersifat melawan, dan akan menerima sangsi sosial yang keras dalam organisasi asli yang memiliki karakter tingkat kepercayaan yang tinggi. Tetapi, permasalahannya adalah bahwa pembentukan kewajiban pada institusi ini lebih sulit dan hanya cocok diterapkan pada bentuk organisasi tiruan, karena organisasi tersebut juga dapat menghasilkan outcome yang mudah dilihat. Kemampuan dalam mengukur outcome dapat meningkatkan moral, dan menunjukkan bahwa agensi tersebut bisa dikatakan berhasil dalam mencapai moral yang tinggi. Di saat moral tetap stabil pada tingkat moral yang tinggi dalam sebuah organisasi prosedural, maka krisis kepercayaan diri mengenai apakah organisasinya mampu mencapai outcome yang telah dijadwalkan, akan berakhir. Organisasi ini cenderung untuk selalu di tempatkan dalam situasi yang tidak mengenakkan, dimana mereka dihadapkan dengan permintaan publik yang tidak pernah ada akhirnya dan dengan sumber daya mereka yang terbatas, serta seringkali mereka beroperasi dalam otoritas politik tingkat tinggi yang penuh dengan kontroversi dan pengekangan. Karenanya, dalam organisasi ini terjadi kecenderungan mengalami penurunan moral, dimana hal ini merupakan sesuatu yang wajar dalam pelayanan publik. Seperti dalam bidang olahraga, begitu pula yang ada dalam organisasi: akan terasa lebih baik untuk menjadi pemenang daripada menjadi pecundang.
Analisa Putnam mengenai hubungan antara pemerintahan demokratis yang efektif dan kapital sosial relevan dengan proses pemerintahan pada level mikro, implikasinya tampak lebih jelas. Fokus terhadap pemeliharaan standar etika manajemen publik dan administrasi tidak dapat dipandang sebagai prioritas kedua dan lebih mementingkan bagaimana meningkatkan efisiensi dan keefektifan. Orientasi pada capaian-capaian makro biasanya mengabaikan pentingnya pemberian pelayanan publik yang berbasis pada kejujuran, emphati, dan keadilan sosial.
Dengan menerapkan standar etika yang tinggi dalam pelayanan publik, maka lambat laun kapital sosial yang mulai memudar akan kembali menguat dengan sendirinya. Namun hal itu tentu tidaklah mudah. Diperlukan komitmen dan integritas penyelenggara pemerintahan untuk benar-benar menerapkan standar etika tersebut dengan konsekwen dan sistem hukum yang memadai untuk memberikan efek jera bagi siapapun yang melanggarnya. Untuk itu diperlukan pendekatan institusional yang tidak hanya sekedar melakukan reorganisasi struktural tetapi yang lebih penting adalah institusionalisasi nilai-nilai etika administrasi dan pelayanan publik (Ostrom, 1990). Dalam arti yang menyeluruh, pembangunan institusional merupakan sebuah proses dimana organisasi dan prosedur mendapatkan nilai dan kemantaban dalam norma dan perilaku yang dilakukan dalam waktu yang lama dan digunakan untuk mencaai tujuan bersama (Uphoff, 1986).
Pendekatan institusional dalam hal ini dimaknai secara luas atau komprehensif. Sehingga tidak akan ada lagi istilah ’hilangnya memori institusional’, dimana para pembuat kebijakan kurang memiliki pengalaman dan pengetahuan atau kompetensi yang memadai dalam hal pembangunan institusional. Disinilah pentingnya para institusionalis yang seharusnya menjadi salah satu bidang kajian utama dalam khasanah studi Administrasi Negara (Publik). Tapi ini hanya satu dari sekian banyak aspek yang juga sangat diperlukan dalam reformasi administrasi.
Salah satu strategi institusionalisasi diutarakan oleh Ostrom (1990) dimana ia menyatakan bahwa banyak institusi-institusi yang sukses adalah mereka yang menggabungkan karakteristik privat dan publik (state) serta menolak adanya dikotomi diantara kedua domain tersebut. Penekanan ekonomis terhadap perubahan sektor publik menempatkan nilai yang tinggi pada apa yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, yakni kebaikan dari model-model privat dalam mengelola organisasi, yang digambarkan sebagai yang “lebih produktif”, yang berbeda dengan pendekatan-pendekatan pelayanan publik yang biasa disebut sebagai birokratik.


Daftar Pustaka
Bourdieu, P. (1983) ‘Forms of capital’ in J. C. Richards (ed.) Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education, New York: Greenwood Press.
Coleman, J. C. (1988) ‘Social capital in the creation of human capital’ American Journal of Sociology 94: S95-S120.
Coleman, J. C. (1990, 1994) Foundations of Social Theory, Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Chandler, R.C. and Plano, J.C.,(1982). The Public Administration Dictionary. John Wiley & Sons
Denhardt, Robert B., (1991). Public Administration: An Action Orientation. Pacific Grove.California: Brooks/Cole Publishing Company.
Frederickson, H.C., (1997). The Spirit of Public Administration, San-francisco, Jose-Bass Publisher.
Frederickson, H.C., (1997). The Spirit of Public Administration, San-francisco, Jose-Bass Publisher.
Gregory, Robert J., (1999), Social Capital Theory and Administrative Reform:maintaing ethical probity in public service, Public Administration Review, January Vol. 59 No.1.
Hanifan, L. J. (1916) "The rural school community center", Annals of the American Academy of Political and Social Science 67: 130-138. Also see Hanifan, L. J. (1920)The Community Center, Boston: Silver Burdett.
Hughes, Owen E., (1994). Public management and administration: an Introduction, The Macmillan press LTD. London.
Keban, Yeremias., (2008). Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta, Gava Media.
Masduki, Teen., (2000). Gerakan Sosial Anti Korupsi, Indonesia Corruption Watch.
Putnam, Robert D., (1993). The Properious Community: Social capital and Public life, The American Prospect, March Vol.4,No.13.
The World Bank (1999) 'What is Social Capital?', PovertyNet http://www.worldbank.org/poverty/scapital/whatsc.htm
Uphoff, Norman., (1986). Local Instutional Development; An Alatical Sourcebook. West Hartford. Kumarian Press.
Wilson, James Q., (1989). Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do It? New York.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar