JIANMAP Vol 1. No. 2, Juli 2011, Hal. 65-80;ISSN: 2087-8436
Jurnal Ilmu Administrasi Negara dan Manajemen Publik
Diterbitkan oleh Indonesian Association for Public Administration (IAPA)
Revitalisasi Sistem Responsibilitas Dan Akuntabilitas Birokrasi
Dr.Sri Juni Woro Astuti,M.Com. 1
Supriyanto,S.Sos.,M.Si.2
Abstrack
There were still difficulties in installing responsibility and accountability system within the bureaucracy. This is caused by various factors, such as the low capacity of performance management of civil servants and the strong patronage culture within the bureaucracy and society. Both conditions become an obstacle in the effort to enhance the professionalism of civil servants. In addition, external constraints also emerged as the negative impact of democracy and regional autonomy system that is characterized by local political euphoria, which makes the bureaucracy increasingly co-opted by the political power. Therefore, it is very important to revitalize the accountability and responsibility system that includes bureaucratic, legal, professional and political accountability proportionally in order to improve the performance of governmental organizations. Based on the premise above, this paper aims to examine the effectiveness of the accountability system within the government organizations and trying to formulate conceptually what can be done to revitalize the system. it is believed to bring good governance in public service delivery in the era of autonomy and democratization.
Key Words: Responsibility, Accountability, Good Governance.
A. Pendahuluan
Hasil survey dari berbagai kalangan menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun 2001 belum diiringi dengan peningkatan kualitas pelayanan publik yang semakin baik. Fakta menunjukkan bahwa banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan pejabat politik maupun birokratik, antara lain kasus penyalahgunaan dana APBD seperti yang terjadi di beberapa daerah di Jawa Timur antara lain di Kabupaten Situbondo sebesar 43,7 milyar (Jawa Pos, 26 Maret 2009), kasus gratifikasi di pemerintah kota Surabaya sebesar 720 juta rupiah (Jawa Pos, 24 Maret 2009).
Sementara itu masih banyak masalah urgen yang justru terbengkalai seperti masih rendahnya pemenuhan terhadap kebutuhan pelayanan dasar masyarakat seperti kesehatan dan pendidikan. Sebagaimana terungkap dalam kajian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) terhadap pelayanan pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat tujuh pola penyimpangan yang terjadi, yakni pengucuran dana tidak sesuai kebutuhan sekolah, keterlambatan pencairan, penyimpangan cara penyaluran, potongan tidak wajar, belanja tidak sesuai peruntukan, pengurangan hasil, serta kebocoran dalam alokasi, penggunaan dan audit dana.
Data empirik menunjukkan pada tahun 2005 sejumlah 1.838 ruang kelas yang tersebar di 364 sekolah di Surabaya, dalam keadaan rusak. Pada tahun 2006 masih tercatat 32.016 anak yang tidak sekolah sesuai dengan level/jenjang usianya. Di sisi lain ada 43.72% anak Keluarga Miskin yang tidak menjalani wajar 12 tahun (Jabir, 2007). Dalam hal ini dapat dilihat bahwa Dinas Pendidikan Surabaya belum serius menyelesaikan tugas-tugas dasarnya sesuai dengan amanah yang diberikan oleh pemerintah. Demikian pula di kabupaten Situbondo, masih terdapat sekitar 1.259 gedung sekolah yang umumnya SD/MI dikategorikan mengalami rusak berat dan rawan roboh (Surya, 16 Maret 2009), sementara pemerintah tidak menunjukkan perhatian yang serius terhadap kondisi tersebut. Kondisi ini dapat membuktikan masih rendahnya akuntabilitas dan responsibilitas pemerintah daerah di bidang pendidikan.
Contoh di atas hanyalah bagian kecil dari fakta masih rendahnya akuntabilitas pemerintah. Hal ini dikarenakan beberapa hal, antara lain karena belum ’terinstall-nya’ sistem responsibilitas dan akuntabilitas organisasi pemerintah. Sulitnya meng-install sistem responsibilitas dan akuntabilitas ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain masih rendahnya kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia, masih kuatnya budaya patronase di lingkungan birokrasi pemerintah daerah, dan kontrol masyarakat yang relatif masih rendah. Kondisi demikian lebih diperparah dengan ketidakjelasan wewenang yang dimiliki aparat birokrasi. Dalam tatanan organisasi, wewenang seharusnya hanya diberikan pada porsi yang relatif terbatas sesuai dengan cakupan tugas seorang pegawai. Namun dalam praktiknya, wewenang yang terbatas itu seringkali diintervensi oleh pihak pemberi wewenang, dalam hirarki birokrasi yang lebih tinggi atau oleh pejabat politik (Astuti, 2009).
Dalam situasi demikian, maka aparat birokrasi, akan lebih tunduk kepada pejabat pada hirarkhi di atasnya atau yang lebih tinggi, terlebih lagi kepada pejabat politik. Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana mengharapkan sebuah birokrasi yang netral dan professional dalam menjalankan tugasnya. Mampukan aparat birokrasi melaksanakan tugasnya secara akuntabel? Perilaku dan orientasi tindakan yang secara riil dilaksanakan oleh para pejabat dan staf di lingkungan birokrasi pemerintah daerah seringkali tidak sesuai dengan ketentuan formal dan nilai-nilai etika pemerintahan yang seharusnya dipegang teguh (Henry,1995; Frederickson,1997; Thompson, 2004). Pentingnya dimensi etika bahkan dapat dianalogikan dengan sistem sensor pada administrasi publik dan dapat mempengaruhi dimensi-dimensi lain dalam sistem administrasi publik( Keban, 2008). Namun nilai-nilai normatif tersebut semakin memudar sehingga semakin banyak penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang birokrasi dan pejabat-pejabat politik sebagai pengambil kebijakan yang kurang memperhatikan kepentingan rakyat. Hal ini mencerminkan belum bekerjanya sistem akuntabilitas birokrasi sehingga mekanisme kontrol yang dijalankan tidak efektif dalam mengarahkan perilaku birokrasi agar selalu bekerja sesuai tugas dan fungsinya.
Untuk itu perlu dilakukan upaya yang sistematis dalam rangka revitalisasi sistem responsibilitas (pertanggungjawaban internal) dan akuntabilitas (pertanggungjawaban eksternal) pemerintah daerah. mengapa diperlukan revitalisasi sistem responsilitas dan akuntabilitas? karena responsibilitas dan akuntabilitas diyakini merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan tata kelola pemerintahan di era otonomi daerah. Tanpa akuntabilitas publik, prakarsa dan partisipasi masyarakat sebagai inti kekuatan daerah sulit dibangun. Oleh karena itu, dalam era otonomi daerah, masing-masing institusi harus dapat membangun akuntabilitas peran dan fungsinya untuk dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
B. Konsep Responsibilitas dan Akuntabilitas
Sejauh ini masih terdapat perbedaan dalam penggunaan konsep yang berhubungan dengan pertanggungjawaban Pemerintah (Shafritz dan Hyde (1997); Ewan Ferlie et.al. (1996); Robert Denhardt (1999) tentang pendapat beberapa tokoh yang saling berseberangan. Carl Friedrick, di awal 1940an, sudah memunculkan pentingnya responsibilitas birokrasi yang menurutnya hanya bisa dijamin secara internal melalui penegakan standar profesionalisme atau kode etik sebagai mekanisme “internal checks and ballances”. Sementara itu, Finer (1941) memandang bahwa responsibilitas hanya bisa dipelihara melalui mekanisme kontrol eksternal yang diwakili oleh lembaga legislative (dalam Denhardt, 1999). Dalam pandangan Finer, kontrol lembaga legislatif merupakan satu-satunya cara untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan birokrasi (mall administration). Untuk menjaga kepekaan pemerintah terhadap masyarakat, manajer-manajer publik harus dikontrol secara ketat oleh legislatif. External responsibility ini dikenal juga sebagai “objective responsibility” yang pada perkembangan selanjutnya lebih dikenal dengan konsep accountability yakni segala tindakan pemerintah yang disetujui dan dapat diterima oleh masyarakat secara luas (Denhardt,1999). Chandler and Plano (1992) menggunakan istilah akuntabilitas (accountability) yang merujuk pada “the institution of check and balances in an administrative system”. Akuntabilitas berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber-sumber daya atau kewenangan yang digunakan eksekutif dan birokrasi kepada lembaga-lembaga di luar birokrasi dalam rangka menegakkan mekanisme check and balance agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.
Dalam pandangan Friedrich (1978), dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan pada masyarakat modern membuat legislatif semakin kesulitan dalam menentukan segala sesuatunya dengan detail. Seiring dengan peningkatan profesionalisme birokrasi, pada gilirannya juga akan meningkatkan kemungkinan adanya semangat “democratic responsibility” sebagai bagian dari tugas administrator (dalam Denhardt,1999). Jadi, menegakkan responsibilitas tidak semata-mata datang dari eksternal tetapi juga dari dalam birokrasi sendiri. Pendapat Friedrich ini mendapat sambutan dari berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan administrasi publik pada saat itu yang juga menekankan pentingnya etika dalam administrasi publik. Pandangan ini dikenal dengan “subjective responsibility” yakni ukuran responsibilitas yang juga tergantung pada nilai-nilai individual para birokrat. Penggunaan konsep responsibilitas oleh beberapa ahli di atas sebenarnya dapat disejajarkan dengan makna akuntabilitas yakni merujuk pada suatu metode dimana organisasi pemerintah atau pegawai pemerintah dapat menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik (Dwivedi dan Jabra,1988). Demikian pula menurut Mulgan, konsep akuntabilitas melekat pada istilah tanggung jawab (Mulgan 2000: 557-558, lihat juga Dwivedi & Jabbra 1988: 3-5). Dalam pandangan Mulgan, konsep akuntabilitas pada awalnya terkandung dalam konsep responsibilitas, tetapi kemudian dikembangkan menjadi konsep yang tersendiri. Namun, Dubnick lebih cenderung melihat tanggung jawab (responsibilitas) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari akuntabilitas dan bukan sebaliknya (Dubnick 2005: 6).
Mulgan sendiri melihat definisi akuntabilitas adalah ditandai dengan “eksternalitas, interaksi sosial, serta pertukaran otoritas (Mulgan 2000: 555). Eksternalitas mengacu pada pertanggungjawaban eksternal yakni pihak yang memberikan tanggungjawab (Mulgan 2000: 555). Pengertian akuntabilitas juga melibatkan interaksi sosial dan pertukaran dalam hal perbaikan dan sanksi (Mulgan 2000: 555). Pemberi tanggungjawab (accountee) memiliki otoritas atas penerima tanggungjawab (accountor) yang menyiratkan adanya hak untuk memperoleh jawaban dan menerapkan sanksi (Mulgan 2000: 555). Dubnick sependapat dengan Mulgan, namun dia juga menilai definisi Mulgan tersebut terlalu terbatas pada otoritas eksternal, dan kurang memperhatikan aspek etika individu yang juga dapat dipandang sebagai mekanisme akuntabilitas (Dubnick 2005: 6; Dubnick 2003).
Mark Bovens (2005) juga mencatat bahwa pemberi account atau 'accountee' bisa individu atau lembaga, tetapi juga dapat dilihat sebagai 'forum akuntabilitas' seperti masyarakat umum. Menurut Bovens forum akuntabilitas juga dapat bersifat 'lebih' virtual seperti hati nurani pribadi atau keyakinan. Serupa dengan Mulgan, Bovens mendefinisikan proses sosial dari 'pemberian account’ dalam hal tiga unsur: (1) kewajiban penerima tanggungjawab (accountor) untuk memberikan pertanggungjawaban kepada forum akuntabilitas, (2) kemampuan forum untuk menginterogasi accountor, dan (3) kemampuan forum untuk memberikan penilaian dan menjatuhkan sanksi (Bovens 2005).
C.Jenis-Jenis Sistem Akuntabilitas : Internal (Responsilitas) dan Eksternal.
Pandangan Friedrick tentang internal responsibility di atas, didukung oleh pendapat P.Day dan Klein (1987) yang menyatakan bahwa masalah akuntabilitas semakin berkembang sejalan dengan semakin kompleksnya tuntutan pelayanan publik. Dalam hal ini berarti, pelayanan publik tidak saja harus memenuhi kriteria akuntabilitas secara politis (eksternal) tetapi juga akuntabilitas secara manajerial (internal). Bergesernya penekanan akuntabilitas politis menuju akuntabilitas manajerial seringkali dimaknai sebagai “democratic deficit”, karena akuntabilitas yang berdasarkan penilaian masyarakat saja dianggap tidak cukup.
Di sisi lain, akuntabilitas politik juga telah mengalami beberapa pergeseran. Secara tradisional, akuntabilitas politik berarti pertanggungjawaban birokrasi pemerintah terhadap parlemen. Namun dengan semakin luas dan kompleksnya urusan pemerintahan dan semakin menurunnya kapablitas parlemen, mendorong dirumuskannya beberapa inovasi kebijakan berkaitan dengan akuntabilitas publik. Beberapa saluran sistem akuntabilitas politik baru dihadirkan misalnya dengan menciptakan sistem komite, ombudsman, dan dewan atau komisi yang menangani keluhan masyarakat. Fenomena pemekaran sistem akuntabilitas politik tersebut disebut sebagai hadirnya “new magistracy” (Ferlie, et al.,1996)
Dari berbagai perbedaan pandangan tersebut, Romzek dan Dubnick (1987) telah mengidentifikasi adanya dua kelompok akuntabilitas, yakni akuntabilitas internal yang meliputi tanggung jawab secara hirarkis atau birokatis dan profesional; dan akuntabilitas eksternal yang meliputi pertanggungjawaban secara politis dan legal (Romzek dan Dubnick,1987; Vigoda, 2002:64). Pembagian kategori ini didasarkan pada sumber-sumber kekuatan atau kekuasaan yang digunakan untuk mengontrol kinerja dan perilaku birokrasi.
Akuntabilitas birokratis adalah mekanisme yang secara luas dipakai untuk mengelola kehendak-kehendak lembaga negara. Kehendak – kehendak administrator publik dikelola melalui pemusatan perhatian pada puncak hirarkhi birokrasi. Pengendalian diterapkan secara intensif pada sebagian besar aktivitas lembaga, melalui prosedur yang ketat dan pengawasan melekat serta hubungan atasan-bawahan yang yang berpola “komando”.
Akuntabilitas Legal hampir sama dengan bentuk birokratis karena juga melibatkan aktivitas kontrol yang intensif terhadap aktivitas adminisrasi publik (birokrasi pemerintah). Namun pengawasan lebih bersumber dari pihak – pihak di luar birokrasi yakni dari lembaga yang memiliki kekuasaan untuk menuntut atau menjatuhkan sanksi atas kewajiban birokrasi yang tidak dapat dipenuhi. Sedangkan hubungan antara lembaga yang mengawasi dengan birokrasi, masing-masing bersifat otonom.
Akuntabilitas profesional lebih menitik beratkan kontrol pada pejabat-pejabat yang profesional atau ahli dalam tugas-tugas tertentu. Dalam hal ini birokrasi dituntut memiliki pegawai-pegawai yang trampil dan ahli sehingga dalam menjalankan tugasnya dapat mempertanggungjawabkan pekerjaannya secara profesional. Meskipun mekanisme kontrol secara internal, namun prinsip-prinsip profesionalisme yang berkembang di luar organisasi juga dipertimbangkan (misalnya dari kalangan perguruan tinggi).
Untuk lebih menekankan perlunya akuntabilitas baik secara internal maupun eksternal, Romzek & Dubnick (1987) mengatakan “More broadly conceived, public administration accountability involves the means by which public agencies and their workers manage the diverse expectations generated within and outside the organization”. Jadi dari pendapat mereka, maka dalam konsep akuntabilitas meliputi pula konsep responsibilitas (pertanggungjawaban internal).
Selain tipe sistem akuntabilitas yang dikemukakan oleh Romzek dan Dubnick tersebut, Caldwell (1998) merinci tingkatan akuntabilitas berdasakan bidang atau fokus pengawasannya menjadi lima jenis, yakni: (1) Accountability for Probity and Legality; (2) Process accountability; (3) Performance accountability; (4) Programme Accountability; and (5) Policy accountability. Accountability for Probity berkaitan dengan penghindaran terhadap kejahatan jabatan (malfeasance) khususnya untuk meyakinkan bahwa dana telah digunakan dengan benar dan dengan cara yang benar. Sedangkan Accountability for Legality menekankan bahwa kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang tidak melampaui batas. Process accountability berkaitan dengan apakah terdapat prosedur-prosedur yang memadai yang diterapkan untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas tertentu, serta usaha untuk meyakinkan apakah aktivitas-aktivitas tertentu dilakukan sesuai dengan yang telah ditetapkan sebelumnya. Performance, programme, dan policy accountability berturut-turut menekankan pada kinerja, program, dan kebijakan dari suatu entitas yang disampaikan kepada publik. Sedangkan Peter Watt, Sue Richards and Chris Skelcher (2002) dalam studinya pada the Northern Ireland Comtroller and Auditor General and the Northern Ireland Public Accounts Committee, antara lain menyimpulkan bahwa mekanisme penting dari akuntabilitas adalah financial accountability.
Model-model akuntabilitas yang lain juga ditawarkan dalam bukunya Ewan Ferlie et el. (1996) antara lain: upwards accountability, downward accountability, market-based accountability dan self accountability. Upwards accountability adalah bagian dari doktrin Administrasi Publik klasik, dimana Pemerintah hanya bertanggungjawab kepada parlemen (pertanggungjawaban dari bawah mengalir ke atas). Dalam hal ini pertanggungjawaban lebih berfokus pada pertanggungjawaban secara finansial. Namun dalam jangka panjang sistem akuntabilitas yang hanya berorientasi pada financial accountability tidak akan efektif. Upward accountability berarti bahwa pengambil keputusan di tingkat Pemerintah Lokal hanya bertanggungjawab kepada Pemerintahan di tingkat atasnya tidak kepada masyarakat di daerahnya.
Sebaliknya downwards accountability adalah akuntabilitas yang lebih berorientasi kepada masyarakat. Dalam hal ini ada dua pendekatan, yakni: participatory democracy dan delegate democracy. Participatory democracy merupakan bentuk yang lebih luas dari aktivitas politik dalam rangka pemberian pelayanan publik dan merupakan perpanjangan dari proses konsultasi dan koordinasi (political interaction) antara wakil rakyat dengan masyarakat lokal. Sedangkan dalam pendekatan delegate democracy, dominasi kekuasaan partai politik bergeser kepada kelompok yang lebih luas dari anggota partai politik. Dalam hal ini arah akuntabilitas mengalir dari atas (pemerintah) kepada rakyat yang diwadahi oleh partai politik.
Market-based form of accountability, di satu sisi, lebih menitik beratkan akuntabilitas publik dalam konteks masyarakat sebagai pelanggan. Pelayanan publik hendaknya secara langsung akuntabel terhadap customernya. Inti dari model ini adalah adanya pergeseran kekuasaan dari producer ke customer. Model ke empat disebut dengan self accountability, yakni akuntabilitas dalam perspektif etika administrasi, profesionalisme, dan manajerialisme dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan publik. Akuntabilitas dalam konteks ini bersifat internal yakni pertanggungjawaban terhadap diri pribadinya selaku pegawai pemerintah (public servant).
Berdasarkan tipologi akuntabilitas tersebut, paling tidak dapat mengeliminir perbedaan konsepsi tentang responsibilitas sebagaimana dipaparkan di atas. Esensinya adalah bahwa kekuasaan birokrasi bukannya tak terbatas, melainkan harus selalu mengedepankan kedua prinsip tersebut yakni: responsibilitas dan akuntabilitas. Dengan demikian, maka kinerja birokrasi pemeritah harus dievaluasi dengan menggunakan kriteria responsibilitas dan akuntabilitas, jika tidak maka akan terjadi penyalahgunaan wewenang (mall-admistration) dan keputusan-keputusan yang dihasilkan kurang berorientasi pada kepentingan publik.
Perlunya sistem akuntabilitas sebagai upaya penanggulangan penyalahgunaan wewenang dan korupsi sudah banyak dikaji, antara lain, Klitgaard (1980) menyatakan bahwa penggunaan kekuasaan yang besar (monopoli) dan diskresi tanpa adanya akuntabilitas akan menghasilkan korupsi. Sementara itu Mark Philp (2000) dalam studinya menyimpulkan bahwa upaya pengurangan korupsi dan peningkatan akuntabilitas melalui peningkatan partisipasi dan akses politik masyarakat justru seringkali tidak efektif. Menurutnya akses politik (partisipasi) yang tidak merata justru dapat mendorong korupsi karena masuknya kepentingan-kepentingan kelompok yang sangat potensial bertentangan dengan kepentingan publik.
Jika Klitgaard menekankan perlunya eksternal kontrol sebagai bentuk akuntabilitas publik dalam penanggulangan korupsi, nampaknya hal itu masih perlu pengkajian lebih intens tentang kualitas control oleh masyarakat. Hal ini mengingat kondisi kualitas SDM yang bervariasi. Untuk kondisi Indonesia, kualitas dan kematangan SDM relatif masih rendah, sehingga masih diragukan kemampuannya dalam menjalankan fungsi check and balanced terhadap organisasi pemerintah dan lembaga-lembaga politik yang dalam struktur masyarakat Indonesia masih diidentikkan sebagai penguasa. Kekhawatiran tidak berjalannya mekanisme demokrasi nampaknya terjawab dalam studi yang dilakukan Mark Philp tersebut. Era demokrasi yang merupakan babak baru bagi negara-negara sedang berkembang, seperti Indonesia perlu memperhatikan implikasi dari akses politik yang terbuka lebar bagi masyarakat. Dalam kondisi kualitas masyarakat yang heterogen maka akses yang disediakan belum dapat digunakan secara optimal, melainkan baru dimanfaatkan oleh segelintir elit masyarakat yang memilki bargaining power cukup kuat sehingga dapat mempengaruhi policy process. Namun nampaknya bargaining power tersebut masih digunakan sebatas pada negosiasi kepentingan dalam lingkup sempit, yakni kepentingan individu dan golongan. Kondisi inilah yang oleh Philp dikatakan sebagai kegagalan mengatasi korupsi dengan meningkatkan akuntabilitas melalui peningkatan akses politik (partisipasi).
D.Desain Sistem Responsibilitas dan Akuntabilitas: pergeseran dari paradigm tradisional ke governance.
Dari berbagai definisi yang berbeda tentang akuntabilitas, semua memerlukan elemen kontrol, yang sebenarnya adalah istilah yang umum digunakan dalam literatur sebelum beralih ke konsep akuntabilitas (Beck Jorgensen ¸ & Larsen 1987; Hood & Schuppert 1989). Namun Harlow Carol berpendapat bahwa konsep kontrol sedikit berbeda dari akuntabilitas dimana proses untuk meminta pertanggungjawaban dari seseorang adalah bersifat retrospektif, sedangkan kontrol lebih bersifat proaktif (Harlow 2002; 10). Namun kedua istilah ini mengacu pada fenomena yang sama, yakni kekuasaan atas orang-orang yang memerintah.
Dari beberapa definisi akuntabilitas yang sangat umum tersebut tidak menjelaskan mekanisme pertanggungjawaban secara jelas. Dalam prakteknya, berbagai pilihan mekanisme akuntabilitas dan responsibilitas cenderung dimaknai secara berbeda, baik dari sisi politisi dan administrator. Kondisi ini menurut Mulgan telah menyediakan ruang untuk berkembangnya berbagai definisi dan jenis-jenis akuntabilitas yang bervariasi (Mulgan 2000; Sinclair 1995; Dubnick 2005: 6). ErkkilA Tero (2007), telah berusaha merangkum definisi dan jenis-jenis akuntabilitas yang berbeda tersebut dan menurutnya sistem akuntabilitas sangat tergantung pada struktur atau konteks administrasi di mana mereka muncul. Para sarjana berpendapat bahwa berbagai jenis akuntabilitas berlaku dalam konteks administrasi yang berbeda dan bahwa tidak ada solusi universal untuk mengatur sistem akuntabilitas (Erkkilà .2007; Peters 1989: 252-253; Dubnick 2005: 37; Sinclair 1995; Romzek 2000: 34-35).
Erkkilà Tero dalam tulisannya membedakan dengan tegas beberapa sistem akuntabilitas yang tradisional –bureaucratic, politic, personal, dan professional accountability-- dan saya memasukkan legal accountability sebagai akuntabilitas tradisional-- dengan paradigm ‘baru’ akuntabilitas –performance dan deliberative accountability--. Tero juga mengkaitkan jenis-jenis akuntabilitas dengan perubahan-perubahan kondisi selama proses pemberian tanggungjawab (account-giving), namun sebagai pijakan awal tetap mengacu pada klasifikasi akuntabilitas dari Mulgan (2000) maupun dari Barbara Romzeck dan Melvin Dubnick (1987). Menurut Tero, perhatian harus lebih diarahkan pada transformasi yang terjadi antara mekanisme akuntabilitas tradisional dan potensi mereka dalam rancangan kelembagaan yang baru yang mengadopsi kerangka kerja governance (governance framework).
Terdapat indikasi bahwa perubahan struktural yang sedang dan akan berlangsung, dan upaya-upaya untuk mengkonseptualisasikannya, juga mendorong terjadinya pergeseran dalam mengkonseptualisasikan akuntabilitas (Mulgan 2000; Van Kersbergen & Van Waarden 2004; Dubnick 2005). Dari sudut pandang negara, perubahan paradigma ini ditandai dari adanya tiga jenis pergeseran kekuasaan: 1) pergeseran ke atas menekankan peran organisasi internasional, 2) pergeseran ke bawah pemberian desentralisasi dan otonomi pemerintah daerah serta 3) pergeseran ke arah swasta dan organisasi non-pemerintah dalam hal eksternalisasi kegiatan pemerintah (Pierre & Peters 2000: 77-91).
Hal ini membawa kita untuk bertanya bagaimana pemahaman kita tentang akuntabilitas telah bergeser dan mengapa harus bergeser. Kondisi ini menyiratkan bahwa tidak ada cara yang statis dalam mengorganisasikan akuntabilitas dan bahwa sesungguhnya sistem akuntabilitas akan tergantung pada desain kelembagaan dari konteks administrasi dimana dia berada. Oleh karena itu, perubahan struktural akan mempengaruhi pengorganisasian atau mekanisme akuntabilitas dan juga konseptualisasi dari istilah tersebut. Sebagai contoh, ada dua jenis akuntabilitas yang sering dikutip dalam literatur pemerintahan, yaitu 'kinerja' (performance) dan 'musyawarah' (deliberative). Kedua jenis akuntabilitas ini dapat dihubungkan dengan desain struktur pemerintahan yang baru yang berorintasi pada output atau public services, dan struktur pemerintahan yang lebih terbuka, egaliter, serta memelihara networking.
Berikut disajikan rangkuman definisi, jenis, dan mekanisme akuntabilitas serta kaitannya dengan berbagai konteks sistem pemerintahan sebagaimana ditulis oleh Erkkilà Tero.
Table 2. Jenis-Jenis Akuntabilitas, mekanisme, dan konteks yang berbeda
Types of accountability
|
Features
|
Mechanism of accountability
|
Context (structure)
|
Political accountability
|
Democratic, eksternal
|
Democratic, elections, chain of accountability
|
Democratic state
|
Bureaucratic accountability
|
Hierarchic, legal
|
Rules, regulations, supervision
|
Bureaucracy
|
Personal accountability
|
Internal, normative, moral
|
Culture, values, ethics
|
Collective
|
Professional accountability
|
Complex ‘different to expertise’, peer-oriented
|
Expert, scrutiny, peer-review, professional role
|
Expert organization
|
Performance
|
Output or client-oriented
|
Competition, self-regulation
|
Market
|
Deliberation
|
Interactive, deliberative, open, public
|
Public debate, deliberation, transparency, access to information
|
Public sphere
|
Source: Erkkilà Tero, 2007.
Terkait dengan temuan-temuan di atas, argumen yang dibangun dalam tulisan ini sependapat dengan Philp dan ingin mencari solusi atas permasalahan masih rendahnya akuntabilitas birokrasi pemerintah khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik di era otonomi dan demokrasi di Indonesia. Menyadari bahwa kontrol eksternal melalui partisipasi masyarakat saja ternyata belum mampu membangun spirit pertanggungjawaban dan profesionalisme birokrat, oleh karenanya perlu dikembangkan sistem akuntabilitas internal yang sesuai dan mampu memberikan daya dorong yang efektif terhadap penegakan profesionalisme birokrasi, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pelayanan publik sebagai salah satu tujuan otonomi daerah.
Sistem akuntabilitas internal yang dapat digolongkan sebagai tradisional model, namun nampaknya untuk kondisi di Indonesia justru masih perlu dibangun. Mengingat sejauh ini pamahaman dan spirit menegakkan akuntabilitas internal kalangan birokrasi masih tergolong rendah. Dari Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) menunjukkan bahwa pejabat birokrasi pemerintah masih memahami akuntabilitas sebatas pada pertanggung jawaban penggunaan anggaran. Setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SPKD) meyusun LAKIP hanya untuk memenuhi aspek formalitas. Laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah lebih mengutamakan akuntabilitas dari sisi anggaran saja. Sedangkan untuk akuntabilitas output kurang dirinci berdasarkan tolok ukur atau kriteria yang jelas. Seperti tolok ukur berdasarkan kinerja sasaran yang disebutkan antara lain: termanfaatkannya hasil analisa dan penelitian bagi program pembangunan daerah, tidak dijelaskan bentuk ataupun tingkat pemanfaatan hasil analisa dan penelitian yang dilakukan BAPEKAB bagi program-program pembangunan daerah secara rinci dan riil.
Demikian juga hasil penelitian yang dilakukan penulis pada beberapa pemerintah daerah menunjukkan, bahwa pemahaman birokrat tentang konsep akuntabilitas masih rendah. Birokrasi pemerintah tidak terbiasa memberikan pertanggungjawaban secara langsung kepada masyarakat terhadap apa yang telah dilakukan dengan anggaran dari rakyat tersebut. Kalaupun pemerintah mau mempertanggungjawabkan kebijakannya, hanya dalam bentuk laporan tertulis dan pertanggungjawaban yang bersifat formalitas. Bahkan dari sejumlah responden yang menyatakan mengetahui makna dan jenis-jenis akuntabilitas hanya sekitar 20 %, sementara yang tidak memahami jauh lebih besar yakni sekitar 80% (Astuti, 2009).
Rendahnya pemahaman birokrat terhadap jenis-jenis sistem akuntabilitas tersebut akan menghasilkan pelaksanaan sistem akuntabilitas “semu” yang tidak efektif. Hal ini secara tidak langsung berimplikasi pada rendahnya kemampuan birokrasi dalam mengambil keputusan dan menjalankan tugas pokoknya sebagai pelaksana kebijakan secara professional dan akuntabel. Rendahnya orientasi pertanggungjawaban kepada rakyat terlihat dari kecenderungan birokrasi untuk selalu mentolerir masuknya kepentingan-kepentingan individu (atasan) dan mengabaikan kepentingan publik yang lebih luas. Padahal, birokrasi seharusnya dapat berposisi di tengah sebagai perantara antara kepentingan umum dan kepentingan khusus (Thoha, 2003). Namun pada umumnya, sistem birokrasi yang ada lebih banyak memberi peluang masuknya “kepentingan-kepentingan lain”. Keputusan-keputusan dan tindakan di level birokrasi ternyata tidak mampu digunakan secara tepat dan didasari oleh pertimbangan etika, profesionalisme, dan kepentingan publik melainkan justru banyak memberikan ruang bagi masuknya intervensi kepentingan politik dan motif keuntungan individual. Kondisi obyektif di lapangan tersebut mau tidak mau harus diakui dan untuk selanjutnya perlu ditingkatkan kemampuan birokrasi untuk tidak mengakomodir kepentingan-kepentingan di luar kepentingan publik.
Dalam sistem demokrasi, masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui dan mendapat laporan pertanggungjawaban keuangan juga non-keuangan dari pemerintah. Dalam kaitan ini, setiap pimpinan instansi/satuan kerja pemerintah wajib melaporkan hasil kerjanya kepada atasannya yang memberi tugas dan wewenang (amanah), juga kepada publik sesuai dengan peraturan dan perundangannya yang berlaku (Inpres No 7/1999). Dengan tindakan pemberian informasi kepada publik (disclosure) tersebut diharapkan dapat menciptakan suatu kondisi peningkatan moral pejabat dengan menyadari bahwa setiap keputusan dan tindakan yang diambil pemerintah harus dapat memenuhi kriteria akuntabel, baik dalam bentuk akuntabilitas kepada atasan (akuntabilitas langsung) maupun kepada publik (tidak langsung).
E. Mengadaptasi Best Practices untuk Merekonstruksi dan Merevitalisasi Sistem Akuntabilitas di Indonesia
Bagaimana merevitalisasi atau meredesain sistem akuntabilitas publik, antara lain dapat mengambil pengalaman-pengalaman sukses (best practices) dari Negara-negara lain. Salah satu contoh sebagaimana dipaparkan oleh Samuel Paul dan Gopakumar Thampi (2007) mengenai pemberlakuan citizen report card (CRC) oleh Public Affair Center (PAC) di Bangalore India Selatan guna mendapatkan informasi mengenai kualitas pelayanan publik. Laporan masyarakat tersebut serupa dengan feedback reports yang biasa diterapkan di sektor bisnis. Hasil yang diperoleh pada saat itu memang sangat rendah, namun kemudian pemerintah terus meningkatkan kinerja mereka dalam pelayanan publik. Kartu laporan pertama dimulai sejak 1994 melaporkan penilaian masyarakat terhadap pelayanan publik oleh beberapa instansi pemerintah yang meliputi layanan pemerintah kota, air bersih, listrik, telekomunikasi, dan transportasi. Sejak itu, PAC mengembangkan citizen report card ke berbagai kota lainnya dan pedesaan yang juga mengkover pelayanan sosial seperti kesehatan. Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa hampir semua penyedia layanan publik memperoleh skor yang rendah, baik ditinjau dari segi kepuasan publik, korupsi dan daya tanggap. Kemudian media mempublikasikannya dan berkembang menjadi bahan diskusi publik, dan diikuti dengan gerakan beberapa kelompok masyarakat (LSM) yang menyuarakan tuntutan akan perbaikan layanan publik secara terus menerus dan konsisten. Akhirnya membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Hal ini terbukti pada Citizen Report Card ke II yang dihelat pada tahun 1999, dimana telah terdapat kenaikan rating pelayanan publik (meskipun masih terdapat indikator korupsi yang tinggi). Hasil yang luar biasa terjadi ketika CRC ke III yang diadakan pada tahun 2003, dimana peringkat pelayanan kota menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan di hampir semua instansi. Bukan hanya kepuasan publik terhadap pelayanan yang meningkat, tetapi juga tingkat korupsi dan masalah yang muncul sudah jauh lebih rendah. Pencapaian tersebut merupakan keberhasilan model yang dikembangkan oleh Public Affairs Centre (PAC) di Bangalore tersebut dan telah diakui secara internasional serta menjadi model untuk beberapa Negara lain.
Pembelajaran pertama yang dapat kita petik dari best practice di atas, adalah pentingnya kemauan (willingness) pemerintah untuk benar-benar meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Hal itu dapat dilihat dari kesungguhan pemerintah untuk menerima seriap kritikan dari masyarakat secara rutin dan kontinyu. kemudian kritikan tersebut dipakai sebagai input bagi perbaikan pelayanan publik secara konkrit. Kedua, adanya transparansi atas hasil kritikan masyarakat. Dalam hal ini tidak ada upaya pemerintah untuk menutup-nutupi penilaian negative apapun yang disampaikan oleh masyarakat. Pemerintah bahkan mau menerima setiap kritikan sebagai modal memperbaiki kinerja pelayanan. Ketiga, evaluasi secara sistematis dan konsisten. Kinerja pelayanan publik dari tahun ke tahun terus dievaluasi dengan menggunakan indikator dan instrument yang jelas dan terukur. Keempat, dalam mengupayakan peningkatan pelayanan publik perlu adanya inovasi secara terus menerus. Inovasi dalam mendesain sistem akuntabilitas tidak benar-benar linier. Banyak cara dan strategi yang saling tumpang tindih atau bahkan nampak saling bertentangan satu sama lain, namun akhirnya menuju pada satu tujuan yang sama. Banyaknya lembaga-lembaga internasional yang mengembangkan mekanisme akuntabilitas publik, menandai kesadaran yang semakin tinggi untuk menjunjung hak-hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan dan pertanggungjawaban dari penyelenggara Negara dan pemerintahan.
Upaya merevitalisasi sistem responsibilitas dan akuntabilitas birokrasi hendaknya tidak berhenti pada tataran normative ideal namun perlu pula ditekankan pada aspek teknis empiris di lapangan. Waktu telah membuktikan bahwa apa yang terjadi dengan reformasi di Indonesia masih lebih banyak berkutat pada tataran normative idealis, dimana reformasi ditujukan untuk merubah tatanan sentralistik menuju demokratis, dari government menuju governance. Proses demokratisasi yang berjalan selama ini masih sebatas memindahkan kekuasaan dari eksekutif kepada legislative, sedangkan posisi masyarakat kuranglebih masih sama saja dengan ketika sebelum reformasi. Perubahan posisi kekuasaan masih dari elit ke elit, belum kepada masyarakat.
Belajar dari best practice di atas, sangat jelas posisi masyarakat mampu merubah kinerja pelayanan publik secara signifikan melalui feedback report. Pemberlakuan Citizen Report Cards (CRC) wujud dari pelaksanaan inovasi secara teknis yang terbukti efektif meningkatkan akuntabilitas instansi pemerintah dalam pelayanan publik. Inovasi secara teknis tersebut perlu terus dikembangkan hingga menemukan format yang sesuai dengan situasi kondisi masyarakat pada setiap daerah dan dalam kurun waktu tertentu.
Hal ini mengingat akuntabilitas itu sendiri bersifat sangat permeable dan organis dalam hal bagaimana ia mewujud dalam bentuk tertentu yang dapat berhasil diterapkan untuk beberapa waktu dan kemudian akan mengalami kemerosotan dan akhirnya tidak berfungsi sama sekali. Fokus perhatian akuntabilitas sesungguhnya pada pengurangan penguatan kekuasaan (civilizing of power), maka orang-orang dengan kekuasaan akan berusaha menghindari atau menghancurkannya (Burgis, Tom dan Zadek, Simon, 2006). Untuk itu upaya membangun nilai-nilai, gagasan, norma, standard dan aturan hukum perlu terus dilakukan untuk menstabilkan proses organis tersebut. Menyadari bahwa mekanisme organik akan selalu mengalami pengikisan dari waktu kewaktu, demikian pula dengan sistem akuntabilitas akan terus memerlukan penguat untuk meng upgrade dan atau harus menggantinya dengan yang baru disesuaikan dengan pergeseran nilai-nilai yang melingkupi institusi pemerintah tersebut.
Referensi:
Beck Jørgensen, T. & Larsen, B. 1987. Control - An Attempt at Forming a Theory. Scandinavian Political Studies, 10 (4), 279-299.
Bovens, M. 2005. Public Accountability. In The Oxford Handbook of Public Management; Ferlie E., Lynne L., Pollitt C., Eds.; Oxford University Press: Oxford.
Caldwell, Adam. 1998. Bureaucratic Accountability: A Look at Utah’s Redevelopment Agencies. Hinckley Journal of Politics. Autumm. Vol.1.No.1.pp.27-40.
Chandler, Ralph.C. dan Plano, Jack.C. 1982. The Public Administration Dictionary. New York, Chichester, Brisbane : John Wiley & Sons.
Day, Patricia dan Rudolf Klein. 1987. Accountabilities: Five Public Servises. London. Tavistock Publication.
Denhardt, Robert B. 1999. Public Administration : An Action Orientation. 3 rd ed., Fort worth. TX: harcourt Brace.
Dubnick, Melvin J. 2003. Accountability in the Promise of Performance: In Serach of The Mechanisms. Annual Meeting of the American Political Science Association. August 28-31. Philadelphia.
______________. 2005. Accountability and the Promise of Performance: In Search of the Mechanisms. Public Performance and Management Review, 28 (3), 376-417.
Dwiyanto, Agus.dkk. 2007. Kinerja Tata Pemerintahan Daerah. Yogjakarta. PSKK-UGM.
Dwivedi,O.P and Michael Jabra. 1988. Introduction: Publis Servive Responsibility and Accountability. Dalam Public Service Accountability: A Comparative Perspective. Dwivedi and Jabra (ed). West Hartford,CT: Kumarian Press:1-6.
Erkkilà Tero. 2007."Governance And Accountability - A Shift In Conceptualisation.1." Public Administration Quarterly. Southern Public Administration Education Foundation.. Retrieved April 21, 2009 from HighBeam Research: http://www.highbeam.com/doc/1P3-1268539321.html
Ferlie, E. et al. 1996. The New Public Management In Action. Oxford. Oxford University Press.
Finer, Herman. 1941. Administrative Responsibility and Democratic Government. Public Administration Review 1(Summer): 335–50.
Friedrich, Carl J. 1940. Public Policy and the Nature of Administrative Responsibility. In Public Policy, edited by Carl J.Friedrich and Edward S. Mason. Cambridge, MA: Harvard University Press.
_______________. 1972. The Pathology of Politics. New York: Harper and Row.
Harlow, C. 2002. Accountability in the European Union. Oxford University Press: Oxford.
Hood, C. & Schuppert, G. 1988. Evaluation and Review. In Delivering Public Services in Western Europe. Sharing Western European Experience of Para-Government Organization; Hood, C. & Schuppert, G., Eds.; Sage Publications: London.
Klitgaard, Robert. 1988. Controlling Corruption. Berkeley dan Los Angeles: University of California Press.
Mulgan, R. 2000. "Accountability": an ever-expanding concept?; Public Administration, 78 (3) 555-573.
Phlip, Mark. 2000. Access, Accountability and Authority: Corruption and the democratic process. Paper for the political studies Association-UK 50th Annual conference. London.
________________. 1999. Dynamics of Public Sector Accountability in an Era of Reform. Workshop Report at the conference "Accountability in Public Administration: Reconciling Democracy, Efficiency, and Ethics". Sunningdale, UK 1999.
Pierre, J. & Peters, G.B. 2000. Governance, Politics and the State; St. Martin's Press: New York.
Romzek, Barbara S. Dan Dubnick, Melvin J. 1987. Accountability in the public sector: Lessons from the challenger tragedy. Public Administration Review. 47 (3):227-238.
Shafritz, Jay dan Albert Hyde. 1997. Classics of Public Administration.2nd ed. Ford Worth,TX: Harcourt Brace.
Sinclair, A. 1995. The Chameleon of Accountability: Forms and Discourses. Accounting Organizations and Society, 20 (2), 219-237.
Van Kersbergen, K. & Van Waarden, F. 2004. Governance as a Bridge between Disciplines: Cross-Disciplinary Inspiration Regarding Shifts in Governance and Problems of Governability, Accountability and Legitimacy. European Journal of Political Research, 43, 143-171.
Vigoda,Eran. 2002. From Responsiveness to collaboration: Governance, citizens, and the next generation of public administration. Public Administration Review. 62(5), 527-540.
Watt,Peter. Sue Richards and Chris Skelter. 2002. Brifing Paper: Accountability. School of Public Policy. The University of Birmingham.
Jawa Pos. 24 Maret 2009
_______. 26 Maret 2009